Menuju konten utama

Skena Jaksel di antara Cinta dan Benci

Inilah kisah bagaimana skena musik di Jakarta Selatan lahir.

Skena Jaksel di antara Cinta dan Benci
Ilustrasi: skena musik "anak Jaksel". tirto.id/Lugas

tirto.id - Saya percaya—dan sebaiknya Anda juga—kota butuh musik agar terus hidup. Musik, sama halnya dengan dinamika lainnya macam politik, sosial, sampai ekonomi, adalah bahan bakar yang senantiasa membuat kota bergerak maju, menggelinding melintasi zaman.

Kota dan musik merupakan dua hal yang saling berkelindan. Mereka saling membutuhkan. Jika kota perlu musik untuk menyelamatkan wajahnya dari kabar tentang korupsi, kesenjangan antara si kaya dan miskin, dan segala hal buruk lainnya, maka musik perlu kota untuk mengembangkan identitasnya.

Namun, terlepas dari relasi yang bersifat mutualisme ini, satu kesimpulan bisa ditarik: Anda bisa melihat suatu kota cukup dari bagaimana musik di kota itu berkembang.

Contohnya sudah banyak. New York dengan gelombang punk di era 1970; Los Angeles dengan Motley Crue serta Guns N Roses yang tumbuh dari klub-klub rock sepanjang Sunset Strip; Manchester yang melahirkan The Stone Roses, The Smiths, Oasis, dan fenomena bernama Madchester; hingga Seattle dengan kemuraman ala Nirvana dan rombongan grunge—yang beberapa di antaranya menolak disebut grunge.

Situasi yang sama juga berlaku di Jakarta Selatan, yang dalam beberapa waktu terakhir jadi viral gara-gara budaya keminggris yang menjangkiti sebagian warganya. Di luar ontran-ontran yang ditanggapi dengan tawa ini, Jakarta Selatan—selanjutnya Jaksel—merupakan kawah candradimuka yang membentuk wajah musik di Jakarta secara keseluruhan.

Musik di Jaksel adalah gambaran tentang betapa kosmopolitnya Jakarta, munculnya arus pinggir sebagai narasi tandingan label bermodal besar, dan eksistensi hipster yang sampai hari ini dirayakan dengan gegap gempita.

Semua dirangkum dengan dua kata: kancah musik.

Dimulai Sejak Poster Cafe

Sarah Champion, jurnalis NME sekaligus penulis And God Created Manchester (1990), mengungkapkan Madchester lahir ketika Stone Roses tampil di International 2 pada Mei 1988. Aksi band ini melahirkan wacana arus tandingan bagi kancah musik Inggris yang saat itu didominasi band-band London.

Sejak itu, Madchester berkembang. Kancah musik di Manchester bisa cepat berkembang berkat hadirnya tempat manggung semisal Hacienda. Geliatnya lantas melahirkan band-band bernas seperti Joy Division, New Order, Inspiral Carpets, hingga Happy Monday, yang lantas dipuja anak-anak muda sekitar. Madchester melambung; menepikan sementara popularitas kancah London yang dianggap kian membosankan.

Geliat Madchester tentu tak lahir apabila anak-anak muda di dalamnya hanya berdiam diri di zona nyaman. Madchester bisa berdiri karena anak-anak muda di sana terdorong untuk membentuk ruang budaya alternatif yang menjauhkan mereka dari rutinitas sehari-hari, pendidikan, pekerjaan, dan tentu saja budaya mainstream.

Dorongan semacam itu yang juga melatarbelakangi lahirnya kancah musik di Jaksel.

Kancah musik di Jaksel punya riwayat yang panjang. Raka Ibrahim dalam “Kemerdekaan Bawah Tanah #1: Poster Cafe dan Revolusi yang Tersembunyi” (2014) menyebutkan kancah musik di Jaksel sudah menggeliat sejak 1992.

Kala itu, tempat-tempat seperti Apotek Retna, Cilandak, sampai Pid’s Pub, Pondok Indah, jadi titik pergerakan musik bawah tanah (underground) yang melahirkan nama-nama seperti Roxx, Jenazah, Mortus, Rotor, Alien Scream, sampai Sucker Head. Mereka banyak terinspirasi dari Metallica, Sepultura, Kreator, dan Anthrax. Aksi panggung mereka lebih berfokus pada membawakan cover version dari band idolanya dibanding lagu-lagu ciptaan sendiri.

Di tengah geliat band-band metal, punk perlahan berdiri di belakang. Mereka diwakili The Stupid, Udet Young Offender, Feri Blok M, Dayan the Stupid, dan Acid Antiseptic. Kedua genre ini, metal dan punk, lantas bertemu di, salah satunya, Blok M Plaza. Raka menulis, di Blok M Plaza, “para scenester [sebutan untuk pegiat kancah] kedua genre saling bertukar kaset dan referensi musik, jual-beli aksesoris musik bawah tanah, hingga mengorganisir dan mengadakan konser.”

Antusiasme makin sulit dibendung, tempat-tempat berkumpulnya scenester kian marak dijumpai. Yang cukup populer dan punya andil dalam membentuk ragam musik arus pinggir Jakarta yakni Café Manari di Museum Satria Mandala di kawasan Gatot Subroto, yang kemudian berubah nama jadi Poster Café.

Pertengahan 1994, MTV (Music Television) masuk ke Indonesia. Kehadiran MTV, catat Idhar Resmadi lewat “Meraba Budaya Pop Era 1990an” (2017) memberikan wajah baru bagi budaya pop Indonesia. Selain itu, yang perlu diperhatikan, MTV menambahkan referensi musik di kancah musik independen Jakarta dengan menghadirkan musik-musik Britpop. Dengan MTV, anak-anak muda Jakarta rutin menyaksikan The Cure, Blur, Oasis, Pulp, The Stone Roses, sampai The Jesus and Mary Chain.

Hadirnya Britpop tak pelak mendorong lahirnya band-band macam Chapter 69, Room V, Wondergel, Parklife, Brown Sugar, serta Rumahsakit. Mereka, bersama kolektif lintas genre lainnya, rutin tampil di helatan dua mingguan bernama “Underground Session” di Poster.

Masa edar Poster mendapati kenyataan pahit pada 1999 tatkala lokasi ini ditutup usai gigs punk “Subnormal Revolution” berakhir ricuh. Namun, banyak yang menilai tutupnya Poster tidak serta merta karena kerusuhan yang ada. Faktor bisnis—kafe tidak mendatangkan keuntungan—serta anggapan bahwa Poster jadi tempat ngobat merupakan dua alasan lain yang dianggap berkontribusi dalam tutupnya Poster.

Tutupnya Poster sempat membuat kancah Jaksel “mati sebentar.” Namun, keadaan itu tak berlangsung lama. Kancah Jaksel pelan-pelan bangkit di dalam tempat-tempat baru macam Café Kupu-Kupu di Bulungan serta Pondok Indah Water Park. Memasuki 2000, Poster seperti bereinkarnasi dan menghidupkan kembali nyawa kancah lewat Blues Bar—biasa disebut BB’s.

Di titik inilah, identitas “kancah musik Jaksel” mendapati momentumnya untuk unjuk gigi.

Infografik HL Indepth Melongok Jakarta

Mekar Karena Film

“Gue bikin label karena gue enggak tau mau ngapain lagi mengingat passion gue itu di musik.”

Hanin Sidharta mencoba mengingat masa ia mendirikan Aksara Records, label musik yang kelak jadi penanda munculnya kancah independen di Jakarta. Mulanya, Aksara Records adalah bagian dari Aksara Bookstores, toko buku terkemuka di eranya. Di sana, Hanin menjual berbagai rilisan plat yang berfokus pada genre indie pop, electropop, indie rock, jazz, sampai triphop.

“Gue pengen musik yang intinya jarang atau enggak ada di tengah masyarakat tapi dimainin di MTV. Waktu itu, lumayan pembelinya. Dan berandil dalam nge-build komunitas,” terangnya.

“Lalu, FFWD [label independen asal Bandung] ngeluarin Mocca. Dunia mainstream kaget. Gue langsung mikir, ‘Ini keren juga. Gila banget.’ Karena Mocca saat itu membuktikan bahwa band yang mainin pop indie bisa masuk MTV.”

Antusiasme Hanin untuk bergerak dalam kancah independen makin membuncah kala ia bertemu David Tarigan. David, yang juga pembeli tetap rilisan di Aksara, satu hari berkata pada Hanin.

“Dia bilang ke gue, ‘Nin, lo udah lihat band-band di BB’s belum? Keren-keren!’” katanya.

Ungkapan David memang tidak berlebihan. Semenjak Poster tutup, BB’s menggantikan perannya sebagai lokasi temu para scenester di Jakarta. Di tempat yang berlokasi di Menteng ini, band-band macam The Brandals, The Upstairs, hingga White Shoes and the Couples Company meneruskan kiprahnya.

“BB’s lokasinya cukup strategis. Anak-anak selatan cukup lewat ke Kuningan untuk sampe ke sana. Di BB’s yang dateng banyak dari [anak-anak] IKJ dan sisanya scenester seperti gue,” jelas David kepada Tirto.

“Keriaan di BB’s itu bikin gue merasa bahwa Jakarta punya scene yang seru dengan band-band variatif.”

Dari situ, didasari semangat mendokumentasikan kancah yang sedang panas-panasnya, Hanin dan David bersepakat mendirikan Aksara Records pada 2004.

“Menangkap apa yang terjadi, membantu menghidupkan scene, dan arsip buat masa depan,” ujar David menjelaskan alasan Aksara Records dibentuk.

Rilisan pertama Aksara Records adalah kompilasi bertajuk JKT:SKRG. Kompilasi ini berisikan band-band yang biasa manggung di BB’s. Total ada 12 band baru yang kelak akan bertambah besar. Di album itu ada Seringai, SORE, C'mon Lennon, The Brandals, The Adams, Zeke & The Popo, Sajama Cut, hingga Teenage Death Star. Keseluruhan materi dibikin di Pendulum, studio musik yang juga dibangun oleh Hanin untuk menyediakan kebutuhan akan studio yang representatif di Jakarta.

Sambutan terhadap JKT:SKRG pun positif. Ia dirayakan di kalangan scenester dan dinilai jadi gebrakan baru dalam dunia musik dalam negeri. Tak butuh waktu lama bagi JKT:SKRG untuk makin booming. Penyebabnya: film Janji Joni (2005) yang disutradarai Joko Anwar serta diproduseri Nia Dinata.

Big break-nya JKT:SKRG adalah ketika gue ketemu Teh Nia [Dinata] di Aksara. Dia baru balik dari Sony, EMI, Universal untuk cari lagu buat filmnya, Janji Joni, dan enggak ada yang cocok,” terang Hanin. “Lalu, gue tawarin aja JKT:SKRG. Dia denger beberapa lagu dan cocok.”

Kisah Joni (Nicholas Saputra) sebagai pengantar roll film jadi kian paripurna dengan soundtrack yang mengiringinya. Beberapa band dari JKT:SKRG yang kemudian mengisi lagu di Janji Joni antara lain The Adams (“Waiting,” “Konservatif"), Zeke & the Popo (“1.1 Trillion Woodcutters”), SORE (“Funk the Hole”), dan Sajama Cut (“Less Afraid”). Selain itu, di luar band JKT:SKRG, ada juga Goodnight Electric (“Bedroom Avenue”), White Shoes and the Couples Company (“Senandung Maaf”), sampai Tomorrow People Ensemble (“Step Ahead for Freedom”).

Bagi David, Janji Joni merupakan awal cerita bagaimana musik arus pinggir diterima di Jakarta, bahkan untuk mereka yang sebelumnya awam dengan musik ini.

“Ada cerita unik. Satu hari, di Aksara, datang ibu-ibu. Dia tanya ke gue, ‘Mas, ada lagu yang 'Joni-Joni' enggak? Lagu 'Joni-Joni' yang dia maksud itu lagunya Teenage Death Star yang '(I Got) Johny In My Head' kan. Dari situ, gue langsung mikir, ‘Gila, responsnya sampe kaya gini.’ Ini berarti musik kami diterima banyak orang,” ungkap David yang juga pendiri Irama Nusantara, kolektif yang berfokus pada pengarsipan musik-musik lama Indonesia, ini.

Usai Janji Joni, kancah arus pinggir Jaksel makin menyebar luas. Ia bersanding dengan arus musik utama yang saat itu didominasi dari band-band label besar. Semua bisa dicapai berkat bantuan media publikasi, seperti radio sampai MTV, yang kebanyakan diisi teman-teman satu komunitas.

Aksara, dalam rentang waktu itu, pun makin getol bergerak. Tak cuma merilis musisi-musisi indie dalam negeri, mereka juga membantu distribusi band-band dari luar seperti Arctic Monkeys, Thom Yorke, sampai Vampire Weekend. Namun, eksistensi Aksara harus terhenti. Rilisan terakhir mereka adalah album Kamar Gelap milik Efek Rumah Kaca pada akhir 2008. Kondisi finansial membuat mereka kolaps dan terpaksa mengakhiri kiprahnya.

Bukan cuma Aksara yang punya andil dalam membentuk citra Jaksel sebagai kancah musik penuh gairah. Demajors, label pimpinan David Karto, pun juga memiliki kontribusi serupa. Kiprah Demajors bermula pada awal 2000 dari sebuah toko musik di bilangan Gandaria. Karto mendirikan Demajors bersama dua rekan lainnya, Sandy Maheswara dan Adhi Djimar, atas dasar kecintaan terhadap musik arus pinggir.

Demajors kemudian merambah ke bagian distribusi. David Karto bilang, jalur distribusi dipilih karena modalnya tak besar, tidak seperti membangun studio rekaman. Dengan lini geraknya yang baru, Demajors berperan sebagai pemegang master licensed dan media promosi band-band bersangkutan. Mereka menangani musisi dari beragam genre. Mulai Rieka Roeslan hingga Parkdrive.

Dalam sesi "Indie Pioneers" yang diselenggarakan di konferensi musik Archipelago Festival 2017, Karto mengatakan titik tolak Demajors terjadi ketika mereka merilis album debut Efek Rumah Kaca pada 2007. Saat itu Bin Harlan, manajer Efek Rumah Kaca, datang membawa demo band asuhannya.

"(Setelah mendengar), kami langsung berpikir bahwa Efek Rumah Kaca ini menarik," tuturnya.

Intuisi Karto—dan Demajors—tak salah. Album berjudul Efek Rumah Kaca itu meledak. Mereka dianggap menawarkan cita rasa baru dalam kancah musik Indonesia. Sejak saat itu, Demajors pun makin berkembang. Sampai sekarang, sudah lebih dari 100 artis lokal yang bernaung di bawah bendera mereka. Ada yang membawa genre pop, electronic, jazz, sampai blues.

Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan kancah musik Jaksel menggeliat dan besar. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa baik Demajors maupun Aksara Records punya andil signifikan dalam membentuk identitas kultural skena Jaksel sampai hari ini. Referensi musik di luar arus mainstream, semangat memajukan kancah dan komunitas agar bisa punya tempat, hingga gejolak menangkap kebaruan zaman, adalah modal penting sehubungan dengan proses pembentukan terma skena Jaksel yang makin ke sini makin akrab di kuping.

“Masa depan [musik indie] memang ada di Jaksel,” tegas David sembari tertawa.

Hipster dan Superioritas Kancah

Seiring berjalannya waktu, geliat kancah di Jaksel makin berkembang pesat. Internet membuat anak-anak muda di manapun mudah mencari referensi musik. Jalur distribusi makin merata. Di Jaksel juga tak susah menemukan venue musik—perkara standar kelayakan teknis tentu soal lain.

Jaksel kemudian meneruskan perannya sebagai melting pot bertemunya band-band lama dan baru. Scenester bisa bertukar ide dan karya sembari rutin melangsungkan konser-konser di venue yang intim. Borneo Beerhouse, Rossi Musik Fatmawati, Pavilliun 28, Blok M, hingga Mondo by the Rooftop adalah bukti bagaimana Jaksel merekam skenanya sendiri sekaligus melahirkan generasi baru yang gaya musiknya cukup beragam

“Band-band di skena sekarang lebih merata kualitasnya, dengan standar cukup tinggi,” ujar David.

Salah satu standar yang kerap mereka pakai adalah penggunaan bahasa Inggris dalam lirik-liriknya. Lirik berbahasa Inggris merupakan cara mereka mengekspresikan diri terhadap sekitar. Konon, memakai bahasa Inggris dipandang lebih mudah untuk membicarakan hal-hal di dekat mereka.

Di lain sisi, masuknya bahasa Inggris (dari yang baku hingga slang) juga muncul sebagai imbas dari lingkungan sosial tempat mereka berasal; keluarga kelas menengah, mengenyam bangku pendidikan di sekolah swasta maupun luar negeri, serta lebih akrab dengan produk-produk budaya populer dari Paman Sam dan negara Barat lainnya.

Fenomena tersebut agaknya booming dalam kurun empat sampai lima tahun belakangan dan semakin mudah dijumpai di hari ini lewat band-band macam Polka Wars, Crayola Eyes, Bedchamber, Circarama, Anomalyst, sampai Dried Cassava. Bahasa Indonesia bukannya tidak dapat tempat. Di awal 2000-an, The Brandals dan The Upstairs adalah dua band yang "keras kepala" memakai Bahasa Indonesia dalam lirik. Sekarang, Barasuara menjadi satu dari sedikit band macam itu.

“Generasi baru” ini memainkan bermacam genre; metal, shoegaze, psikedelia, indie pop, hip hop, folk, sampai eksperimental. Mereka memenuhi tiap ruang skena dengan aksi yang menarik perhatian anak-anak muda sekitar yang kerap disebut sebagai hipster.

Relasi ini tak jarang menghasilkan satu lingkaran yang elitis, eksklusif, dan merasa seleranya paling baik sendiri di antara kelompok lain—terutama di luar Jaksel.

Namun, David punya pendapat lain. Menurutnya, kesan eksklusif adalah hal wajar belaka dalam tumbuh-kembangnya kancah. Semua didasari motivasi “ingin beda” sendiri dari anak-anak muda lainnya.

“Ini biasa dan normal dijumpai. Seperti siklus. Ketika nanti kancah yang dibentuk sudah ramai dan ada rasa bosan, maka skena yang baru kembali muncul dengan pola yang sama,” terangnya.

Pada akhirnya, berbicara soal skena Jaksel adalah berbicara tentang gairah anak-anak mudanya yang seolah tak terbendung. Mereka menjadikan Jaksel sebagai arena menyalurkan hasrat, palagan bersenang-senang.

Baca juga artikel terkait GAYA BAHASA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono