tirto.id - Saya mulai mengenal David Tarigan melalui film Garasi (2006). Ia masih zonder kumis kala itu. Memerankan karakter Deden, salah satu pramuniaga di D'Lawas, toko musik yang punya semboyan “Hanya Melayani Pecinta Musik Sejati”. Deden punya dua kawan: Revi (diperankan Desta) dan Bison (Ari Dagienkz). Tapi Deden yang paling menonjol. Sosoknya digambarkan sedikit tengil dan kerap mengajukan lima pertanyaan kepada para pembeli.
"Pertanyaan yang terakhir. Apa yang tertulis di booklet sampul album ini," tanyanya pada Aga, karakter utama yang diperankan Fedi Nuril, sembari memegang booklet piringan hitam album Guruh Gipsy.
Deden mengingatkan saya pada Barry Judd dalam novel High Fidelity karangan Nick Hornby. Novel itu difilmkan dan Jack Black kebagian memerankan Barry, seorang music snob yang kerap mengejek pengetahuan musik orang lain. Di dunia nyata, pengetahuan musik David memang mencengangkan. Banyak orang menjulukinya sebagai “kamus musik berjalan”. Tapi dia bukan music snob seperti Deden atau Barry. David rendah hati dan jauh lebih menyenangkan ketimbang dua sosok fiksi itu.
Lalu kami pun bertemu di halaman belakang Demajors, sebuah perusahaan rekaman, pada Juli 2016. David menjabat sebagai A&R di sana. Saat itu, saya sedang menulis kegiatan Irama Nusantara, kelompok yang mengarsipkan musik populer di Indonesia dari rentang 1950-an hingga 1990-an.
Irama Nusantara dibentuk 6 pecinta musik: David Tarigan, Christoforus Priyonugroho, Toma Avianda, Alvin Yunata, Norman Illyas, dan Dian Wulandari. Meski baru mengudara pada 2013, riwayat kelompok ini sudah dimulai sejak 1998. Saat itu, David dan beberapa kawan mendirikan Indonesia Jumawa.
"Waktu itu masih di bangku kuliah, dan mulai sadar pentingnya pengarsipan musik di tingkat yang lebih. Saat itu kami berpikir arsip itu amat sangat penting. Mengingat ada banyak pertanyaan musik populer Indonesia yang tak terjawab," kata pria yang menimba ilmu di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung ini.
Gerakan Indonesia Jumawa dan Irama Nusantara punya tujuan sama: pengarsipan musik-musik Indonesia. Pengarsipan yang dilakukan tidak hanya terbatas musiknya saja. Tapi juga sambpul yang dipindai, hingga liner notes yang diketik ulang. Tapi Indonesia Jumawa tak berumur panjang. Barulah 15 tahun kemudian Irama Nusantara terbentuk dan bisa bertahan hingga sekarang.
Pertemuan kedua dengan David terjadi beberapa hari lalu. Siang itu David baru saja sampai di Demajors. Kaus abu-abunya basah oleh keringat. Setelah rehat sejenak sembari memeriksa pesan di ponsel, dia membuka laptop lalu menyambungkannya dengan satu set speaker yang terletak di sudut ruangan. Dia mulai memutar beberapa lagu. Suaranya menyebar ke ruangan belakang Demajors yang asri dan lapang itu. Hanya beberapa detik, kemudian berganti ke lagu lain.
"Ini ngecek lagu-lagu yang baru kemarin dikonversi," katanya.
Beberapa detik kemudian, dia mengulang dua lagu dengan nada dan lirik yang sama, tapi beda artis. Satu dari Shinta Group, grup asal Semarang yang ngetop di era 1970-an, satu lagu dari Santai Group. "Ini judulnya 'Kembalilah'. Kayaknya personilnya sama, terus mengaransemen ulang. Tapi masih bagus yang versi Shinta."
Siang itu David bercerita penuh semangat tentang pertemuannya dengan Rhoma Irama, sang raja dangdut. "Kharismanya orang itu emang gila." Beberapa hari sebelumnya Rhoma bersama Soneta tampil di Festival Synchronize Fest, festival multi genre yang diadakan Demajors dan Dyandra. Kata David, Rhoma senang sekali bisa tampil di acara festival musik yang menghadirkan band pop, jazz, hingga rock itu. Soneta dan PMR adalah dua band beraliran dangdut di acara itu. Rhoma sang legenda tampil memukau.
"Itu di depan panggung, para hipster semua joget. Gila," katanya sambil ketawa-ketawa.
David mulai jatuh cinta pada musik saat SD. Saat itu dia mulai mengulik aneka album yang terdapat di toko kaset. Kebanyakan memang kaset penyanyi luar negeri. Dalam salah satu wawancara, David mengaku kaset pertama yang dibelinya adalah soundtrack Saturday Night Fever yang memajang John Travolta di sampul.
Sebagai lelaki yang kerap dijuluki Kamus Musik Berjalan, kita membayangkan David tumbuh dalam keluarga yang menggilai musik. Ternyata salah. Menurut David, orang tuanya bukan tipikal orang musik. Koleksi musik mereka, kata David, mungkin hanya sekitar 10 biji saja.
"Tapi di rumah ada stereo set. Dan apa yang saya suka, didukung oleh mereka. Jadi waktu balita, saya sudah minta beli kaset. Ya mereka belikan," ujar David tertawa kecil.
Pada saat kelas 6 SD, David memiliki lemari baru yang punya laci besar. Saat itulah David punya keinginan sederhana: mengisi laci besar itu dengan rekaman-rekaman. Maka dia mulai serius mencari berbagai rilisan. Dari kaset hingga piringan hitam.
David kemudian dikenal sebagai kolektor piringan hitam. Dulu koleksinya banyak, namun satu per satu dilepas. Pria yang menasbihkan Tonny Koeswoyo sebagai salah satu pahlawan musiknya ini mencanangkan bahwa: lebih baik memiliki rilisan yang disukai dan diputar secara kontinyu, ketimbang mengoleksi rilisan yang jarang dia putar. Sekarang koleksi piringan hitamnya berkisar di angka 2.000 keping, plus sejumlah kecil CD dan kaset.
Perburuannya pada piringan hitam bukan sekadar untuk mengoleksi, melainkan juga diarsipkan. Setelah tiga tahun berjalan, Irama Nusantara sudah mengunggah sekitar 1.200 rilisan. Masih ada sekitar 1.000 rilisan lagi yang menunggu diunggah ke situs mereka.
Tahun ini, Irama Nusantara bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif. Targetnya mendokumentasikan 1.500 rilisan musik dari era 1920 hingga 1950. Saat tulisan ini dibuat, beberapa orang dari Irama Nusantara sedang di Bandung untuk mendigitalisasi album-album lawas milik RRI. Ke depan, Irama Nusantara dan Bekraf akan memulai Gerakan 78.
Angka 78 merujuk pada 78 rotasi per menit (RPM), format piringan hitam yang banyak dipakai di era 1920-an hingga 1950-an dan diputar dengan gramofon. Nama lain piringan hitam 78 rpm adalah shellac, sebutan untuk bahan baku pembuatannya. Pendokumentasian plat 78 ini akan lebih menantang karena pencarian yang susah. Belum lagi kondisi yang susah sekali terjaga karena iklim Indonesia yang tropis.
Menyimpan piringan hitam di Indonesia memang pekerjaan rumit, apalagi mendokumentasikan rilisan lawas. Pengarsipan musik rasa-rasanya bukan kegiatan populer dalam jagat musik di Indonesia. Profesi pengarsip jelas kalah mentereng ketimbang anak band, penyanyi, manajer, atau produser.
Kita harus mengakui, sebagai bangsa yang terlalu abai perihal pengarsipan, peran Irama Nusantara amatlah penting. Dan karena itu, langkah pengarsipan musik Nusantara ini layak dihargai dan pantas didukung.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti