Menuju konten utama

Menyulap Grand Wijaya Center jadi Tongkrongan Anak Hipster Jaksel

Upaya anak-anak muda mulai meniupkan napas kawasan Grand Wijaya dan mendambakannya sebagai “masa depan skena pergaulan Jaksel.”

Menyulap Grand Wijaya Center jadi Tongkrongan Anak Hipster Jaksel
Sudut ruang publik di kawasan Grand Wijaya Center. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Grand Wijaya adalah kompleks ruko, kuliner dan hiburan di Jakarta Selatan yang, karena tak pernah direnovasi sejak dibangun pada medio 1980-an, tetap terkesan jadul, sempit dan kusam di area pemukiman mewah Kebayoran Baru. Kamu seakan memasuki era 90-an saat mengunjunginya sementara dunia di luar bergerak di tahun sekarang. Pandemi COVID-19 menggenapi keadaan ngenes itu, kendati mulai ada anak-anak muda yang mulai meniupkan napas kawasan ini.

Sebagian orang datang ke Grand Wijaya untuk makan nasi campur. (Di sini ada dua restoran nasi campur legendaris.) Sebagian lagi datang untuk pijat atau spa, tempatnya nyempil maupun besar. (Pada tahun-tahun lalu, Grand Wijaya disorot atas transaksi suap di tempat pijat.) Sebagian lain untuk mencukur rambut. Sisanya berkunjung ke kantor, les musik, beli kopi, belanja baju, mampir ke ATM, atau sekadar numpang parkir bila makan di restoran dekat ruko Grand Wijaya.

Pada masa jayanya, kawasan ini dikenal salah satunya berkat kemunculan bioskop Empire, yang diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu Wiyogo Atmodarminto. Bioskop ini menawarkan harga ‘nomat’—akronim nonton hemat—setiap Senin. Belum banyak mal saat itu. Grand Wijaya menjadi salah satu pusat hiburan lintas usia. Ia jadi alternatif untuk orang-orang yang merasa Blok M terlalu ramai dan Taman Ismail Marzuki terlalu jauh.

Empire tutup pada 2007 seiring pertumbuhan mal dan bioskop di Jaksel. Kendati demikian, tempat ini tak pernah benar-benar kehilangan elemen hiburan.

DELTA SPA LOUNGE

Delta Spa Lounge, salah satu landmark kawasan Grand Wijaya Center lewat bisnis perawatan diri. tirto.id/Hafitz Maulana

Mungkin cerita terbaik Grand Wijaya bisa kita ikuti dari sudut pandang Mardiman, petugas keamanan selama 32 tahun di kompleks ruko Center, yang dua tahun terakhir naik jabatan sebagai kepala satuan pengamanan.

Seperti umur Grand Wijaya, tenaga Mardiman sudah ngos-ngosan, umurnya sudah kepala enam. “Setiap hari saya menghabiskan lima jam bolak balik rumah-tempat kerja. Saya naik kereta, lanjut naik angkot,” kata Mardiman yang tinggal di Bojong, Bogor. Ia berharap bisa mendapatkan uang pensiun untuk bekal menjalani hidup santai pada usia senjanya sambil menjaga toko kelontong di depan rumah.

Awal Januari lalu saya menghubungi beberapa perantara properti yang memasarkan sejumlah unit ruko di tempat ini. Satu gedung empat lantai dengan luas tiap lantai 17x4 meter dijual Rp5 miliar. Harga sewa satu lantai sekitar Rp80 juta per tahun. Sementara harga sewa satu gedung 5 lantai mencapai Rp350 juta per tahun.

Potensi Grand Wijaya sebagai tempat tongkrongan Jakarta mulai terlihat menjelang akhir 2019 lewat kemunculan kedai kopi Tujuhari. Kedai ini dibuka dengan festival musik dan fesyen oleh orang-orang yang juga mengelola usahanya di ruko Grand Wijaya.

Selama tahun pertama pandemi kemarin, sebagian pengusaha muda Grand Wijaya menggelar beberapa acara seperti pameran seni interaktif Monopoli Wijaya karya Anggun Priambodo, meresmikan toko fesyen ASAU, dan yang teranyar, akhir Januari lalu, menyiarkan program virtual showcase Di Antara Wijaya, episode perdananya menampilkan The Panturas.

Para pengusaha muda ini mendambakan Grand Wijaya pasca-pandemi bisa menjadi tongkrongan akhir pekan. Bisa menjadi ruang kreatif bagi para seniman baru yang ingin menggelar pameran kecil-kecilan. Ada pula yang membayangkan Grand Wijaya sebagai “masa depan skena pergaulan Jaksel.”

Kota Satelit Kebayoran Baru

Bagaimana Grand Wijaya bermula? Mardiman pertama kali datang ke Grand Wijaya pada Agustus 1988. Ia pemuda dari Johar Baru, Jakarta Pusat, yang memutuskan melamar kerja sebagai satpam atas rekomendasi seorang tetangga. Waktu ia datang, Grand Wijaya dikelilingi permukiman polisi.

“Lama-lama dijualin. Dharmawangsa Square tadinya rumah jenderal polisi. Tribrata tadinya juga kompleks polisi,” ujarnya merujuk gedung serbaguna yang dibangun dua tahun lalu dan jadi lokasi resepsi pernikahan non-hotel dengan tarif termahal di Jaksel. “Area sini kompleks Brimob. Kalau gedung Polres mah dari dulu juga udah ada.”

Tugas harian Mardiman menjaga kantor-kantor yang memenuhi Grand Wijaya, dan tugas itu terbilang tenang karena menurutnya tempat ini minim konflik.

Dulu, Mardiman mulai cukup sibuk setelah bioskop Empire diresmikan dan ruko-ruko semakin terisi penuh.

“Habis 1998, muncul supermarket, karoke, spa. Orang-orang Korea datang ke sini. Sebelum 1997 masih banyak pribumi,” ujar Mardiman, menyebut para pelanggan tempat hiburan spa dan dibukanya supermarket asal Korea seperti K-Mart dan Hana Mart.

Ada cukup banyak restoran Korea. Ada pula toko fesyen milik orang Korea. Tempat pijat asal Korea. Tempat les musik berbahasa Korea. Toko-toko ini bersanding klinik kecantikan, kantor hukum, toko bunga, usaha travel, kedai kopi, rumah makan, dan berbagai bank.

PANGKAS RAMBUT GRAND WIJAYA CENTER

Pegawai di salah satu pertokoan yang menawarkan jasa perawatan diri mulai dari salon pangkas rambut hingga pijat refleksi di Grand Wijaya Center. tirto.id/Hafitz Maulana

Dalam sejarahnya, Jl. Wijaya II, terletak 2,6 kilometer dari Terminal Blok M, adalah bagian dari pengembangan kota satelit Kebayoran Baru, sebagai solusi pesatnya laju pertumbuhan populasi di Jakarta. Perencanaannya dimulai pada 1937 dan dikerjakan pada September 1948 oleh yayasan konstruksi CSW.

Firman Lubis dalam Jakarta 1950-1970 (2018) menulis Kebayoran Baru didesain untuk menampung 100.000 penduduk, 12.500 unit rumah untuk karyawan kelas bawah, menengah, dan karyawan berpenghasilan tinggi. Selain itu, ada toko dan pasar, rumah susun, taman, kantor-kantor pemerintahan, dan Markas Besar Kepolisian.

“Saya masih ingat, saya senang sekali kalau pergi bermain ke Kebayoran Baru pada 1950-an, karena daerahnya tenang, teratur, dan rapi,” tulis Lubis.

Pada dekade-dekade selanjutnya, perubahan kawasan Kebayoran Baru terjadi beriringan perubahan pola hidup dan peraturan pemerintah Jakarta. Pada dekade 1970-1980an, Kebayoran Baru semakin dipenuhi perkantoran, tempat usaha komersial, dan terminal, menurut Lana Winayanti, staf ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat.

Perubahan ruang itu boleh jadi dampak kebijakan yang dibuat Gubernur Jakarta Ali Sadikin, yang menginginkan Jakarta jadi kota metropolitan. Ia membuat rancangan pembangunan jangka panjang Jakarta 1965-1985. Ali berperan melegalisasi tempat hiburan seperti kasino dan tempat pijat atau spa, tulis Lubis. Ali kabarnya juga mengalokasikan dana pajak untuk pembangunan berbagai infrastruktur, di antaranya pusat kebudayaan Taman Ismail Marzuki, gelanggang remaja, rumah sakit, kantor pemerintahan, tempat usaha, pertokoan, perumahan real estate.

‘Make Wijaya Grand Again’

“Gue bikin moto itu,” kata Lavie Daramarezkya, co-founder Tujuhari Coffee, disusul tawa kecil. Lavie ingin agar komunitas pengusaha muda di Grand Wijaya tetap aktif membuat acara sehingga orang mau datang ke tempat ini.

Setidaknya ada belasan pengusaha muda bidang kreatif di Grand Wijaya yang konsisten bikin program publik luring maupun daring. Bidang usaha mereka di antaranya kedai kopi plus ruang kreatif, toko suvenir/ruang pamer, multi brand fashion store, studio desainer busana, studio seniman, dan studio musik.

Jumlahnya memang masih minim tapi cukup bikin saya sadar soal daya tarik baru dari tempat ini.

Anak-anak muda ini rata-rata sudah saling kenal dan kini tergabung dalam satu grup WhatsApp agar mudah bertukar info soal proyek terbaru dan cepat berkoordinasi ketika ingin membuat proyek bersama.

TU7UHARI COFFEE

Kedai kopi yang cukup ramai di kunjungi oleh anak muda Jakarta yang berada di Grand Wijaya Center. tirto.id/Hafitz Maulana

Moto 'Make Wijaya Grand Again' dibuat pada Maret 2020 saat Lavie menggagas Wijaya Car Trunk Market (WCTM), bazar fesyen dan aksesori di area parkir Grand Wijaya. Konsepnya seperti pedagang di pasar kaget yang menggelar lapak di mobil. Bedanya, barang-barang yang dijual bermerek dan dipasarkan dengan harga paling murah Rp50 ribu.

Bazar WCTM semula dibuat rutin tapi pandemi COVID-19 menghentikan rencana itu. Pandemi juga memaksa Lavie mengubah jam kerja untuk karyawan, menggenjot promosi penjualan daring, dan membentuk koperasi Tujuhari, yang memungkinkan para pekerja menjual dagangan demi menambah penghasilan. “Alhamdulilah, sejauh ini belum ada pengurangan,” kata Lavie yang mempekerjakan 10 orang di Tujuhari.

Meski demikian, tahun ini Lavie berencana buka cabang di dalam dan luar kota, juga memasarkan suvenir demi dapat cuan lebih. Merekrut manajer pemasaran, ia berharap pendapatan yang anjlok pada 2020 bisa berangsur membaik.

Sebelum pandemi, kondisi Tujuhari yang dibuka pada November 2019 cukup sesuai ekspektasi Lavie. “Konsumen datang untuk kerja, meeting, bukan nongkrong doang. Program-program juga jalan banget,” kata perempuan yang bekerja sebagai pengacara di sebuah firma hukum ini.

Program itu, yang sebagiannya disponsori oleh jenama retail, adalah acara seperti konser musik, seminar, pop up store, pameran seni, dan talkshow. Tujuannya, ujar Lavie, untuk “mendukung teman-teman kreatif sekaligus menarik pasar baru. Pasar di luar pencinta kopi.”

Lavie bikin kedai Tujuhari bersama tiga kawan. Salah satu alasannya untuk memenuhi keinginan orang-orang seperti dirinya: pekerja yang tidak suka bekerja di rumah atau ruang kantor dan pekerja yang gemar atau butuh rapat di luar kantor. Modal usahanya dari urunan para pendiri, ujarnya. Untuk tempat, “kerja sama dengan pihak lain. Ada investor.”

Pembukaan kedai Tujuhari ditandai Manifest, festival yang menggabungkan penampilan musik dan lokakarya desain dengan pengisi acaranya orang-orang yang juga berkantor di Grand Wijaya. Sebelumnya, saya belum pernah mendengar atau melihat ada acara semacam ini di kompleks ruko tersebut, yang bikin tempat ini serasa tempat-tempat hip di Senopati.

Beberapa hari sebelum acara, saya datang ke Tujuhari. Lavie bercerita soal jenama fesyen independen lokal dan usaha-usaha lain di Grand Wijaya. “Aesthetic Pleasure, event organizer musik Studiorama, Elhaus, Ansy Savitri, kantornya di sini semua, tuh.” Sejak itu Lavie, yang enggak mau diem dan selalu ingin bikin berbagai acara, terpikir untuk menggagas kolaborasi dengan para tetangga. “Biar jadi tempat interaksi antar-komunitas,” katanya.

Kini, di tengah perubahan ketentuan soal kuota maksimum pengunjung kafe, Lavie cukup bersyukur karena bikin keputusan tepat soal konsep interior: furnitur stackable, mudah dipindah, mudah diatur penyekatan sehingga tata ruang bisa diubah kapan pun. Studio Kota, perancang interior Tujuhari, mendesain ruang seadaptif mungkin untuk berbagai keperluan.

Gairah di Blok G

Titik pergerakan pengusaha muda di Grand Wijaya juga berada di ruko 4 lantai Blok G 40-41, yang tiap lantainya diisi toko fesyen A Space Amongst Us (ASAU), Sunset Limited & Table Six, studio seniman (Sarita Ibnoe dan Edita Atmaja), dan rumah produksi Saka Space.

Fandy Susanto, pendiri perusahaan desain grafis Table Six & Sunset Limited, bercerita seorang temannya mengabarkan ada satu gedung ruko yang disewakan di Grand Wijaya, “Bisa disewa rame-rame. Gue mau karena murah. Enggak kepikir sama sekali buat majuin kawasan ini. Enggak kepikir juga lokasi bakal ramai sama anak muda.”

Ia berkantor di Grand Wijaya sejak Juni 2019. Sebelumnya, lokasi kantor Fandy di Kemang Timur Raya, tapi harus pindah karena bisnis Sunset Limited tidak bagus sehingga mesti tutup dan Table Six kudu pindah lokasi. Sebelum membuka Sunset Limited, Fandy berkantor di apartemen Taman Rasuna, Kuningan. Ia pindah ke Kemang Timur karena merasa perlu berkantor di kawasan “gaul”. Kemang, yang juga dikenal sebagai kawasan usaha orang-orang kreatif, dipandang jadi tempat bagus untuk membangun networking antar-komunitas.

Cikal bakal Table Six dimulai pada 2008 saat Fandy memutuskan jadi desainer grafis independen dan berjumpa dengan seorang klien, Piti Irawan, peneliti dari Universitas Cornell, yang memberi Fandy proyek membuat ilustrasi untuk aplikasi permainan. Dari Piti, Fandy diperkenalkan dengan salah satu klien setia, yakni pemilik Midtrans, perusahaan jasa pembayaran onlineyang terafiliasi dengan induk usaha Midplaza juga Biznet.

“Gue tadinya enggak punya strategi marketing. Studio hidup secara organik dan enggak ada rencana bisnis. Kuncinya waktu itu networking,” kata Fandy kepada saya.

Relasi sesama anggota ekosistem desain grafis muncul ketika ia mengerjakan proyek pameran desain dari salah satu desainer produk Joshua Simanjuntak, kini pelaksana tugas Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Dari sana ia bertemu Hermawan Tanzil, pendiri firma desain grafis Le.Bo.Ye dan Dialogue Artspace, yang mengajaknya ikut serta dalam festival desain seperti London Design Biennale dan Unknown Asia. Tanzil melibatkan Fandy dalam pameran-pameran di Dialogue, salah satunya eksibisi tentang pengarang terkemuka Pramoedya Ananta Toer.

Pertemanan semakin luas dan Fandy diminta jadi pengurus Asosiasi Desainer Grafis Indonesia.

“Tapi, sampai sekarang gue enggak mau menjadikan firma desain gue komersial. Makanya enggak punya duit,” katanya, tertawa.

Sunset Limited

Edita Atmaja dan Fandy Susanto, inisiator yang menghidupkan ruang kreatif Sunset Limited dan studio desain grafis, Table Six. tirto.id/Hafitz Maulana

"Table Six gitu-gitu aja, enggak pernah jadi gede banget. Karena gue seneng berkarya, enggak mau terlalu diatur klien. Ngerjain proyek cover album musisi indie Sajama Cut, Polka Wars, Vira Talisa. Klien komersial yang kayak perusahaan Lexus gitu ada, tapi kita batasi betul,” kata Fandy, yang juga mengerjakan proyek dari seniman FX Harsono, rumah produksi Four Color Films, dan Thrive Motorcycle.

Sunset Limited, proyek idealisnya, adalah kafe sekaligus ruang kreatif sebagai tempat kongkow, pameran, dan pertunjukan musik. Tapi, ketiadaan rencana bisnis bikin Sunset Limited bangkrut. Meski begitu, pada November 2020, Fandy membuka Sunset Limited di Grand Wijaya. Kini konsepnya tanpa kafe, semata toko merchandise dan ruang pamer.

“Jakarta belum punya ruang pamer kecil buat seniman baru yang mungkin baru mau terjun ke dunia seni dan belum punya uang banyak," ujar Fandy tentang Sunset Limited. "Gue mau Sunset jadi ruang untuk orang-orang seperti ini. Dan gue emang selalu pengin punya toko yang jual retro atauunique stuff dan merchandise karena gue pribadi kolektor suvenir-suvenir retro.”

Pembukaan Sunset ditandai pameran interaktif Monopoli Wijaya karya Anggun Priambodo. Sepanjang November 2020, Anggun memandu para tamu pameran dari lingkup pertemanan untuk bermain monopoli. Tempat-tempat di papan monopoli mencerminkan kawasan Grand Wijaya dan sekitarnya.

Satu minggu setelah pameran Monopoli Wijaya selesai, toko fesyen ASAU diresmikan. Toko ini menjual busana dan aksesori dari lima jenama fesyen dan aksesori lokal, yakni Studio Moral, SRW, La Douche, dan Hijack Sandals.

Andandika Surasteja, pendiri Studio Moral, bercerita seorang kawan sesama desainer mengajaknya bergabung buka toko fisik kolektif dengan menyewa satu lantai di ruko Grand Wijaya. Dika menyetujui ajakan tersebut.

“Tempat ini unpretentious. Aku lihat kompleksnya juga berkembang, banyak teman desainer di sini yang rata-rata pernah menjual karyanya di Goods Dept (multi brand store yang menjual karya desainer lokal), jadi same energy,” kata Dika.

Dika pernah bekerja sebagai editor fesyen di majalah gaya hidup Nylon Indonesia, lalu menjadi desainer pada 2015. Dika mendesain busana-busana streatwear, hoodie, dan sweatshirt. Ia juga mendesain busana sesuai seleranya—bahasanya, "unisex daily essential with a twist."

“Ujung-ujungnya," ujar Dika, "kliennya adalah orang-orang yang satu selera dengan aku. Temen sendiri, melebar ke temennya temen. Begitu polanya."

Sampai kini ia belum berminat mencari investor guna membantu memperbesar usaha karena ia tidak ingin dikejar-kejar tuntutan balik modal. “Yang penting penjahit-penjahit dan karyawan bisa gajian. Kita juga bisa gajian,” kata Dika, yang bekerja dengan 17 orang di Studio Moral.

Beberapa tahun lalu ia merekrut Radhitio Anindito, seorang fashion stylist, sebagai partner bisnis untuk sisi branding. Tugasnya melakukan pendekatan ke perusahaan retail dan media-media di dalam dan luar negeri untuk menjajaki potensi kerjasama. Sejauh ini Studio Moral pernah melakukan kerja sama bersponsor dengan beberapa lini seperti Huawei, Generation G, dan festival musik We The Fest. Produknya berupa koleksi busana, peragaan busana, dan film pendek.

Radhitio sudah punya beberapa rencana, salah satunya merancang pop up store di ASAU dengan mengundang rekan sesama desainer. Radhitio berharap ASAU bisa jadi ruang serbaguna untuk berbagai acara.

“ASAU tuh collective movement yang jadi semangat baru buat kami pada masa pandemi,” kata Dika.

STUDIO MORAL

Etalase produk-produk fashion dari Studio Moral yang terletak di Grand Wijaya Center. tirto.id/Hafitz Maulana

Rumah produksi konten Saka Space berkantor di Grand Wijaya sesudah ASAU. Hari Hasbullah, produser eksekutif dan pendiri Saka, berkata usahanya sempat terhenti pada dua kuartal pertama 2020 dan bikin dia harus melepas sampai separuh tim Saka. Pada saat itu piutang-piutang belum bisa cair dan sempat tidak dapat proyek sama sekali.

“Kuartal ketiga mulai bangkit," ujar Hari. "Ada perusahaan telekomunikasi yang minta kami handle proyeknya. Kalau situasi sudah begini, kami harus bisa beradaptasi. Kalau bisa satu orang punya beberapa keahlian dan untungnya juga perlengkapan produksi kami lengkap.”

Saka biasa mengerjakan proyek pembuatan dokumenter acara. Beberapa klien adalah Brightspot Market, Synchronize Festival, Djakarta Warehouse Project, dan 90’s Festival. Ada kalanya juga menggarap iklan komersial. Kliennya dari berbagai bidang retail seperti perusahaan fast moving consumergoods, fesyen, otomotif, dan rokok.

Pandemi COVID-19, ujar Hari, bukan titik terendah dalam usaha dan hidupnya. Ia dan Fahmy Siddiq, partner bisnisnya, pernah mengalami kejatuhan bisnis yang lebih dalam saat hendak berbisnis sandal jepit. Modal habis saat riset awal. Tapi, mereka belajar dari pengalaman, lalu membesarkan Saka perlahan.

Hari, seorang perantau dari Makassar, menilai Grand Wijaya berpotensi jadi pusat keramaian anak muda. Di benaknya ada rencana bikin pop up bar tapi entah kapan terlaksana.

“The OG”

Pada akhir 1994, hanya Hogi Wirjono dan kakaknya, Anton Wirjono, yang jadi pengusaha muda di Grand Wijaya. Orangtua mereka membuka bisnis restoran Grand Pinishi pada 1991 di Blok G 9, 10, 11. Bisnis restoran bertahan 2,5 tahun. Setelah restoran tutup, Anton dan Hogi membentuk kolektif Future (pada 2005 berubah jadi Future 10) dan menjadikan salah satu unit ruko sebagai tempat menjual piringan hitam.

Ceritanta, Anton baru balik dari kuliahnya di AS. Dia punya kenalan distributor musik yang bisa memasok vinyl. Hogi meminjam kartu kredit ortunya. Jadilah sebuah toko yang menjadi melting pot DJ dari segala penjuru diskotek di Jakarta. "Kami bahkan sempet masok musik ke Tanamur," kata Hogi merujuk diskotek pertama di Jakarta yang berdiri pada 1972. Pada masa itu belum ada toko piringan hitam di Jaksel yang menyajikan banyak pilihan rave music dan acid house untuk penikmat klub malam.

Beberapa bulan setelahnya, Anton dan Hogi bikin pesta musik dansa mingguan di parkir timur (parkit) Senayan, secara cepat jadi tongkrongan gaul anak-anak muda Jakarta dekade 1990-an. Mereka membuat flyer yang dibagikan ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Pesta ini selalu mengundang massa yang besar. Bisa dibilang duo Hogi-Anton membentuk kultur rave party di Jakarta.

Tapi, pesta itu juga jadi tempat "terlalu banyak yang pakai narkoba," cerita Hogi. Jadi ia membubarkannya pada 1997. Ia balik ke AS, sementara Anton nge-DJ di Bengkel, klub di kawasan SCBD yang sekarang sudah tutup.

Hogi masih berhasrat merancang acara rave party sekembali ke Jakarta pada 2001. Dua tahun setelahnya, kakak-adik ini bikin festival musik dansa Jakarta Movement (JakMove), memakai format multi-stage, yang mungkin menjadi music performance pertama di Jakarta. Pesta-pesta Future di ruang publik sempat dihambat ormas. JakMove hanya bertahan 3 tahun. Namun, dampak dari acara ini terasa sampai sekarang. Acara-acara buatan Future turut menginspirasi pebisnis retail lifestyle macam Ismaya, misalnya membentuk acara serupa seperti Djakarta Warehouse Project.

Duo Hogi-Anton masih menjadi "top of mind" bagi individu maupun penggerak skena yang hendak buat acara musik dansa. Future 10 adalah legenda.

Sesudah JakMove, mereka direkrut mengisi festival-festival musik dansa di luar Jakarta dan tetap laris diminta sebagai music director atau pengisi acara musik di berbagai klub atau lounge di dalam dan luar kota hingga sekarang. Empat tahun terakhir Hogi membuat channel digital Echoes dan sangat rutin membuat pesta dansa virtual.

“Bisnis hiburan ini abadi karena orang selalu cari cara untuk membunuh kejenuhan,” kata Hogi, yang terus mencari cara agar Future 10 bisa tetap berproduksi selama pandemi.

GRAND WIJAYA CENTRAL 90an

Interior Ayya Publishing, toko plus kantor penerbit komik pada 1997. Kini penerbitan tersebut sudah tutup. Ruangan beralih fungsi sebagai toko & workshop desainer fesyen Ansy Savitri. ©DOK Ansy Savitri untuk Tirto

Disetop Pandemi

Namun, Grand Wijaya tak cuma cerita soal gelora bisnis anak muda. Ansy Savitri, desainer yang membuka butik dan workshop di tempat ini, senewen banget melihat mobil polisi mengambil jatah lahan parkir tokonya sampai lama sekali protesnya baru direspons.

Ada kalanya Mardiman, kepala satuan pengamanan Grand Wijaya Center, mesti mengurus maling-maling yang menggondol isi ruko. Ada juga cerita kompleks ruko ini sempat harus berganti nama menggunakan bahasa Indonesia.

Ada waktunya Hogi prihatin karena tempat usaha keluarganya, ruang penyimpanan stok toko The Goods Dept, terbakar. Ada kemarahan soal sistem penerapan tarif parkir tinggi. Ada kabar teman-teman di lingkar ekosistem Grand Wijaya terkena COVID-19.

“Grand Wijaya sudah melalui berbagai era. Tempat ini pernah diisi banyak rumah produksi yang kemudian kolaps karena stasiun TV sudah punya tim kreatif mumpuni. Pada masa itu juga tempat ini jadi hiburan orang untuk nonton bioskop. Ada masa restoran Vietnam dan resto-resto indie berjatuhan,” cerita Hogi.

Ia bahagia kini lokasi kantornya diramaikan oleh teman-teman satu komunitas. “Tempat ini sudah seperti compound. Udah hidup, eh datang pandemi,” kata Hogi yang sedang isolasi mandiri untuk keempat kali saat kami mengobrol via video conference.

Dan Mardiman, yang sudah bekerja 32 tahun di sini, masih mengupayakan bisa mendapatkan uang pensiunnya.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Fahri Salam