tirto.id - Grand Wijaya adalah kompleks ruko, kuliner dan hiburan di Jakarta Selatan yang, karena tak pernah direnovasi sejak dibangun pada medio 1980-an, tetap terkesan jadul, sempit dan kusam di area pemukiman mewah Kebayoran Baru. Kamu seakan memasuki era 90-an saat mengunjunginya sementara dunia di luar bergerak di tahun sekarang. Pandemi COVID-19 menggenapi keadaan ngenes itu, kendati mulai ada anak-anak muda yang mulai meniupkan napas kawasan ini.
Sebagian orang datang ke Grand Wijaya untuk makan nasi campur. (Di sini ada dua restoran nasi campur legendaris.) Sebagian lagi datang untuk pijat atau spa, tempatnya nyempil maupun besar. (Pada tahun-tahun lalu, Grand Wijaya disorot atas transaksi suap di tempat pijat.) Sebagian lain untuk mencukur rambut. Sisanya berkunjung ke kantor, les musik, beli kopi, belanja baju, mampir ke ATM, atau sekadar numpang parkir bila makan di restoran dekat ruko Grand Wijaya.
Pada masa jayanya, kawasan ini dikenal salah satunya berkat kemunculan bioskop Empire, yang diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu Wiyogo Atmodarminto. Bioskop ini menawarkan harga ‘nomat’—akronim nonton hemat—setiap Senin. Belum banyak mal saat itu. Grand Wijaya menjadi salah satu pusat hiburan lintas usia. Ia jadi alternatif untuk orang-orang yang merasa Blok M terlalu ramai dan Taman Ismail Marzuki terlalu jauh.
Empire tutup pada 2007 seiring pertumbuhan mal dan bioskop di Jaksel. Kendati demikian, tempat ini tak pernah benar-benar kehilangan elemen hiburan.
Mungkin cerita terbaik Grand Wijaya bisa kita ikuti dari sudut pandang Mardiman, petugas keamanan selama 32 tahun di kompleks ruko Center, yang dua tahun terakhir naik jabatan sebagai kepala satuan pengamanan.
Seperti umur Grand Wijaya, tenaga Mardiman sudah ngos-ngosan, umurnya sudah kepala enam. “Setiap hari saya menghabiskan lima jam bolak balik rumah-tempat kerja. Saya naik kereta, lanjut naik angkot,” kata Mardiman yang tinggal di Bojong, Bogor. Ia berharap bisa mendapatkan uang pensiun untuk bekal menjalani hidup santai pada usia senjanya sambil menjaga toko kelontong di depan rumah.
Awal Januari lalu saya menghubungi beberapa perantara properti yang memasarkan sejumlah unit ruko di tempat ini. Satu gedung empat lantai dengan luas tiap lantai 17x4 meter dijual Rp5 miliar. Harga sewa satu lantai sekitar Rp80 juta per tahun. Sementara harga sewa satu gedung 5 lantai mencapai Rp350 juta per tahun.
Potensi Grand Wijaya sebagai tempat tongkrongan Jakarta mulai terlihat menjelang akhir 2019 lewat kemunculan kedai kopi Tujuhari. Kedai ini dibuka dengan festival musik dan fesyen oleh orang-orang yang juga mengelola usahanya di ruko Grand Wijaya.
Selama tahun pertama pandemi kemarin, sebagian pengusaha muda Grand Wijaya menggelar beberapa acara seperti pameran seni interaktif Monopoli Wijaya karya Anggun Priambodo, meresmikan toko fesyen ASAU, dan yang teranyar, akhir Januari lalu, menyiarkan program virtual showcase Di Antara Wijaya, episode perdananya menampilkan The Panturas.
Para pengusaha muda ini mendambakan Grand Wijaya pasca-pandemi bisa menjadi tongkrongan akhir pekan. Bisa menjadi ruang kreatif bagi para seniman baru yang ingin menggelar pameran kecil-kecilan. Ada pula yang membayangkan Grand Wijaya sebagai “masa depan skena pergaulan Jaksel.”
Kota Satelit Kebayoran Baru
Bagaimana Grand Wijaya bermula? Mardiman pertama kali datang ke Grand Wijaya pada Agustus 1988. Ia pemuda dari Johar Baru, Jakarta Pusat, yang memutuskan melamar kerja sebagai satpam atas rekomendasi seorang tetangga. Waktu ia datang, Grand Wijaya dikelilingi permukiman polisi.
“Lama-lama dijualin. Dharmawangsa Square tadinya rumah jenderal polisi. Tribrata tadinya juga kompleks polisi,” ujarnya merujuk gedung serbaguna yang dibangun dua tahun lalu dan jadi lokasi resepsi pernikahan non-hotel dengan tarif termahal di Jaksel. “Area sini kompleks Brimob. Kalau gedung Polres mah dari dulu juga udah ada.”
Tugas harian Mardiman menjaga kantor-kantor yang memenuhi Grand Wijaya, dan tugas itu terbilang tenang karena menurutnya tempat ini minim konflik.
Dulu, Mardiman mulai cukup sibuk setelah bioskop Empire diresmikan dan ruko-ruko semakin terisi penuh.
“Habis 1998, muncul supermarket, karoke, spa. Orang-orang Korea datang ke sini. Sebelum 1997 masih banyak pribumi,” ujar Mardiman, menyebut para pelanggan tempat hiburan spa dan dibukanya supermarket asal Korea seperti K-Mart dan Hana Mart.
Ada cukup banyak restoran Korea. Ada pula toko fesyen milik orang Korea. Tempat pijat asal Korea. Tempat les musik berbahasa Korea. Toko-toko ini bersanding klinik kecantikan, kantor hukum, toko bunga, usaha travel, kedai kopi, rumah makan, dan berbagai bank.
Dalam sejarahnya, Jl. Wijaya II, terletak 2,6 kilometer dari Terminal Blok M, adalah bagian dari pengembangan kota satelit Kebayoran Baru, sebagai solusi pesatnya laju pertumbuhan populasi di Jakarta. Perencanaannya dimulai pada 1937 dan dikerjakan pada September 1948 oleh yayasan konstruksi CSW.
Firman Lubis dalam Jakarta 1950-1970 (2018) menulis Kebayoran Baru didesain untuk menampung 100.000 penduduk, 12.500 unit rumah untuk karyawan kelas bawah, menengah, dan karyawan berpenghasilan tinggi. Selain itu, ada toko dan pasar, rumah susun, taman, kantor-kantor pemerintahan, dan Markas Besar Kepolisian.
“Saya masih ingat, saya senang sekali kalau pergi bermain ke Kebayoran Baru pada 1950-an, karena daerahnya tenang, teratur, dan rapi,” tulis Lubis.
Pada dekade-dekade selanjutnya, perubahan kawasan Kebayoran Baru terjadi beriringan perubahan pola hidup dan peraturan pemerintah Jakarta. Pada dekade 1970-1980an, Kebayoran Baru semakin dipenuhi perkantoran, tempat usaha komersial, dan terminal, menurut Lana Winayanti, staf ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat.
Perubahan ruang itu boleh jadi dampak kebijakan yang dibuat Gubernur Jakarta Ali Sadikin, yang menginginkan Jakarta jadi kota metropolitan. Ia membuat rancangan pembangunan jangka panjang Jakarta 1965-1985. Ali berperan melegalisasi tempat hiburan seperti kasino dan tempat pijat atau spa, tulis Lubis. Ali kabarnya juga mengalokasikan dana pajak untuk pembangunan berbagai infrastruktur, di antaranya pusat kebudayaan Taman Ismail Marzuki, gelanggang remaja, rumah sakit, kantor pemerintahan, tempat usaha, pertokoan, perumahan real estate.
‘Make Wijaya Grand Again’
“Gue bikin moto itu,” kata Lavie Daramarezkya, co-founder Tujuhari Coffee, disusul tawa kecil. Lavie ingin agar komunitas pengusaha muda di Grand Wijaya tetap aktif membuat acara sehingga orang mau datang ke tempat ini.
Setidaknya ada belasan pengusaha muda bidang kreatif di Grand Wijaya yang konsisten bikin program publik luring maupun daring. Bidang usaha mereka di antaranya kedai kopi plus ruang kreatif, toko suvenir/ruang pamer, multi brand fashion store, studio desainer busana, studio seniman, dan studio musik.
Jumlahnya memang masih minim tapi cukup bikin saya sadar soal daya tarik baru dari tempat ini.
Anak-anak muda ini rata-rata sudah saling kenal dan kini tergabung dalam satu grup WhatsApp agar mudah bertukar info soal proyek terbaru dan cepat berkoordinasi ketika ingin membuat proyek bersama.
Moto 'Make Wijaya Grand Again' dibuat pada Maret 2020 saat Lavie menggagas Wijaya Car Trunk Market (WCTM), bazar fesyen dan aksesori di area parkir Grand Wijaya. Konsepnya seperti pedagang di pasar kaget yang menggelar lapak di mobil. Bedanya, barang-barang yang dijual bermerek dan dipasarkan dengan harga paling murah Rp50 ribu.
Bazar WCTM semula dibuat rutin tapi pandemi COVID-19 menghentikan rencana itu. Pandemi juga memaksa Lavie mengubah jam kerja untuk karyawan, menggenjot promosi penjualan daring, dan membentuk koperasi Tujuhari, yang memungkinkan para pekerja menjual dagangan demi menambah penghasilan. “Alhamdulilah, sejauh ini belum ada pengurangan,” kata Lavie yang mempekerjakan 10 orang di Tujuhari.
Meski demikian, tahun ini Lavie berencana buka cabang di dalam dan luar kota, juga memasarkan suvenir demi dapat cuan lebih. Merekrut manajer pemasaran, ia berharap pendapatan yang anjlok pada 2020 bisa berangsur membaik.
Sebelum pandemi, kondisi Tujuhari yang dibuka pada November 2019 cukup sesuai ekspektasi Lavie. “Konsumen datang untuk kerja, meeting, bukan nongkrong doang. Program-program juga jalan banget,” kata perempuan yang bekerja sebagai pengacara di sebuah firma hukum ini.
Program itu, yang sebagiannya disponsori oleh jenama retail, adalah acara seperti konser musik, seminar, pop up store, pameran seni, dan talkshow. Tujuannya, ujar Lavie, untuk “mendukung teman-teman kreatif sekaligus menarik pasar baru. Pasar di luar pencinta kopi.”
Lavie bikin kedai Tujuhari bersama tiga kawan. Salah satu alasannya untuk memenuhi keinginan orang-orang seperti dirinya: pekerja yang tidak suka bekerja di rumah atau ruang kantor dan pekerja yang gemar atau butuh rapat di luar kantor. Modal usahanya dari urunan para pendiri, ujarnya. Untuk tempat, “kerja sama dengan pihak lain. Ada investor.”
Pembukaan kedai Tujuhari ditandai Manifest, festival yang menggabungkan penampilan musik dan lokakarya desain dengan pengisi acaranya orang-orang yang juga berkantor di Grand Wijaya. Sebelumnya, saya belum pernah mendengar atau melihat ada acara semacam ini di kompleks ruko tersebut, yang bikin tempat ini serasa tempat-tempat hip di Senopati.