tirto.id - Sudah hampir tengah malam. Sabtu, 8 September, segerombolan anak perempuan berusia 17-an tahun duduk di lantai depan sebuah supermarket di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Mereka resah karena masih harus menunggu kabar kapan bisa masuk ke Amigos, bar dan restoran yang ada persis di lantai atas tempat mereka duduk.
Gadis-gadis ini sudah menunggu lebih dari 30 menit. Gelagatnya sudah tak jenak. Berdiri di depan tangga. Berjalan mengelilingi gedung. Lalu duduk lagi. Mereka berharap namanya dipanggil oleh penjaga bar.
Mereka tak pernah melepaskan tatapannya dari ponsel, sembari mengobrol.
“Mama gue udah nanyain nih. Mama lu kalau nanyain tempat hangout sampai detail gitu nggak, sih?”
“Eh, lu udah boleh minum?”
"Udah boleh pacaran belum sama Mama?”
“Mana lagi ya tempat tongkrongan yang asik selain di sini?”
Sebenarnya ada untungnya mereka menghabiskan waktu di pinggir lahan parkir karena di area itu mereka bisa mendengar omongan teman dengan jelas. Musik dari dalam bar dan restoran terlampau keras bahkan terdengar jelas sampai area parkir. Sampai-sampai menenggelamkan obrolan.
Akhirnya, gerombolan gadis itu memilih pergi usai menyebut beberapa nama kafe dan bar lain di Jakarta Selatan.
Di akhir pekan, Amigos memang dipadati kaum remaja dan dewasa muda. Sesungguhnya, tempat ini adalah bar tua yang dibangun pada 1979. Dan, karena itu, bisa jadi pula tempat ini sempat jadi lokasi tongkrongan orangtua para remaja tersebut.
Malam itu tak semua orang memilih menyerah. Area parkir masih jadi ruang tunggu lebih dari 20-an orang. Mereka menanti dengan santai, meski hari telah beranjak Minggu.
“Kemang ini emang isinya dedek-dedek yang pengen masuk ke dunia malam. Dulu zaman gue SMP juga begitu,” kata Irfan, 22 tahun, yang pernah datang ke Amigos sewaktu remaja.
"Waktu itu pengen tahu dunia malam tuh kayak apa. Lihat anak-anak SMA sudah bisa pergi ke sana ke sini jadi pengen juga. Jadilah pergi ke Amigos. Ikut-ikut temen aja sih, sebenernya. Di sana asyik. Ada live music, bisa joget. Sebulan pergi dua sampai tiga kali di weekend. Minumnya Mix Max dan coba-coba Radler,” tambah Irfan.
Beranjak SMU, Irfan menjelajahi daerah Cipete dan klub di kawasan Kemang. Ia bilang, karena ada beberapa temanya "yang anak pejabat", jalan-jalan macam ini menyenangkan bagi dia yang tidak tinggal tapi sekolah di Jaksel dan hanya punya uang terbatas buat jajan. Ia kemudian dianggap "anak gaul" oleh teman-temannya.
“Selain ngikut temen, gue nih orangnya kepo. Pengen tahu tempat-tempat yang baru,” kenang Irfan, yang kini bekerja di perusahaan rekrutmen asal Jepang.
Rasa penasaran itu berlanjut sampai dia kuliah, yang gemar nongkrong di kawasan Senopati. “Ada satu band namanya Lala Huta yang suka manggung di kafe-kafe, jadi gue sering ke Pao Pao. Terus abis itu ke Beer Garden, Yellowfin, 3rd Avenue, dan ke Beer Hall. Tempatnya pricy tapi udah bisa nabung waktu itu jadi aman.”
Sekarang Irfan sedang mengeksplorasi daerah Kuningan—juga di Jakarta Selatan, “Sekarang hangout sambil punya business goal. Jadi tempat yang dipilih kayak menara BTPN Atico atau Fat Shogun."
"Jakarta Selatan tuh emang beda, sih," lanjut Irfan. "Sekolah-sekolah favorit aja ada di sini. Pusat bisnis di sini, misal SCBD dan Kuningan. Pusat entertainment, Kemang, juga di selatan. Jadi ya stereotype orang terhadap 'anak Selatan' muncul dengan sendirinya, gitu.”
Apa yang diungkapkan Irfan menjawab sebagian kecil dari rasa penasaran saya: bagaimana tongkrongan-tongkrongan di Jakarta Selatan membentuk pergaulan dan pengalaman seseorang, serta mengungkap kesan dan kadang-kadang ikatan kultural. Hal menarik lain ia bicara dengan bahasa "gado-gado", campuran antara Indonesia dan Inggris.
Gaya bahasa "keminggris" ini pekan lalu jadi omongan di media sosial sebagai predikat "anak Jaksel"—berbaur dengan identifikasi kelas ekonomi atau pendidikan menengah ke atas orang Indonesia.
Saya meminta pendapat Amira Dayanara, 25 tahun, pendiri @overheardjkt, akun Instagram yang berisi postingan curi dengar alias nguping percakapan orang Jakarta. Semula ingin mengetahui mungkin ada omongan menarik tentang "anak Jaksel" yang ditangkap akun medsos tersebut, Amira terbuka untuk berbagi kesan bagaimana ia memandang kota kelahirannya.
Kebetulan, Amira lahir dan tinggal di Jakarta Selatan. Ia sempat kuliah di Los Angeles, Amerika Serikat. Kini ia bekerja di salah satu perusahaan e-commerce yang berlokasi di kawasan Sudirman. Seusai kerja, ia biasanya memanfaatkan waktu untuk nongkrong sejenak.
"Mostly abis kerja, dinner. Tempatnya bisa di Senopati, Kuningan, Plaza Senayan, Plaza Indonesia. And here is still rimbun kalau lihat SCBD. Resto-resto keren dari luar udah mulai ada di sini. Aku rasa tempat-tempat ini ada karena influence dari orang-orang yang pernah kuliah di luar, terus buka di sini.”
Amira seakan tertambat pada tempat-tempat, yang kerap ia datangi bersama teman-teman yang pernah sekolah bareng. Ia bersosialisai sambil menyimak obrolan tamu. “Ya aku suka nge-chill aja gitu. In a way ... tempat makan enak yang tempatnya enak juga. Dan di sini pasti kayak ada something omongan yang relatable buat overheard.”
Di akhir pekan, biasanya sejak siang, Amira memilih bepergian ke beberapa tempat sebagai variasi. "Di Jakarta, bisa you don’t know what to do. Weekend paling brunch, atau malem dinner. Setiap tempat punya vibe beda. Kalau ke SCBD karena tempatnya mostly bagus jadi datang dengan dandanan rapi. Kalau ke Kemang gayanya lebih ke street style dan hip-hop,” kata Amira.
Mungkin berlebihan, tapi Amira menyebut bahwa Jakarta Selatan "is the place to see and to be seen." Ia berkata, "Anak selatan punya banyak knowledge. Ada tren apa, orang cepet banget tahu."
Anak Gaul Jaksel: Dari Aspal ke Visual
Jakarta Selatan tumbuh sebagai proyek permukiman dari apa yang disebut Soeharto dalam sebuah instruksi presiden pada 1976—tiga tahun sebelum Amigos berdiri.
Soeharto, yang menginginkan DKI Jakarta sebagai "Ibukota Negara yang lebih mencerminkan peri kehidupan bangsa,"—apa pun maksud dari omong kosong bahasa Orde Baru ini—menghendaki "langkah-langkah meringankan tekanan penduduk dengan cara membina pola permukiman ... secara lebih merata."
Kawasan asri di selatan Jakarta termasuk di Kemang—yang dianggap "tempat jin buang anak"—perlahan menjadi permukiman. Mereka termasuk orang-orang kaya yang mendirikan rumah-rumah mewah, yang juga ditempati para ekspatriat.
Sebagaimana Menteng di Jakarta Pusat, yang jadi rumah bagi para politikus Orde Baru dan duta besar, Kemang dan Kebayoran Baru di Jaksel menjadi salah satu konsentrasi lingkungan orang superkaya Indonesia.
Christoper Silven dalam Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century (2007) menyebut bahwa pada 1990-an, Kemang dan kawasan selatan menjadi bagian dari Jakarta yang berambisi menjadi "kota dunia".
Perubahan kawasan ini mendekatkan jarak dengan aspal sebagai bahasa. Jalan raya tumbuh. Transportasi semakin mudah. Pada 1980-an, Jakarta Selatan mulai dianggap sebagai tempat nongkrong yang serba responsif atas tren terbaru.
Dewi Asaad, salah satu anak nongkrong itu, mengisahkan kepada saya bagaimana setiap hari, seusai kuliah, ia mengunjungi Hilton Hotel—saat ini Sultan Hotel. Ia datang untuk makan di Peacock dan memesan menu ala Jony Wong, menu nasi dan tumis daging yang selalu dipesan oleh Jony Wong, ayah selebritas Baim Wong.
“Kenapa nongkrong di hotel? Karena hotel tempat gaul," kata Dewi.
Biasanya, sebelum kuliah, ia dan teman-temannya (bernama geng 'Frosco') sudah janjian untuk bertemu di sebuah lokasi nongkrong—zaman sekarang disebut dengan bahasa gaul "wisata kuliner". Mereka memulainya dengan jajan di kaki lima ("ada satu siomay yang terkenal," sebut Dewi), lalu menuju Hilton, kemudian ke Roti Bakar Eddy.
"Dulu kalau gaul se-geng. Jadi ke mana-mana bareng,” kenangnya.
Geng ini juga termasuk "anak mobil"—demikian Dewi menyebut bagaimana aspal sebagai bahasa. “Kita suka kumpul di parkir timur Senayan. Saling coba mobil satu sama lain lalu konvoi sambil buka kaca dan dengar musik. Zaman itu sih musiknya Classic Disco. Rick Astley, Tommy Page,” lanjut ibu satu anak ini.
Menjelang akhir pekan, kegiatan nongkrong itu lanjut dengan berdisko, dan salah satu favoritnya adalah Zanzibar.
“Semua anak gaul selatan ada di sana. Di tempat itu kelihatan deh orang-orang yang habis dari luar negeri. Gayanya beda. Tampilannya mirip dengan model-model di majalah lifestyle dari luar negeri. Pakai celana Jirbo, baju Iceberg atau Guy Laroche, sepatu Charles Jourdan, tas LV atau Gucci.”
Pada 1990-an, Dewi berkata ia melihat tak ada perbedaan antara anak selatan dan non-selatan Jakarta. Saat itu restoran, kafe, atau klub masih terbatas. Ia berbaur dengan kawan-kawan yang tinggal di Jakarta Barat hingga Jakarta Utara. Dan ia merindukan masa-masa itu.
Ia mengenang suatu masa ketika ia bisa bicara tentang musik bersama teman-teman, bertukar kaset, serta membuat rekaman tangga lagu sesuai selera—atau bahasa anak sekarang, "mixtape." Ia membandingkan dengan masa sekarang. Ia merasa kafe-kafe di Jakarta bagai studio foto yang didominasi perbincangan tentang cara memunculkan foto atraktif di media sosial—atau bahasa gaulnya, "Instagramable."
Perubahan memang selalu seperti itu. Internet mengubah kebiasaan: layar ponsel semakin akrab dengan generasi yang asyik dengan teknologi. Pengalaman visual semakin matang. Penampilan luar menjadi hal pokok.
Julius Kensan, editor in chiefManual Jakarta, salah satu media rujukan mantap soal tren di Jakarta, mengatakan bahwa "anak selatan lebih berani explore stuff. Mereka pilih satu piece, misalnya Off-White, dan langsung jadikan itu sebagai statement gaya. Ini dilakukan karena di selatan banyak tempat nongkrong. Mereka dress up because they have places to go.”
Mereka bisa pakai Balenciaga; mereka bisa pakai Vetements; mereka bisa pakai Supreme; dan mereka bisa pakai limited edition sneakers, ujar Kensan menyebut sejumlah merek terkenal.
Kensan, yang lahir di Pulau Bintan dan menghabiskan sebagian besar waktu remajanya di Singapura, datang Jakarta untuk bekerja dan memilih tinggal di apartemen di kawasan Kemang, yang dinilainya sebagai lokasi strategis. Pria 29 tahun ini mengunjungi beragam tempat makan dan minum baru di Jakarta sebagai rutinitas kerja.
Dua tahun terakhir, Manual Jakarta menjadi referensi tempat gaul bagi generasi Milenial. Bagi mereka yang gemar berfoto di kafe, situs Manual Jakarta yang menonjolkan tampilan visual dalam laman web-nya bisa menjadi panduan yang memuaskan.
Sebagai orang baru di Jakarta, awalnya Kensan heran tentang keinginan orang untuk mendatangi kafe-kafe baru atau tempat yang sedang jadi tren. “Sebenarnya originally, I don’t really care about lifestyle. Gue cuek. Tapi the more I work di this bidang I get to understand kenapa orang suka datang ke tempat-tempat baru yang bagus, gitu. Each of this establishments represents exciting journey in Jakarta's lifestyle scene."
Ia berkata bahwa sebelumnya orang tidak pernah berpikir bahwa "Jakarta is a place to develop in terms of lifestyle." Lalu muncul Potato Head.Union—restoran yang buka pertama kali di Plaza Senayan—menyusul. "Kesuksesan Union memicu kemunculan grup lain,” tambahnya.
Dua restoran itu berlokasi di Jakarta Selatan dan, menurut Kensan, hadir berkat munculnya sekolah internasional dan para ekspatriat yang tinggal di Jakarta Selatan.
"Anak Jaksel isvery aware of what’s going on globally or internationally and they try to apply them here," ujar Kensan.
Ia mencontohkan bagaimana cara pakaian mereka yang "into hip hop" sehingga mereka mencari tempat yang menjual values yang mereka suka dan datang ke tempat yang bisa cocok dengan tampilan mereka. "Because it's not like other countries—bisa jalan atau bisa kayak ke park and museum. It's always a special ocassion when they go out."
"Senin sampai Jumat kerja. Lalu Sabtu keluar ke mal dan itu maunya special ocassion," kata Kensan, meyakinkan saya dengan sebuah penjelasan ketika saya menemuinya di kantor Manual Jakarta. "Mereka bukan cuma berdandan, tapi tampil di tempat bagus dan ambil foto bagus."
So, mereka akan ambil gaya dan pilih spot paling Instagramable. And they talk about the life's stuff. And they don't talk about the stuff they don't love.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Fahri Salam