Menuju konten utama

Bahasa ala Anak Jaksel Dikritik Ivan Lanin, Dibela Budayawan Betawi

Menurut Ivan Lanin, gaya bahasa ala anak Jaksel muncul karena ketidakmampuan menyusun kalimat, memilih kosa kata, serta ketidakteraturan dalam berpikir.

Bahasa ala Anak Jaksel Dikritik Ivan Lanin, Dibela Budayawan Betawi
Ilustrasi remaja laki-laki antusias melihat layar laptop. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pemakaian bahasa "gado-gado", Indonesia campur Inggris ala anak Jakarta Selatan (Jaksel), jadi lelucon yang viral di media sosial. Anak-anak itu kerap menggunakan kosakata Bahasa Inggris seperti 'which is', ‘literally’, 'even' dengan campuran bahasa gaul Jakarta misalnya, ‘kek’, ‘yauda’, dan sebagainya.

Misalnya jika dituangkan dalam kalimat, "To be honest, sejujurnya gua selama ini tahu even dia enggak pernah bilang. Which is sebenernya literally gw kek have feel...”

Gaya bicara semacam itu mudah ditemukan di warung makan daerah Jaksel, unggahan sosial media, dan buku karya anak Jaksel. Hal itu menjadi identitas tersendiri yang justru menjadi bahan tertawaan di sosial media.

Wikipediawan pencinta bahasa Indonesia, Ivan Lanin menanggapi fenomena ini. Menurutnya, gejala berdialek ala anak Jaksel itu sudah lama muncul di kalangan anak muda. Hanya saja belakangan kebiasaan bertutur bahasa “gado-gado” itu disematkan ke anak Jaksel.

Penganjur berbahasa Indonesia yang baik dan benar tersebut menjelaskan beberapa faktor penyebab munculnya gaya bahasa ala anak Jaksel. Beberapa di antaranya karena ketidakmampuan dalam menyusun kalimat, memilih kosa kata, serta ketidakteraturan dalam berpikir.

Bagi Editor Google Indonesia tersebut, campur kode dalam kalimat-kalimat ala anak Jaksel mengandung pengulangan. Dampaknya tidak efektif dan mubazir dalam berkomunikasi.

"Pembelaan mereka di Twitter kan ini untuk language acquisition, tapi itu harusnya ada di kelas. Kalau di Twitter, menurut saya itu bukan kelas," kata Ivan menyitir salah satu istilah dan dalih anak Jaksel saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (6/9/2018).

Selain itu ia menganggap, faktor lain yang menyebabkan munculnya gejala tersebut adalah perasaan kagum terhadap hal-hal yang asing. Ada persepsi bahwa gengsi sosial akan meningkat seiring penggunaan bahasa ala anak Jaksel.

"Kalau menurut saya motivasi utamanya mau menunjukkan kekerenan, bahwa penggunaan bahasa seperti itu bisa lebih wah,” ungkapnya.

Dianggap Tak Masalah

Dihubungi secara terpisah, Budayawan Betawi Ridwan Saidi, memandang fenomena bahasa ala Anak Jaksel itu sebagai suatu tingkah yang kreatif. Pola bilingual dalam berbahasa itu menurutnya tak bersifat merusak.

"Makannya enggak perlu takut. Soalnya kan kayak begitu paling dipakai di lingkungan komunitas mereka sendiri," kata Ridwan kepada reporter Tirto.

Dia menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan berbahasa. Beberapa di antaranya seperti latar suasana dan tempat komunikasi, lawan bicara, tujuan akhir komunikasi, peristiwa atau momen saat berkomunikasi dan ragam bahasa dan dialek yang digunakan.

Ia juga menilai bahwa penggunaan bahasa gado-gado itu justru dapat membantu pemuda memperkaya kosa-kata dan belajar bertutur bahasa Inggris. Sebab kata dia, belum tentu hal tersebut dapat dilakukan dengan leluasa pada jam belajar bahasa Inggris mereka.

"Kalau Jakarta kan dari dulu juga sudah banyak bahasa campur-campur begitu. Yang penting kan orang tahu tempat waktu ngomong sama orang Betawi juga begini lagi [pakai bahasa Betawi]," imbuh penulis buku Profil Orang Betawi: Asal muasal, Kebudayaan, dan adat Istiadatnya yang diterbitkan Gunara Kata tahun 1997 itu.

Infografik CI Gejala Keminggris Orang Indonesia

Pada sisi lain, Psikolog Klinis Kasandra Putranto, menilai jika gaya bahasa ala anak Jaksel digunakan sebagai metode belajar bahasa Inggris, jangan dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Lagi pula, kata dia, tiap zaman punya bahasanya sendiri-sendiri.

Menurutnya jika gaya bertutur campuran itu masuk dalam tren remaja kekinian, ada kemungkinan hasil imitasi dari tindakan orang lain. “Artinya mungkin banyak artis atau idola atau figur panutan mereka yang sudah go internasional," kata Kasandra kepada reporter Tirto.

Tindakan meniru itu menurut Kasandra merupakan gejala umum. Sebab pemilihan figur panutan tiap kelas sosial berbeda-beda. Dengan demikian, menurut Kasandra, bisa dikatakan bahwa penggunaan bahasa gado-gado tersebut juga ditujukan untuk menunjukkan status dan posisi sosial.

Sisi negatif dari pemakaian bahasa gado-gado itu, kata Kasandra, justru terjadi ketika mereka mencampurkan kata dan mengaburkan makna. Selain merusak bahasa, tindakan tersebut membuat pemahaman berbahasa mereka menjadi terbatas.

"Harusnya jangan dicampur aduk dan diacak-acak ya, demi menjaga bahasa Indonesia juga," imbuh pemilik Kasandra Associates-Psychological Practice tersebut.

Baca juga artikel terkait BAHASA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana