tirto.id - Sebagai peringatan 50 tahun rilisnya album perdana The Doors, Rhino, label rekaman yang fokus pada band-band klasik, merilis bokset spesial berisi tiga CD dan LP yang berisi remaster album stereo dan mono dari The Doors. Paket ini akan berisi 12x12 buku hardcover yang berisi foto-foto langka yang tak pernah dipublikasikan dan juga liner notes dari kontributor Rolling Stone, David Fricke. Penjualan album ini diburu oleh banyak kolektor dan pecinta The Doors, sekaligus melanjutkan tradisi panjang bokset vinyl sebagai produk premium.
Apakah ini menandakan bahwa industri vinyl masih berjaya? Dari data-data yang ada, industri vinyl dunia mengalami pasang surut meski selama sembilan tahun terakhir tren penjualannya terus naik. Namun, tahun ini untuk pertama kalinya penjualan vinyl di Amerika mengalami penurunan. Recording Industry of America (RIAA) menyebutkan, penjualan vinyl di negara itu mengalami penurunan sebanyak 9 persen pada semester kedua 2016 dibanding tahun lalu. Setidaknya ada 8,4 juta keping vinyl terjual sepanjang 2016 atau senilai 207,1 juta dolar. Pada periode yang sama di 2015, penjualan mencapai 9,2 juta dolar dengan pendapatan $221,1 juta dolar.
Sementara di Inggris untuk pertama kalinya dalam sejarah nilai penjualan vinyl mengalahkan penjualan musik digital. Penjualan vinyl mencapai 2,4 juta pound atau 3,03 juta dolar sementara penjualan musik digital 2,1 juta pound atau 2,64 juta dolar. Meski ada perbedaan antara penjualan di Inggris dan Amerika, pada April lalu, Fortune menyebut penjualan Vinyl mencapai titik tertinggi dalam sejarah sejak 28 tahun terakhir.
Layanan analisa musik BuzzAngle Music pada akhir tahun lalu merilis laporan tahunan tentang konsumsi musik di Amerika serikat. Dalam data yang dirilis disebutkan bahwa layanan audio streaming mencapai rekor tertinggi dengan memutar lebih dari 250,7 miliar lagu tahun ini, dengan klasifikasi genre paling banyak didengar adalah hip-hop/rap. Maka tidak mengherankan kemudian jika penjualan album fisik di Amerika mengalami penurunan 11, 7 persen dari 2015. Berbeda dengan data RIAA, penjualan vinyl versi BuzzAngle ini meroket sebanyak 25,9 persen pada akhir 2016.
BuzzAngle Music menyebut genre musik rock/metal sebagai kontributor utama penjualan album vinyl di Amerika. Sebanyak 63 persen dari total penjualan album yang ada bergenre musik keras itu. Album Twenty One Pilots yang dirilis pada 2015 berjudul Blurryface masih menjadi album terlaris pada 2016, diikuti dengan album terbaru Radiohead berjudul A Moon Shaped Pool. Beberapa album klasik seperti The Beatles album Abbey Road yang dirilis pada 1969 dan Amy Winehouse album Back to Black yang dirilis pada 2006.
Raja Humuntar Panggabean adalah pemilik dari toko vinyl dan label rekaman Hearing Eye Records. Bersama dua temannya, Bram Pradipta dan Rabindra Femzar Oewen, Raja mendirikan toko yang fokus pada musik. Pada awalnya, mereka bertiga menjual vinyl untuk menambah uang saku guna membeli vinyl untuk koleksi pribadi. ”Seringkali jika mengimpor vinyl dengan jumlah yang tidak banyak, membuat bengkak biaya kirim. Maka kami bertiga berpikir kenapa tidak kami mencari teman yang suka vinyl dan bersama-sama untuk memesan vinyl secara kolektif untuk meminimalisir biaya kirim,” kata Raja.
Sebenarnya apa yang membuat seseorang menjadi penggila vinyl? Ada banyak pertimbangan seseorang untuk mengoleksi vinyl. Raja lebih suka mengoleksi band berdasarkan diskografi yang ia suka. Misalnya band King Crimson, Raja mengoleksi seluruh rilisan vinylnya dari yang penting sampai yang kurang terkenal. Dari early press sama yang remastered. “Karena buat saya vinyl itu adalah bentuk rilisan musik yang paling “novelty”, jadi memang hanya album yang sangat berpengaruh untuk saya aja yang saya koleksi. Yang sekadar suka, biasanya saya dengar di bentuk CD atau online streaming,” jelasnya.
Budi Warsito, seorang kolektor Vinyl di Bandung, menyebut bahwa ada sikap ndableg di antara kolektor vinyl. Beberapa dari mereka, entah berapa persen dari jumlah konsumen yang sempat kian membesar dan kemudian turun dan mengalami pasang surut dari tren ini percaya bahwa vinyl sebagai format rilisan fisik yang kualitas suaranya paling superior, meski itu juga mensyaratkan---ini yang sering dilupakan perangkat sound system yang tepat. “Saya termasuk yang ndableg itu,” katanya.
Budi menganggap ada banyak variabel yang memengaruhi mengapa vinyl mahal. Seperti ongkos produksi vinyl yang lebih mahal ketimbang format lain, baik dari segi material, mesin produksinya, maupun sumber daya manusianya. Tapi itu punya nilai tambaj, seperti daya tahan produknya juga terbukti lebih tinggi. “Vinyl lebih awet dan nggak gampang rusak dibanding format CD atau kaset. Dan faktor bahwa di Indonesia sudah tidak ada lagi pressing plant untuk vinyl bikin harga produknya lebih mahal lagi karena semua harus impor atau dikerjakan di luar negeri semua,” katanya.
Sejauh ini di Indonesia untuk menekan ongkos produksi produksi vinyl adalah dengan membuat sampul /sleeve-nya dikerjakan di dalam negeri (Indonesia), dicetak di sini misalnya lewat jasa tukang cetak undangan perkawinan yang biasanya cukup kreatif dan relatif lebih murah. Raja di sisi lain sebagai kolektor sudah pada tahap di mana tak lagi mempertimbangkan harga ketika bicara tentang band kesukaan. Ia memiliki album vinyl Opeth - Heritage Deluxe Edition Box Set seharga 2,5 juta rupiah. “Soalnya ini album yg sangat spesial bagi gue sebagai fans berat Opeth. Album ini secara musikal menjadi transisi Opeth dari Black Metal ke Progressive Rock. Secara artwork juga gila banget. Di Deluxe Edition ini banyak printilan-printilan yang aneh-aneh,” katanya
Tren global meningkatnya penjualan vinyl punya alasan sederhana. Di Inggris seperti juga di Amerika, mulai banyak toko yang menjual vinyl. Di Amerika toko-toko non ritel musik tradisional, seperti Urban Outfitters, Barnes & Noble, dan Whole Foods mulai menjual album piringan hitam. Ini tentu jadi penanda bahwa toko-toko tersebut menganggap piringan hitam sebagai produk yang bisa dijual dan punya nilai ekonomi. Pembelinya juga beragam dari kelompok usia muda sampai tua, meski varian genre album yang dijual di toko-toko tadi tidak kaan selengkap di toko musik.
Ian Shirley, editor dari Rare Record Price Guide, mengatakan bahwa terlepas tren yang ada saat ini album vinyl biasanya berkisar di antara 30 sampai 40 poundsterling. Namun, nilainya bisa meningkat dengan sangat tinggi dengan kondisi tertentu. Sebuah album vinyl bisa meningkat drastis jika ia berasal dari band masa silam dan diproduksi dengan sangat sedikit, tapi kondisi tetap menjadi kunci. Misalnya utuh kondisi albumnya, cetakan pertama, lengkap cover albumnya, dan mint condition.
Beberapa album terlangka yang ada di dunia saat ini bisa berkisar dari 7.500 sampai 200.000 pounsterling. Album 7 inci 78 rpm bertajuk That’ll Be The Day/In Spite Of All The Danger dari the Quarryman, band proto the Beatles, misalnya mencapai 200.000 poundsterling. Album cetakan pertama ini hanya ada satu di dunia dan dimiliki oleh Sir Paul McCartney. Side A ditulis oleh Buddy Holly dan Norman Petty, sementara side B ditulis dan dikomposisi oleh Paul McCartney bersama George Harrison.
Menariknya, sebuah riset dan survey yang dilakukan di Inggris, menyebutkan 48% pembeli vinyl tak sempat mendengarkan album yang mereka beli. Mereka membeli dan memiliki vinyl hanya untuk kepuasan visual, mengikuti tren, atau apresiasi artistik belaka. Pendengar musik digital masih jauh lebih tinggi daripada pendengar musik vinyl, meski dalam skala tertentu, vinyl memberikan kepuasan tersendiri akan bentuk dan kehadiran fisik.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti