tirto.id - Seberapa rutin kamu mengecek kondisi kesehatanmu?
Enam bulan sekali? Setahun sekali?
Atau, kamu justru baru melakukannya setelah merasakan sederet keluhan sakit?
Yunita (37) mengaku bersyukur dapat mengetahui kondisi kesehatannya yang tidak terlalu bagus dengan lebih awal melalui medical checkup (MCU), disebut juga skrining atau pemeriksaan kesehatan.
Ibu dua anak asal Bogor, Jawa Barat itu terdorong untuk menjalani MCU secara rutin sejak 2022 lalu, tepat saat ulang tahunnya ke-34.
Pada pemeriksaan kedua tahun 2023, diketahui bahwa ia memiliki riwayat kolesterol cukup tinggi. Pada kesempatan itu pula, ditemukan benjolan di payudaranya.
Yunita mengatakan, keinginan untuk skrining kesehatan tidak datang sekonyong-konyong.
Ia terinspirasi dari kisah seorang teman yang memiliki gaya hidup sehat dan rutin menjalani MCU.
"Karena aku mulai khawatir mendengar orang-orang di sekitarku, juga berita-berita tentang orang usia muda tapi sudah terkena penyakit degeneratif," tutur Yunita.
Sebagai seorang "sweet-tooth" atau penggemar makanan manis, Yunita mengaku sangat khawatir terserang penyakit diabetes.
Memasuki usia 30-an, terlebih masih dibayang-bayangi situasi pandemi COVID-19, Yunita mulai merasakan sejumlah keluhan terkait kondisi tubuhnya.
Bak gayung bersambut, sang suami mendukung Yunita. Kantor tempat Yunita bekerja pun bersedia memberikan bantuan terkait pembiayaan skrining kesehatannya.
Yunita memutuskan mengambil paket kesehatan perempuan—lengkap dengan pemeriksaan papsmear sebagai deteksi kanker serviks dan USG Mammae untuk memeriksa kondisi payudara.
Meski pada awalnya merasa takut dan enggan, nyatanya MCU memberikan pengalaman positif untuknya.
Usai mengundurkan diri dari pekerjaannya pada akhir 2022, Yunita menjelaskan bahwa biaya pemeriksaan kesehatan selanjutnya diambil dari anggaran pribadi. Sekali MCU, kata Yunita, dia bisa menghabiskan sekitar Rp2 juta.
"Setelah aku pikir dan hitung ulang, sebenarnya kalau aku tahan diri tidak belanja baju sekian bulan, totalnya setiap tahun bisa untuk MCU," ujarnya sembari tertawa.
Pada dasarnya, pemeriksaan kesehatan menyeluruh ini dilakukan untuk mengevaluasi kondisi kesehatan kita.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut tujuan dari skrining adalah untuk mengidentifikasi orang-orang dalam populasi yang terlihat sehat tetapi berisiko lebih tinggi terhadap suatu kondisi kesehatan.
Langkah ini dapat memungkinkan perawatan atau intervensi dini untuk mengurangi kematian akibat kondisi kesehatan tersebut.
Sayangnya, karena beberapa faktor, tidak semua orang bersedia menjalani pemeriksaan kesehatan secara rutin.
Menurut sejumlah sumber data, persentase orang yang bersedia menjalani MCU pun masih tergolong rendah.
Portal data dan statistik yang berbasis di Jerman, Statista Consumer Insights, pada 2023 silam pernah melakukan survei terkait skrining kesehatan terhadap ribuan responden usia 18-64 tahun di sejumlah negara.
Hasil survei mengungkapkan beberapa negara memiliki persentase di bawah 50 persen ihwal melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.
Persentase lebih tinggi ditemukan pada responden di Korea Selatan (61 persen) dan Brasil (52 persen).
Sementara itu, data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023 menunjukkan bahwa hanya 39,87 persen penduduk telah melakukan skrining penyakit tidak menular.
Selain itu, sebanyak 32,6 persen penduduk usia 20 tahun ke atas tidak pernah memeriksa tekanan darah; 80,82 persen tidak mengukur lingkar perut; 35,61 persen tidak memantau berat badan; 61,6 persen tidak memeriksa kadar kolesterol; dan 62,6 persen tidak pernah memeriksakan kadar gula darah.

Apa yang membuat sebagian masyarakat enggan melakukan skrining kesehatan rutin?
Menurut pengamat kesehatan masyarakat yang kini menjabat Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jakarta sekaligus dosen pengajar di Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, Ph.D, di antara faktor yang menyebabkan masyarakat enggan memeriksakan kesehatan secara rutin adalah persoalan persepsi yang keliru dan kesadaran yang belum terbangun untuk melakukan deteksi dini.
Padahal, Narila menegaskan, definisi sehat tidak hanya mencakup pada fisik, tetapi meliputi sehat mental dan sosial.
Narila mengatakan, medical checkup yang dilakukan secara rutin memiliki banyak manfaat, termasuk untuk mendeteksi dini penyakit tidak menular dan menentukan jenis perawatannya.
Melalui deteksi dini, kata Narila, treatment atau penanganan sebuah penyakit akan menjadi lebih mudah dan cenderung lebih terjangkau atau murah biayanya.
"Ada juga beberapa gejala yang muncul tidak selalu harus ditangani dengan terapi obat, melainkan dengan perbaikan gaya hidup atau lebih banyak olahraga," paparnya.
Oleh sebab itu, Narila menyarankan medical checkup perlu dilakukan setidaknya satu tahun sekali, atau dengan frekuensi yang disesuaikan bagi penderita penyakit tertentu, seperti diabetes, jantung, dan hipertensi.
Narila menjabarkan, dalam MCU ada beberapa aspek yang perlu diperiksa secara berkala.
Aspek pemeriksaan di dalam MCU meliput tekanan darah, gula darah, fungsi hati dan ginjal, serta kolesterol. Tidak ketinggalan pemeriksaan indeks massa tubuh untuk mengantisipasi obesitas dan kekurangan gizi.
Selain itu, terdapat beberapa pemeriksaan tambahan untuk laki-laki dan perempuan.
Bagi perempuan di atas usia 21 tahun dan aktif secara seksual, Narila merekomendasikan pemeriksaan papsmear tiga tahun sekali.
"Nanti kalau sudah di atas usia 65 dan hasil skrining papsmear sebelumnya negatif secara berturut-turut, tidak ada riwayat keluarga kanker, maka papsmear tidak perlu dilakukan. Namun, apabila memiliki faktor risiko, maka papsmear tetap mesti dilakukan," ungkapnya.
Pemeriksaan mamografi juga bisa dilakukan sebagai skrining pada perempuan di atas 40 tahun, terutama yang memiliki faktor risiko dan mendapati benjolan atau perubahan pada payudara.
Sementara itu, bagi laki-laki di atas usia 50 tahun, disarankan untuk menjalani tes PSA (Prostate Specific Agent) untuk mendeteksi dini kanker prostat.
"Karena prostat menjadi bermasalah kalau sudah menjelang lansia. Bisa dilakukan lebih awal kalau punya riwayat keluarga kanker prostat," imbuh Narila.
Faktor Ketakutan
Berbeda dari Yunita, Mutia (38) mengaku hanya menjalani medical checkup saat menemukan keluhan pada kondisi tubuhnya.
"Biasanya tes gula darah dan HB-nya tinggi atau rendah, dan sering checkup juga waktu hamil. Sisanya kalau ada keluhan saja," aku Mutia.
Ia mengatakan, MCU yang dilakukannya juga memakai dana pribadi. Sesekali, Mutia memanfaatkan BPJS Kesehatan.
Dari hasil MCU yang dilakukan sebelumnya, Mutia bersyukur tidak ada diagnosis yang serius. Itu sebabnya ia tidak merutinkan pemeriksaan setiap tahun.
"Alasannya karena takut stres mikirin penyakit, jadi checkup-nya kalau ada keluhan aja," ucap ibu asal Jakarta ini.
Ya, kenyataannya, rasa takut juga menjadi salah satu alasan di balik keengganan menjalani skrining kesehatan rutin.
Psikolog klinis dari Ohana Space, Veronica Adesla, M.Psi., Psikolog, mengatakan, ketakutan akan hal buruk sering kali dirasakan oleh orang dewasa madya—usia antara 40 hingga 60 tahun—termasuk takut saat suatu penyakit terungkap dari hasil MCU.
Lantaran ketakutan yang bisa saja berujung stres, kata Veronica, banyak orang memutuskan tidak memeriksakan kesehatannya apabila tidak ada keluhan.
Selain itu, Veronica menjelaskan bahwa dari sisi behavior (perilaku), manusia adalah makhluk yang suka dengan pola—cenderung melakukan tindakan yang sama secara berulang-ulang—sehingga aktivitas tersebut menjadi rutinitas atau kebiasaan.
Dalam hal ini, menjalani pemeriksaan kesehatan rutin belum menjadi kebiasaan dalam cara berpikir masyarakat sedari dulu.
"Apabila belum sakit, buat apa ke rumah sakit? Kalau belum sakit, mengapa perlu periksa? Itu kebiasaan yang diajarkan turun-temurun secara tidak langsung,” terang Veronica.
“Jadi, kebiasaan ini tumbuh dari kesadaran yang kurang akan pentingnya melakukan pencegahan penyakit dengan melakukan pemeriksaan kesehatan," jelasnya.
Oleh karena itu, Veronica menyebut perlunya perubahan pola pikir dengan menganggap pemeriksaan kesehatan rutin sebagai ikhtiar untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dengan panjang umur, sehat, dan produktif.
Program Cek Kesehatan Gratis (CKG)
Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan mengurangi beban penyakit yang berpotensi dicegah, pemerintah meluncurkan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) pada Februari 2025.
Program ini disebut sebagai kado ulang tahun dari negara untuk masyarakat, mulai dari bayi hingga lansia.
Masyarakat dapat mengakses fasilitas CKG pada saat hari ulang tahun hingga 30 hari setelahnya. Pemeriksaan kesehatan dapat dilakukan di Puskesmas dan klinik yang telah bekerja sama.
Meski begitu, pekerjaan rumah pemerintah masih panjang.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, usai diluncurkan tiga bulan lalu, sudah ada 5,3 juta peserta yang mendaftar CKG melalui aplikasi SATUSEHAT, dengan data per harinya berjumlah lebih dari 180.000 orang.
"Saat ini kami masih berusaha untuk tingkatkan mencapai angka 200.000 [target peserta per hari] rata-ratanya," kata Nadia saat dihubungi pada Rabu (14/5/2025).
Nadia mengatakan, Kemenkes terus melakukan sosialisasi dan edukasi terkait manfaat program CKG.
Selain itu, Kemenkes mengajak dokter praktik mandiri dan klinik swasta yang telah bekerja sama dengan BPJS untuk menyelenggarakan program CKG.
Nadia menuturkan, dari total 9.374 Puskesmas di seluruh Indonesia, tercatat 91 persennya yang melayani CKG, sementara sisanya belum melaksanakan.
"Daerah Papua, mulai dari Papua Barat, Papua Pegunungan, kemudian ada Maluku, dan daerah-daerah kepulauan itu masih jadi tantangan," sebutnya.
Nadia menambahkan, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) tenaga kesehatan juga masih jadi tantangan pelaksanaan CKG.
Di samping itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya skrining kesehatan pun masih jadi rintangan.
Ia mencontohkan, masih ditemukan orang tua yang menolak bayi atau anaknya yang berusia di bawah 6 tahun untuk diperiksa, perempuan yang takut menjalani pemeriksaan papsmear, istri yang tidak mendapatkan izin suami untuk menjalani skrining, bahkan laki-laki yang enggan menjalani pemeriksaan untuk mendeteksi kanker paru.
Padahal, kata Nadia, dengan menjalani skrining kesehatan, pencegahan penyakit tidak menular seperti hipertensi dan diabetes melitus (DM) bisa lebih maksimal.
Sebelumnya, penderita hipertensi yang terdeteksi hanya sekitar 8 persen, tetapi kini naik menjadi 20 persen; sementara penderita diabetes yang terdeteksi saat ini mencapai 6 persen dari sebelumnya hanya 2 persen.
Angka tersebut berpotensi bertambah seiring meningkatnya jumlah peserta yang mengakses program CKG.
"Kalau kita bisa menemukan [gejala penyakit] dini, kita bisa obati, kita bisa edukasi, kita bisa cegah dia untuk tidak sakit jantung, stroke, dan ginjal," jelas Nadia.
Meningkatkan kesadaran masyarakat soal pentingnya skrining kesehatan memang masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah dan komunitas kesehatan terkait.

Sebelum program CKG dirilis, umumnya masyarakat harus merogoh kantong sendiri untuk skrining kesehatan, harganya pun tak murah. Hal ini pula yang membuat sebagian besar masyarakat berpikir ulang untuk melakukan skrining.
Hanya saja, pengamat kesehatan masyarakat Narila berpendapat, alih-alih memikirkan uang, orang yang skrining dengan dana pribadi pun bersedia melakukannya karena sudah punya awareness atau tingkat kesadaran yang tinggi.
"Terkadang, meski ada anggarannya, masih ada saja yang berpikiran, 'Ah, buat apa periksa, sehat-sehat aja kok tidak ada keluhan'," ujar Narila.
Menurutnya, salah satu tujuan kehadiran CKG adalah untuk menekan faktor biaya sebagai penghalang melakukan skrining kesehatan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih terdapat sejumlah kendala.
"Karena cara pandang dan awareness masyarakat yang masih belum baik terkait kesadaran melakukan deteksi dini," tutur Narila.
Skrining Kesehatan Saja Tidak Cukup
Skrining kesehatan bukanlah satu-satunya ikhtiar untuk menjemput sehat.
Narila mengatakan, selain rutin cek kesehatan, kita harus menerapkan pola hidup sehat; konsumsi makanan bergizi seimbang, aktif bergerak, olahraga minimal 30 menit sehari, dan tidur yang cukup.
Narila juga menekankan pentingnya sanitasi lingkungan di sekitar kita.
"Tobat" setelah rutin menjalani skrining kesehatan juga dilakukan Yunita.
Ia mengaku lebih mindful dalam mengonsumsi makan dan makin rutin berolahraga.
Selain itu, ia mulai memperbaiki pola tidur yang sebelumnya berantakan.
"Karena aku sering bergadang gara-gara nonton, sekarang agak lebih memaksakan diri untuk tidur di bawah jam 10 malam," tegasnya.
Usaha menjemput sehat memang tidak mudah, tetapi bukan berarti mustahil diupayakan. Setuju?
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































