Menuju konten utama

Sengketa Pilpres 2024 Bikin Waswas, Rupiah Kian Tertekan

Ekonom menilai sengketa Pilpres 2024 yang sedang berlangsung berkontribusi pada sentimen negatif pasar di Tanah Air.

Sengketa Pilpres 2024 Bikin Waswas, Rupiah Kian Tertekan
Karyawati menghitung uang rupiah dan dollar AS di salah satu bank di Jakarta, Kamis (10/9/2020). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan dalam beberapa hari terakhir. Mata uang Garuda bahkan kembali nyaris menyentuh Rp16.000 per dolar AS pada pembukaan perdagangan pagi Rabu (3/4/2024) kemarin.

Mengutip data Bloomberg pukul 09.00 WIB, rupiah dibuka melemah 0,21 persen ke Rp15.931. Sementara dalam penutupan perdagangan sore, mata uang rupiah melemah 23 poin di level Rp15.920 dari penutupan sebelumnya yakni Rp15.897 per dolar AS.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia, Edi Susianto, mengatakan, beberapa mata uang Asia belakangan ini mengalami pelemahan terhadap dolar AS, termasuk rupiah. Faktor pelemahan ini pun sejalan dengan melemahnya beberapa mata uang Asia lainnya.

Dari sisi global, ada sentimen penguatan dolar AS akibat adanya ekspektasi penurunan terhadap Fed Funds Rate (FFR). Ditambah bank sentral Cina yang sepertinya juga membuka ruang pelemahan atas mata uangnya, CNY.

Sementara dari sisi domestik ada peningkatan pembelian dolar terkait siklus repatriasi. Di samping juga asing cenderung membawa arus modal keluar bersih atau net capital outflow.

Rupiah melemah terhadap dolar AS

Petugas menunjukkan uang dolar AS di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Selasa (10/10/2023). ANTARA FOTO/Bagus Ahmad Rizaldi/sgd/YU

Selain itu, rilis data inflasi yang di atas ekspektasi ikut mendorong pelemahan rupiah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka inflasi pada Maret 2024 mencapai 3,05 persen secara year on year atau tahunan.

"Poin penting adalah saya melihat pelemahan rupiah ini masih sejalan dengan pergerakan pelemahan mata uang Asia lainnya," kata Edi kepada Tirto, Rabu (3/4/2023).

Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, melihat rupiah masih akan berpotensi melemah dalam beberapa waktu ke depan. Ini disinyalir akibat data ekonomi AS yang dirilis masih menunjukkan perekonomian negeri Paman Sam tersebut cukup solid.

Data jumlah lowongan pekerjaan AS di bulan Februari dirilis lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya. Data pesanan pabrik bulan Februari bahkan rebound dibandingkan bulan sebelumnya yang menurun.

Kondisi tersebut tentu saja, mendukung kebijakan The Fed untuk menahan suku bunga acuannya lebih lama. Yield obligasi AS terutama tenor 10 tahun juga masih bertahan di level tinggi di kisaran 4,3 persen, sehingga aset dolar AS masih menarik untuk pasar.

"Indeks saham Asia sebagai aset berisiko terlihat bergerak negatif. Ini bisa mengindikasikan pasar sedang menghindari aset berisiko. Rupiah bisa tertekan," kata Ariston.

Selain itu, ketegangan geopolitik yang masih tinggi setelah serangan Israel ke konsulat Iran di Suriah juga masih bisa mendorong penguatan dolar AS sebagai aset aman, terhadap nilai tukar lainnya.

"Pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini memang tidak bisa dihindari karena faktor eksternal dan internal yang saat ini sedang berlangsung," pungkas Ariston.

Cenderung Stabil di Rp15.900 per Dolar AS

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memperkirakan dalam jangka pendek rupiah masih akan cenderung stabil di kisaran Rp15.900 per dolar AS. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari ketidakpastian global maupun domestik.

Josua mengatakan, ketidakpastian terkait arah suku bunga global telah meningkat pada beberapa minggu terakhir. Bank-bank sentral utama dunia cenderung berbeda dalam menentukan arah kebijakan moneternya.

European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) misalnya, memberikan sinyal pemotongan suku bunga acuannya kemungkinan besar dapat terjadi lebih cepat pada tahun ini. Hal ini dipicu oleh proses disinflasi berlanjut dan kondisi ekonomi kawasan Eropa dan Inggris Raya yang sudah mencatatkan kontraksi ekonomi dalam dua kuartal berurutan.

Sementara itu, Swiss National Bank (SNB) menjadi bank sentral utama dunia yang pertama kali melakukan pemangkasan suku bunga acuan pada tahun ini, sejalan dengan tingkat inflasinya yang secara konsisten sudah berada di bawah target sasarannya.

Berbeda dengan kebanyakan bank sentral, Bank of Japan (BoJ) malah memutuskan untuk keluar dari zona suku bunga acuan negatif dengan menaikkan suku bunga jangka pendeknya. Hal ini dilakukan karena inflasi Jepang yang terus berada di atas target.

Ilustrasi Upah

Ilustrasi Upah. foto/Istockphoto

Tidak hanya itu, adanya risiko inflasi ke depan dari kenaikan gaji tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Namun, Josua menuturkan, BoJ tetap akan akomodatif dalam menjaga suku bunga jangka panjangnya walau menghilangkan kebijakan Yield Curve Control (YCC). Dengan tetap mempertahankan jumlah pembelian Japanese Government Bond (JGB) dan akan menambah jumlah pembelian jika yield dirasa naik terlalu tinggi.

Sementara itu, The Fed pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) terakhir malah merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi inti Amerika Serikat untuk tahun ini. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat masih relatif solid dan resilient.

Perkembangan kondisi ekonomi Amerika Serikat terkini pun, lanjut dia, menunjukkan pasar tenaga kerja masih relatif ketat dan proses disinflasi mulai menunjukkan perlambatan. Walau begitu, The Fed tetap memberikan sinyal bahwa pemotongan suku bunga acuan tetap terbuka pada tahun ini meski menyatakan tidak akan terburu-buru dalam melakukannya.

"The Fed kembali menegaskan bahwa keputusan moneternya ke depan akan tetap berdasarkan perkembangan indikator ekonomi terkini," ujar Josua.

Josua menuturkan, perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung berbeda tersebut membuat sentimen pengurangan risiko di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia kembali meningkat. Hal ini terlihat terutama pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan arus keluar modal bersih secara year-to-date (ytd).

"Banyak investor dan traders cenderung kembali memindahkan portofolionya ke aset-aset yang aman [safe-haven assets] sehingga memicu capital outflow dari pasar keuangan negara berkembang dan mendorong pelemahan mata uang Asia termasuk rupiah," kata Josua.

Di sisi lain, Indonesia juga harus dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal. Data terakhir menunjukkan surplus neraca dagang Indonesia terus menyusut, sejalan dengan berlanjutnya normalisasi harga komoditas dan kondisi ekonomi Tiongkok, mitra dagang utama Indonesia, yang cenderung terus melemah.

"Hal ini meningkatkan risiko pelebaran defisit pada neraca transaksi berjalan pada tahun ini," ungkap Josua.

Josua menuturkan, dari sisi fiskal terjadi ketidakpastian terkait dengan program-program pemerintahan ke depannya yang mana banyak pihak menilai cukup agresif sehingga dapat mendorong peningkatan belanja negara cukup signifikan.

Ilustrasi APBN

Ilustrasi APBN. FOTO/Istockphoto

Di sisi lain, penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas. Data terkini menunjukkan APBN masih mencatatkan surplus. Namun, jika dibandingkan dengan posisi periode yang sama tahun lalu, surplus cenderung menurun.

"Hal ini memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia. Tercatat bahwa kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) terus menurun dari awal tahun," ujar Josua.

Tantangan-tantangan tersebut, baik yang bersumber dari sisi eksternal maupun domestik, akan mempengaruhi keputusan Bank Indonesia dalam menentukan waktu dan besar pemotongan BI-rate ke depan. Dalam jangka pendek, ditambah dengan risiko inflasi yang meningkat terutama dari sisi harga pangan, akan membuat BI cenderung akan mempertahankan BI-rate pada level saat ini.

"Bank Indonesia pun sudah dan akan terus melakukan langkah-langkah stabilisasi seperti triple intervention di pasar spot USD/IDR, pasar DNDF dan pasar obligasi," kata Josua.

Selain itu, Josua juga yakin BI akan mengoptimalkan penguatan strategi operasi moneter yang pro-market untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).

"Dengan berbagai langkah stabilisasi tersebut, dalam jangka pendek rupiah masih akan cenderung stabil di kisaran Rp15.900," kata Josua.

Terkait dengan dampak pelemahan pada daya beli masyarakat, Josua menilai hal tersebut masih cenderung kecil. Ini karena masyarakat yang memiliki pendapatan dan pengeluaran dalam rupiah tidak memiliki dampak dari pelemahan mata uang Garuda tersebut.

"Oleh sebab itu, masyarakat pun juga tidak perlu khawatir dengan dampak dari pelemahan rupiah terhadap daya beli masyarakat," ungkap Josua.

Sentimen Negatif Akibat Sengketa Pilpres

Ekonom senior dari Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, justru berpendapat, sengketa Pilpres 2024 juga berkontribusi pada sentimen negatif pasar. Para pelaku pasar keuangan khawatir tentang ketidakpastian politik, terutama mengenai potensi pembatalan status Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden terpilih.

“Ketidakpastian politik masih terus terjadi, dan kendala terkini adalah apakah MK akan membatalkan status Gibran sebagai wakil presiden terpilih,” ujar Fithra kepada Tirto, Rabu (3/4/2024).

Sidang lanjutan sengketa Pilpres 2024

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi empat Hakim Konstitusi, dari kiri, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh saat sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (3/4/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom,.

Selain itu, ketidakpastian juga disebabkan oleh kekhawatiran terhadap kondisi Indonesia atas kebijakan fiskal ekspansif pada pemerintahan baru, Prabowo Subianto serta politik yang sedang berlangsung.

Di luar masalah sengketa pilpres, penurunan rupiah terhadap dolar AS dipengaruhi oleh faktor domestik lainnya. Baik dari dalam Indonesia maupun dari luar kancah internasional.

Masalah utama dalam negeri, selain sentimen negatif terhadap sengketa pilpres yaitu arus keluar asing yang signifikan selama tiga bulan terakhir. Kondisi ini berdampak buruk pada nilai rupiah khususnya di pasar obligasi.

"Bahwa intervensi oleh Bank Indonesia mungkin diperlukan untuk membendung pelemahan rupiah. Ini untuk menjaga mata uang melewati ambang batas Rp16.000 per dolar AS," imbuh Fithra.

Baca juga artikel terkait RUPIAH atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin