tirto.id - Pemerintah memutuskan untuk menghapus kebijakan wajib ekstrakurikuler Pramuka bagi siswa dari jenjang SD sampai SMA. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) lewat sang Menteri, Nadiem Makarim, menyatakan ekstrakurikuler Pramuka berubah menjadi kegiatan sukarela yang dapat dipilih oleh para siswa.
Keputusan tersebut sekaligus menghapus Permendikbud Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan yang merupakan landasan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah. Kendati demikian pemerintah mewajibkan sekolah tetap memfasilitasi Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler dalam Kurikulum Merdeka.
Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah yang mewajibkan sekolah menyelenggarakan minimal satu ekstrakurikuler. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka juga mewajibkan satuan pendidikan untuk memiliki gugus depan.
Ketentuan baru pemerintah tersebut tak sedikit menimbulkan komentar miring. Sebagian pihak mempertanyakan sikap pemerintah yang mengubah Pramuka sebagai ekstrakurikuler sukarela. Mereka yang protes, menilai kebermanfaatan Pramuka sebagai kegiatan yang dapat membentuk karakter baik bagi siswa.
Salah satunya Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, heran dengan keputusan pemerintah menghapus kewajiban Pramuka di sekolah. Pasalnya, menurut Dede, selain memiliki fungsi kontrol, Pramuka dapat menjadi penyalur energi muda bagi pelajar di luar kegiatan pendidikan formal.
“[Kebijakan ini] perlu ada klarifikasi dari Mendikbudristek. Mas Menteri [Nadiem] perlu menjelaskan makna ‘sukarela’ yang tercantum dalam peraturan baru. Kami juga perlu mendengar respons dari kwartir daerah dan kwartir nasional,” kata dia di Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Dede menyatakan, Komisi X DPR akan memanggil Kemendikbudristek dalam Rapat Dengar Pendapat pada Rabu (2/4/2024). Selain mendengar pendapat pemerintah, ia menilai perlu meminta tanggapan dan masukan dari perwakilan Pramuka.
“Masing-masing dari respons ini, akan jadi pertimbangan kami untuk mencari solusi pendidikan karakter, akhlak, dan moral,” tutur Dede.
Dede memandang, Pramuka perlu dipertahankan lantaran salah satu ruang bagi pelajar melatih karakter dan moral. Selain itu, dia berharap kegiatan Pramuka diselenggarakan dengan tidak membebani pelajar atau peserta didik.
“Pada dasarnya perjuangan kawan-kawan Pramuka dulu menjadikan ekskul itu wajib niat awalnya itu sungguh sangat luar biasa, yaitu untuk memberikan pelatihan pendidikan karakter dan moral serta sikap disiplin dan kemandirian bagi siswa-siswa,” tutur Dede.
“Kegiatan kepanduan ini juga telah berkontribusi bagi tertanamnya rasa cinta Tanah Air yang menjadi karakter khas pelajar Pancasila,” kata Syaiful.
Syaiful menilai, pemerintah jangan sampai membayangkan semua peserta didik berada di kota-kota besar dan memiliki akses informasi cukup untuk memahami kebutuhan pengembangan diri mereka. Bagaimana dengan nasib peserta didik yang ada di pelosok Nusantara.
“Bisa jadi mereka akan memilih tidak ikut ekskul karena hanya bersifat sukarela,” tutur dia.
Protes kebijakan ini juga disuarakan oleh Kwartir Nasional (Kwarnas) Pramuka. Sekretaris Jenderal Kwarnas Gerakan Pramuka, Bachtiar Utomo, mendesak Mendikbudristek Nadiem Makarim meninjau kembali kebijakan menghapus kewajiban ekstrakurikuler Pramuka.
Bachtiar menuturkan, karakter bangsa yang kuat terbentuk karena Gerakan Pramuka menghasilkan sumber daya manusia yang bermartabat, cerdas, dan bertakwa.
“Kalau melihat perkembangan Gerakan Pramuka sampai sekarang, sangat strategis dalam upaya pembangunan karakter bangsa,” kata Bachtiar dalam keterangan pers tertulis, Selasa (2/4/2024).
Bahkan, kata dia, gerakan Pramuka digencarkan di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah. Misalnya di Kemendikbudristek hadir dengan nama Saka Widya Budaya Bakti, yang mengajarkan pentingnya pendidikan praktis di bidang pendidikan dan kebudayaan seperti seni, tradisi, dan nilai budaya.
Bachtiar berpendapat, keberadaan Pramuka tidak lepas dari paradigma pendidikan yang disebut piramida pendidikan bahwa proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh tiga aspek utama, yakni pendidikan formal, informal dan nonformal. Kemendikbudristek dinilai semestinya menjadi motor gerakan Pramuka.
“Jadi dalam melihat keberadaan gerakan Pramuka janganlah fatalis, tetapi holistis yang memperhitungkan berbagai aspek dan mampu mencegah konflik yang tidak diharapkan,” ujar Bachtiar.
Bachtiar menilai, proses pendidikan tidak bisa melalui kegiatan daring semata, terutama dalam aspek pembentukan nilai-nilai kepribadian. Namun, perlu ada pendidikan secara langsung di lapangan untuk pembentukan sikap disiplin, semangat pantang menyerah, integritas, rela berkorban, serta kepedulian.
“Maka Pramuka menjadi tempat yang pas untuk membentuk hal tersebut,” sebut Bachtiar.
Pramuka sebagai Ekskul Pilihan
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, menyatakan pihaknya mendukung ekstrakurikuler Pramuka tidak menjadi kegiatan wajib di sekolah. Menurut Retno, kebijakan pemerintah membuat Pramuka sebagai ekstrakurikuler sukarela justru sudah sejalan dengan UU Nomor 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.
“Dalam UU tersebut juga dinyatakan bahwa Pendidikan Kepramukaan merupakan salah satu Pendidikan nonformal yang menjadi wadah pengembangan potensi diri,” kata Retno dalam keterangannya kepada Tirto, Selasa (2/4/2024).
Menurut Retno, seluruh ekstrakurikuler prinsipnya melatih siswa untuk berorganisasi dan memimpin, sekaligus berprestasi.
Sebagai organisasi profesi guru, Retno menilai dan merasakan langsung di lapangan bahwa ketentuan wajib Pramuka selama ini tidak jelas bentuk dan evaluasinya di sekolah.
“Kalau memang minat Pramuka silakan dipilih, karena Kemendikbudristek tetap mewajibkan ekskul Pramuka ada di sekolah, namun tidak wajib dipilih oleh peserta didik,” sebut Retno.
Sementara itu, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, mengingatkan pihak sekolah bahwa mereka wajib menyediakan ekskul Pramuka meski sudah bersifat sukarela. Siswa perlu diberi keleluasaan untuk memilih atau tidak dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
“Meskipun ekskul Pramuka sekarang bersifat sukarela, P2G berharap sekolah dan madrasah wajib menawarkan dan menyediakan Pramuka untuk menyalurkan minat dan bakat anak dalam bidang kepanduan," kata Satriwan, kepada reporter Tirto, Selasa (2/4/2024).
Satriwan melanjutkan, sebenarnya bila semua stakeholder pendidikan seperti guru, siswa, dan orangtua termasuk masyarakat menginginkan ekskul Pramuka sebagai kegiatan ekskul wajib, maka Pemerintah harus terlebih dulu merevisi UU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.
"Kalau itu tak dilakukan, keberadaan ekskul Pramuka ya akan lemah selamanya, karena sifatnya yang sukarela alias tak wajib," ujar dia.
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, mendesak yang terdepan kini adalah bagaimana mendorong sekolah mampu membangun transformasi kegiatan Pramuka. Yakni membangun ekosistem pembelajaran Pramuka yang menyenangkan, menggembirakan, penuh inovasi, menantang, dan berkualitas bagi siswa.
Pramuka saat ini, masih memakai pendekatan konvensional, formalistis, dan militeristis. “Bagaimana agar tidak ada lagi kekerasan, bullying, senioritas, relasi kuasa di semua kegiatan ekskul sekolah seperti Pramuka, Paskibara, atau Pecinta Alam, ini tantangan kita bersama,” kata Iman.
Iman menjelaskan, kegiatan ekstrakurikuler tertentu masih diasosiasikan dengan kekerasan, senioritas sehingga peserta didik sebenarnya tidak tertarik mengikutinya. Maka sekolah atau madrasah juga mesti mampu menciptakan kegiatan Pramuka yang gembira, humanis, dan menantang jauh dari kekerasan dan senioritas, tentu siswa akan tertarik mengikutinya.
“P2G yakin, kalau Pramuka sudah bertransformasi menjadi ekskul yang fun, menarik, egaliter, anti-bullying, maka para siswa pasti akan berbondong-bondong ingin masuk Pramuka. Tanpa diwajibkan negara sekalipun,” lanjut dia.
Penjelasan Pemerintah
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbud Ristek, Anindito Aditomo, menegaskan bahwa setiap sekolah hingga jenjang pendidikan menengah tetap wajib menyediakan Pramuka sebagai ekstrakurikuler dalam Kurikulum Merdeka. Sejak awal, kata dia, Kemendikbudristek tidak memiliki gagasan untuk meniadakan sama sekali kegiatan Pramuka.
Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 diklaim justru menguatkan peraturan perundangan dalam menempatkan pentingnya kegiatan ekstrakurikuler di satuan pendidikan.
Dalam praktiknya, Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 hanya merevisi bagian Pendidikan Kepramukaan dalam Model Blok yang mewajibkan perkemahan, menjadi tidak wajib. Selain itu, keikutsertaan murid dalam kegiatan ekstrakurikuler juga bersifat sukarela.
“UU 12/2010 menyatakan bahwa gerakan Pramuka bersifat mandiri, sukarela, dan nonpolitis. Sejalan dengan hal itu, Permendikbudristek 12/2024 mengatur bahwa keikutsertaan murid dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk Pramuka, bersifat sukarela,” kata Anindito dalam keterangannya, Senin (1/4/2024).
Lebih lanjut, Anindito menjelaskan, Pendidikan Kepramukaan dalam Sistem Pendidikan Nasional diperkaya dengan pendidikan nilai-nilai gerakan Pramuka dalam pembentukan kepribadian yang berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup. Dengan seluruh pertimbangan tersebut, setiap peserta didik berhak ikut serta dalam Pendidikan Kepramukaan.
“Permendikbudristek 12/2024 tidak mengubah ketentuan bahwa Pramuka adalah ekstrakurikuler yang wajib disediakan sekolah. Sekolah tetap wajib menyediakan setidaknya satu kegiatan ekstrakurikuler, yaitu Pramuka,” ujar Anindito.
Senada Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin mendukung keputusan Mendikbudristek Nadiem A. Makarim yang menyatakan bahwa Pramuka tidak lagi menjadi ekstrakurikuler wajib di sekolah.
"Sebenarnya Permendikbud itu tidak meniadakan itu (Pramuka) tetapi menggeser. Yang tadi posisinya wajib, menjadi pilihan sesuai ekstrakurikuler. Menurut saya itu bagus. Sebab nanti tidak seperti kemarin, misalnya suka tidak suka kemudian dia dipaksa semua. Dengan pilihan itu, yang masuk Pramuka dia benar-benar punya niat keinginan. Itu akan lebih baik lagi," ujar Wapres, Selasa (2/4/2024).
Wapres menilai keputusan berdampak positif lantaran Pramuka saat ini menjadi ekstrakurikuler pilihan, di mana nantinya yang akan masuk Pramuka sesuai minat dari siswa masing-masing.
Wapres berdasarkan keterangan dari Biro Pers Sekretariat Wakil Presiden menyatakan bahwa hal tersebut hendaknya tidak dipermasalahkan. Sebab, peraturan menteri tersebut tidak mencabut Pramuka dari bagian pembelajaran pada peserta didik, melainkan memberikan opsi pilihan untuk menjalankannya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri