tirto.id - Kasus dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, menjadi perhatian serius sekaligus pelajaran bagi pemerintah. Pasalnya, praktik korupsi sudah berjalan sejak 2015 hingga 2022 dan menyebabkan kerugian lingkungan hingga sebesar Rp271 triliun.
Kerugian tersebut bahkan melebihi kasus perkara korupsi lain, yakni kasus korupsi PT Asabri dan kasus korupsi perizinan penguasaan lahan yang menyeret perusahaan Duta Palma Group.
Untuk diketahui, Kasus PT Asabri menyebabkan kerugian negara Rp22,7 triliun. Sementara dalam kasus Duta Palma Group, kerugian negara dan kerugian perekonomian negara mencapai angka Rp78,8 triliun.
Sejauh ini, Kejaksaan Agung sendiri baru menetapkan 16 tersangka atas perkara korupsi timah. Dua diantaranya menyeret pesohor yakni Helena Lim dan Harvey Moeis. Helena dikenal sebagai selebgram atau biasa disebut sebagai crazy rich. Sedangkan, Harvey adalah suami dari pesohor Sandra Dewi.
Kepala Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, mengatakan kasus korupsi PT Timah telah memperpanjang praktik buruk tata kelola sektor ekstraktif.
ICW setidaknya mencatat sepanjang 2004 hingga 2015 saja, negara sudah merugi sebanyak Rp5,71 triliun hanya dari penyelundupan timah secara ilegal akibat tidak dibayarkannya royalti dan pajak PPh Badan.
"Apabila dirata-rata selama kurun waktu 12 tahun tersebut, negara kecolongan timah ilegal sebanyak 32,473 ton/tahun," kata dia dalam keterangannya kepada Tirto, Selasa (2/4/2024).
Pemerintah, kata Egi, dalam kasus ini lalai memastikan tata kelola ekstraktif yang baik. Setidaknya dua kementerian yaitu Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM gagal menjalankan tugasnya.
Kementerian BUMN tidak memastikan PT Timah, entitas BUMN yang berada di bawah tanggung jawabnya, untuk mengambil langkah yang dapat mencegah terjadinya korupsi.
PT Timah selaku BUMN diketahui menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan mineral timah yang “memperlancar” praktik kotor perusahaan-perusahaan boneka yang menambang biji timah secara ilegal.
Sementara, Kementerian ESDM lalai melakukan peran pengawasan sebagaimana telah dimandatkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Padahal, Kementerian ESDM dibekali kewenangan yang luas untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mulai dari teknis pertambangan, pemasaran, pengelolaan lingkungan hidup, hingga kesesuaian pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP.
DPR RI pun menyoroti kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah ini. Dalam rapat kerja bersama Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pada Senin (1/4/2024) kemarin, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP, Mufti Anam, menyayangkan korupsi timah yang nilainya cukup besar.
"Jujur suasana kebatinan kami terganggu. Ke mana Kementerian Investasi kok tidak punya rasa tanggung jawab publik? Tidak punya kegalauan hati untuk ikut turut menyelesaikan persoalan ini. Karena mau tidak mau ini terkait dengan Kementerian Investasi," ujar Mufti Anam.
"Maka kami minta semua usaha yang terafiliasi dengan kasus tersebut, semua tambang yang terkait dengan mereka untuk dicabut atau setidaknya dihentikan sampai urusan ini benar-benar tuntas," lanjutnya.
Perlunya Pemerintah Perbaiki Transparansi, Pengawasan & Audit
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan pemerintah tentu harus membuka mata dan belajar dari kasus korupsi PT Timah.
Pertama, pemerintah harus terbuka lebih dahulu ke publik terkait lokasi-lokasi pertambangan mana saja yang legal dan ilegal.
Dalam hal ini, kata Tauhid, masyarakat nantinya dapat menilai sendiri jika di sekitar area mereka terdapat pertambangan yang tidak berizin dan tidak sesuai dengan informasi pemerintah.
Maka, siapapun berhak melakukan tuntutan kemudian melaporkan ke aparat penegak hukum.
"Itu pertama. Jadi harus transparansi dulu," kata Tauhid saat dihubungi Tirto, Selasa (2/4/2024).
Kedua, pemerintah harus memperkuat dari sisi pengawasan dan akuntabilitasnya. Tauhid sendiri meragukan pengawasan terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) ini masih lemah. Ini terbukti karena sudah berjalan sejak 2015 lalu.
"Berarti kalau misal lokasi tadi ilegal cukup banyak kemudian menjadi legal berarti soal pengawasan ini yang berjalan tidak baik," terangnya.
Menurutnya, pengawasan berlapis perlu dilakukan oleh seluruh kementerian teknis. Tidak bisa misalnya, pengawasan terhadap bisnis atau lokasi-lokasi tambang ini dilakukan hanya oleh perusahaan BUMN sendiri.
Di samping kewenangan pengawasan Kementerian ESDM terhadap pertambangan juga terbatas dan tidak terjangkau.
"Mekanisme pengawasan inilah kemudian perlu diperbaiki mulai dari tahap perizinan, proses pembukaan clearing sampai kemudian operasi. Ini kan berarti ada pengawasan loss, tidak jalan," ujar dia.
Masalah pengawasan ini memang sempat menjadi pertanyaan juga bagi Kejaksaan Agung. Pihaknya tengah mendalami fungsi pengawasan dari Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebab, kedua kementerian tersebut memiliki kewenangan selaku regulator.
"Terkait bagaimana pengawasan dan pertanggungjawaban, sampai saat ini masih kami dalami pihak mana yang terlibat dalam peristiwa hukum ini, apakah ada pembiaran atau ada perbuatan jahat yang didalamnya termasuk KLHK dan sebagainnya," kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung, Kuntadi, di Kejagung, Jakarta.
Di luar transparansi dan pengawasan, hal ketiga yang tidak kalah penting sebenarnya adalah proses perbaikan audit mesti dilakukan pemerintah.
Proses audit ini perlu dilakukan kepada pemegang-pemegang IUP. Tujuannya yakni jelas agar terlihat lebih transparan kegiatan pertambangannya.
"Maka harus ada audit yang secara konsisten dilakukan oleh banyak pihak. Ini kan sulit," kata Tauhid.
Lebih lanjut, Tauhid mengatakan, untuk mencegah pertambangan-pertambangan ilegal, pemerintah harus memperketat masalah perizinan ke depannya. Izin harus berdasarkan titik lokasinya. Di samping juga harus memiliki bukti tambang, setoran pajak, hingga atas nama PT.
"Dan setiap lokasi harus punya informasi perizinan, nah, ini harus clear. Karena pertambangan itu kan jauh lebih kelihatan ya. Ketimbang lain. Misal, lokasi diizinkan ada empat tapi di lapangan kok bisa lebih dari empat lokasi mengatasnamakan perusahaan tersebut padahal itu ilegal," tuturnya.
Respons Normatif Kementerian Investasi dan BUMN
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia mengatakan, pihaknya saat ini memang masih mengkaji kasus dugaan korupsi PT Timah tersebut. Sebab, dirinya juga bingung mereka melakukannya di atas IUP-nya atau di luar IUP lain.
"Dan sekarang tim kami di deputi saya lagi mempelajarinya," ujar Bahlil kepada wartawan usai rapat dengan Komisi VI DPR RI, Gedung DPR, Jakarta, Senin (1/4/2024).
Bahlil bahkan membantah jika kementeriannya dianggap kebobolan dalam perkara ini. Ia berdalih pihaknya hanya menjadi ujung tombak pemberian izin atau menandatangani IUP melalui OSS.
"Tetapi kebijakan berapa luas lahannya titik koordinat di mana bagaimana proses mendapatkan itu di kementerian teknis bukan di Kementerian Investasi," ujar Bahlil.
Di sisi lain, Staf Khusus (Stafsus) III Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Arya Sinulingga, justru mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung dalam membongkar perkara dugaan korupsi tata niaga timah wilayah IUP PT Timah Tbk.
Arya menyampaikan, masalah pencurian timah ini sudah berlangsung lama, namun belum pernah terbongkar. Kementerian BUMN pun mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Kejagung karena telah membongkar operasi-operasi pembobolan timah.
"Memang langkah Kejaksaan Agung ini kita sangat apresiasi, sehingga jangan heran kalau mereka bisa membongkar secara sistematis semuanya, dan keterlibatan-keterlibatan pihak-pihak yang mengambil timah di IUP-nya PT Timah," kata Arya seperti dikutip Antara.
Dia menyebut, Kementerian BUMN sebelumnya telah berkoordinasi dengan Kejagung selama beberapa bulan terakhir untuk melakukan penyelidikan terhadap pencurian maupun pengambilan timah yang berada di IUP PT Timah.
"Memang kami sudah tahu dan memang berkoordinasi juga dengan Kejaksaan Agung yang memang beberapa bulan terakhir ini, melakukan yang namanya penyelidikan terhadap pencurian ataupun pengambilan timah," ujarnya.
Arya menuturkan, IUP PT Timah merupakan yang terbesar di Provinsi Bangka Belitung. Namun, ia menyoroti banyak perusahaan yang wilayah tambangnya lebih kecil tetapi memiliki hasil produksi timah yang lebih besar.
Terungkapnya kasus pencurian hasil timah, disebut Arya, sudah ditunggu oleh banyak pihak. Ia berharap ke depan tidak ada lagi pembobolan yang dilakukan oleh perusahaan lain.
"Terbongkarnya kasus ini memang ditunggu oleh semua pihak, sehingga kita harap ke depan tidak ada lagi timah yang diambil dari konsesinya PT Timah," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto