tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menunjuk Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) II Marsekal Madya M. Tonny Harjono sebagai pengganti Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Fadjar Prasetyo. Pemberhentian itu diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 20 Tahun 2024 tentang pemberhentian dengan hormat sebagai KSAU.
"Presiden telah menandatangani Keppres Nomor 20/TNI/Tahun 2024 tanggal 25 Maret 2024 tentang pemberhentian dengan hormat Marsekal TNI Fadjar Prasetyo dari jabatannya sebagai KSAU, dan pengangkatan Marsekal Madya TNI Mohamad Tonny Harjono sebagai KSAU yang baru," kata Koordinator Stafsus Presiden Jokowi, Ari Dwipayana, dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (2/4/2024).
Ari tidak merinci alasan Jokowi memilih Tonny. Namun, Ari mengatakan status Tonny sebagai KSAU baru efektif setelah pelantikan yang digelar dalam waktu dekat.
"Keppres ini mulai berlaku sejak saat pelantikan yang rencananya akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini," kata Ari.
Fadjar akan memasuki masa pensiun pada 9 April 2024 mendatang dan dilantik sebagai KSAU per 20 Mei 2024 lalu. Sebelumnya, Fadjar menjabat sebagai Pangkogabwilhan II atau pejabat senior sebelum Tonny Harjono.
Sementara itu, Tonny merupakan ajudan Jokowi selama 2014-2016 lalu. Karier Tonny pun tergolong moncer dalam 4 tahun hingga akhirnya menjadi Sesmilpres Kemsetneg RI selama 2020-2022.
Dia menjabat sebagai Danlanud Adi Soemarmo, Solo dan Danlanud Halim Perdanakusuma, Jakarta dalam 4 tahun tersebut. Selepas dari Sesmilpres, Tonny menjabat sebagai Dankodiklatau. Tidak sampai setahun, pria kelahiran 4 Oktober 1971 itu langsung menjabat sebagai Pangkoopsudnas hingga 2023 dan terakhir menjabat sebagai Pangkogabwilhan II.
Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan menyoroti soal pemilihan Tonny Harjono sebagai KSAU. Salah satu anggota koalisi, Julius Ibrani, menilai, pemilihan Tonny menjadi KSAU menambah deretan pemilihan pejabat yang diduga tidak menggunakan pendekatan merit sistem, melainkan pemilihan berdasarkan preferensi presiden sebagai panglima tertinggi.
"Jadi seolah-olah ini seperti pemilihan sirkel pertemanan, bukan mengedepankan kualitas apalagi identifikasi terhadap persoalan dan solusi di bidang pertahanan," kata Julius.
Julius mengingatkan, posisi KSAU sangat strategis di militer karena memegang tongkat komando tinggi di bawah Panglima TNI. Selain itu, KSAU juga mampu menginisiasi kebijakan tertentu yang dianggap mengancam pertahanan nasional, baik internal maupun eksternal kenegaraan.
Tidak hanya itu, dia menilai pemilihan Tonny penuh dengan sarat nepotisme karena tidak melihat dari masalah kinerja. Julius menilai nepotisme ini bukan seperti nepotisme hubungan darah, melainkan penempatan pejabat sesuai dengan pendekatan 'all president's man'.
"Satu-satunya benang merah yang memperlihatkan relasi antara si pemilih yaitu Presiden Jokowi dengan pejabat yang dipilih ini adalah relasi personal. Jadi bukan berbasis merit sistem yang kemudian memperlihatkan evaluasi kinerja, prestasi, identifikasi permasalahan. Gagasan solusi dan segala macam itu tidak terlihat dan satu-satunya yang mencuat kepada publik relasi personal yang kerap kita sebut dengan nepotisme tadi," kata Julius.
Julius menuturkan situasi kedirgantaraan dalam bidang militer Indonesia tidak baik-baik saja. Tidak hanya itu, dia juga mengingatkan tidak sedikit kecelakaan pesawat terjadi di TNI AU.
Salah satunya, kecelakaan pesawat Super Tucano TNI AU di Lanud Abdul Rahman Saleh beberapa waktu lalu. Namun, Julius melihat pemilihan pejabat kali ini tidak berupaya menyelesaikan masalah, apalagi DPR juga terkesan pasif dalam isu pemilihan KSAU.
"Oleh karenanya seharusnya pemilihan KSAU ini, seleksi KSAU itu menjadi momentum pendidikan kepada publik dan pengembalian kepercayaan publik kepada TNI, tetapi kita tidak melihat itu. TNI tidak berusaha menjelaskan itu, presiden sepertinya tidak mau menjelaskan itu dan justru mengedepankan preferensi tadi," kata Julius.
"Jadi wajar jika masyarakat menilai belum ada reformasi yang memadai di kubu TNI dari proses-proses pemilihan seleksi atau seleksi di level pimpinan tinggi militer di Indonesia. Salah satunya saat pemilihan KSAU ini," tutur Julius.
Direktur Eksekutif ISESS, Khairul Fahmi, mengakui Tonny merupakan bintang tiga termuda di TNI AU. Alumni AAU 93 ini dipandang sebagai bukti regenerasi dan estafet kepemimpinan TNI AU dari generasi AAU 80an ke generasi 90an.
Dengan usia yang relatif muda, Tonny diharapkan bisa menghadirkan strategi-strategi baru dan inovasi aplikatif khas generasi kelahiran era 1970an atau Gen X. Fahmi menuturkan, Tonny memiliki masa dinas keprajuritan yang cukup panjang, lebih dari lima tahun hingga Oktober 2029.
Dia akan termasuk salah satu penyandang pangkat bintang empat aktif terlama di masa reformasi. Lebih lanjut, dia menilai masa aktif terlama setelah Marsekal Hadi Tjahjanto, Laksamana Agus Suhartono maupun Jenderal Andika Perkasa, mendekati rekor Jenderal Endriartono Sutarto dan Jenderal Djoko Santoso.
"Ini artinya, sepanjang presiden mendatang tidak mengubah pola atau punya proyeksi lain, Tonny juga punya peluang cukup besar untuk menduduki jabatan Panglima TNI di masa depan," kata Fahmi.
Fahmi tidak memungkiri ada pertanyaan pemilihan nama pejabat strategis di lingkaran TNI diisi oleh prajurit dekat dengan presiden. Dia mengingatkan Jokowi sebelum menjadi presiden sebenarnya tidak kaya pengalaman berinteraksi dengan lingkungan militer.
Dia mengingatkan lingkaran interaksi Jokowi sebatas Kota Solo hingga menjabat Wali Kota dan di DKI Jakarta ketika menjabat Gubernur. Dia menuturkan, di awal menjabat, terlihat cenderung mengisi pos-pos strategis termasuk di lingkungan TNI dengan sosok-sosok yang memiliki riwayat kedekatan atau setidaknya memiliki personal garansi sehingga dapat dipastikan tepercaya.
"Sebenarnya itu bukan berarti eligibilitas diabaikan. Rekam jejak kompetensi, prestasi serta kekayaan pengalaman tugas dan jabatan tetap menjadi pertimbangan utama. Jadi tidak tepat jika dikatakan bahwa merit sistem telah diabaikan dalam rekrutmen kepemimpinan TNI," kata Fahmi.
Fahmi pun meminta publik melihat sejarah masa lalu. Sejak dahulu kala, para pemimpin negara selalu akan berusaha agar sekelilingnya diisi oleh ksatria-ksatria unggul yang dapat dipercaya. Dari masa ke masa, untuk dapat dipercaya pimpinan negara, seorang perwira haruslah memiliki keunggulan.
Dia menuturkan, makin unggul seorang ksatria, maka makin besar peluangnya untuk ditarik mendekat oleh penguasa, dan tentu saja itu juga artinya makin dipercaya. Dia mengatakan, jabatan-jabatan strategis justru jadi ujian, jika gagal terpental dari lingkaran terdekat. Tidak ada yang mau memelihara punggawa yang tidak cakap, karena hal itu sama dengan memelihara ancaman bahaya.
"Nah, masalahnya, jabatan itu makin tinggi makin terbatas. Hanya ada satu kursi untuk pimpinan, sementara para kandidatnya punya keunggulan masing-masing yang relatif setara. Faktor siapa yang dianggap paling loyal, paling dipercaya, akan menjadi penentu siapa yang yang dianggap sebagai Primus Interpares, yang terbaik di antara yang terbaik," kata Fahmi.
Dalam kasus Tonny misalnya, dari sekian banyak sosok yang dianggap layak dan memenuhi syarat, tentunya hanya satu nama yang bisa dipilih. Nah, pada saat itulah faktor kedekatan dan kepercayaan Jokowi menjadi nilai tambah yang menentukan.
Lantas, apakah ini baik bagi organisasi ke depan, terutama bagi TNI AU?
Fahmi menilai hal-hal menyangkut keunggulan dalam artian profesionalisme ini, penggemblengan dan seleksinya bahkan dimulai sejak level perwira pertama hingga perwira menengah.
Soal kepercayaan, Fahmi menilai hal itu menjadi poin yang sangat penting di level perwira tinggi. Mengingat pembinaan karier perwira tinggi seperti kenaikan pangkat, mutasi dan promosi ini menyangkut arah kebijakan kepala negara, tentu saja soal kepercayaan itu juga tidak akan pernah lepas dari pertimbangan-pertimbangan politik.
"Nah, sepanjang eligibilitas tidak diabaikan, rekam jejak dan kapabilitas tetap diperhatikan, saya kira tidak akan ada masalah. Poin utamanya adalah keunggulan profesional, baru kepercayaan," kata Fahmi.
Pekerjaan Rumah Tonny sebagai KSAU
Tonny memiliki sejumlah pekerjaan rumah nantinya sebagai Kepala Staf Angkatan termasuk KSAU. Pertama, yaitu memimpin pembinaan kekuatan dan kesiapan operasional angkatan, membantu panglima dalam menyusun kebijakan tentang pengembangan postur. Kemudian, doktrin, dan strategi serta operasi militer sesuai dengan matra masing-masing.
KSAU juga membantu panglima dalam penggunaan komponen pertahanan negara sesuai dengan kebutuhan dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan matra masing-masing yang diberikan oleh panglima. Fahmi menuturkan, terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan kekuatan udara, yaitu aspek organisasi, teknologi dan kesiapan operasi.
Artinya, organisasi harus dikembangkan agar sesuai ragam ancaman dengan mempertimbangkan kondisi geopolitik-geostrategis, juga harus mampu menjawab tantangan dan mengantisipasi kendala.
Aspek teknologi berarti kita membutuhkan alutsista udara yang bukan saja modern, tapi juga siap tempur, memiliki efek deteren yang memadai serta mampu beroperasi multimisi dan multiperan. Baik itu pesawat tempur, angkut, artileri pertahanan udara bahkan sistem radar.
"Kesiapan operasi ini saya kira meliputi upaya memelihara kesiapsiagaan tempur dan meningkatkan kecakapan SDM dalam pengembangan strategi operasi, serta penggunaan dan pemeliharaan alutsista. Memastikan alutsista dalam keadaan terawat, terpelihara dan siap tempur, juga memastikan ketersediaan dukungan logistik," kata Fahmi.
Fahmi mencontohkan Perang Rusia-Ukraina melibatkan banyak macam alutsista seperti pesawat berawak, tak berawak, berbagai varian alutsista udara dengan persenjataannya, dan tak kalah pentingnya, kemampuan pertahanan serta pengendalian pangkalan.
Begitu juga bagi Tanah Air, kekuatan udara nasional berperan penting menjaga NKRI di udara. Dengan keberadaan pesawat tempur andal, TNI AU akan disegani di kawasan.
Dalam konteks postur pertahanan udara Indonesia, belanja alpalhankam-alutsista harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan upaya meningkatkan kemampuan TNI AU. Karena itu harus selalu dipastikan usulan-usulan belanja TNI AU benar-benar berbasis kebutuhan bukan sekadar keinginan.
Lebih lanjut, dia menuturkan, belanja juga harus merupakan bagian dari upaya membangun supremasi dan superioritas udara sebagai variabel penting untuk meningkatkan kewibawaan, posisi tawar, dan mengamankan arah kepentingan nasional Indonesia agar tetap terjaga. Sebab itu, dia menuturkan walaupun kapasitas kekuatan udara saat ini masih kalah dari Australia dan Singapura upaya Indonesia untuk menjadi stabilisator kawasan sudah berjalan di jalur yang tepat.
"Saya kira harus diakui bahwa kekuatan udara kita masih belum cukup memadai untuk menjaga ruang udara sepenuhnya. Apalagi untuk benar-benar menjadi kekuatan yang disegani dunia. Masih jauh," kata Fahmi.
Fahmi melihat dari capaian MEF (Minimum Essential Force) saja TNI AU masih paling bawah. TNI AU baru separuh capaian, baru mendekati 50 persen MEF. Artinya, masih tertinggal dengan matra lain sehingga tentu saja perlu menjadi perhatian supaya peremajaan maupun pengembangan kekuatan ini tetap proporsional. Termasuk juga dalam hal pengembangan Kopasgat sebagai kekuatan pemukul andalan matra udara.
"Bahkan kalaupun konteks kekinian harus dipertimbangkan juga, maka laporan Panglima TNI pada Komisi I DPR soal meningkatnya pelanggaran ruang udara oleh pesawat asing beberapa tahun terakhir, saya kira sudah cukup untuk menunjukkan tantangan dan ancaman itu," kata Fahmi.
"Apalagi pertahanan udara Indonesia memang sedang dihadapkan pada kesenjangan antara kekuatan faktual dengan kebutuhan hadirnya kekuatan udara yang bukan saja modern, tapi juga siap tempur, memiliki efek deteren memadai serta mampu beroperasi multimisi dan multiperan," tambah Fahmi.
Fahmi menilai, ke depan TNI AU juga harus terus memperkuat kemampuan interoperabilitas baik antar kesatuan di lingkungan sendiri, maupun antarmatra. Interoperabilitas adalah kemampuan bertindak bersama secara koheren, efektif dan efisien untuk mencapai tujuan taktis, operasional dan strategis.
Secara khusus, interoperabilitas memungkinkan kekuatan, unit dan/atau sistem untuk beroperasi bersama, berkomunikasi dan berbagi kesamaan doktrin dan prosedur, serta infrastruktur dan basis masing-masing. Fahmi menilai, interoperabilitas akan mengurangi duplikasi, memungkinkan pengumpulan sumber daya dan menghasilkan sinergi.
"Jadi TNI AU harus memproyeksikan kebutuhan alpalhankam-alutsista dan kompetensi prajurit yang mampu menghadirkan efek gentar di udara sekaligus memberikan dukungan serangan darat maupun operasi-operasi maritim. Artinya, interoperabilitas TNI diharapkan juga akan meningkat dengan dukungan kehadiran peralatan persenjataan dan personel yang andal," kata Fahmi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin