Menuju konten utama

Menguji Curhatan SBY soal Ongkos Politik yang Makin Mahal

Semua partai politik pasti melakukan politik uang demi memenangkan pemilu sehingga menyebabkan mahalnya biaya politik.

Menguji Curhatan SBY soal Ongkos Politik yang Makin Mahal
Presiden ke-6 RI sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) menyambut kedatangan Capres terpilih Prabowo Subianto (kanan) saat silaturahim dan buka puasa bersama dengan Partai Demokrat di Jakarta, Rabu (27/3/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nz

tirto.id - Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengatakan bahwa ongkos politik pemilu di Indonesia makin mahal, Bahkan, menurut Presiden ke-6 RI itu tidak masuk akal.

Hal itu disampaikan SBY saat buka bersama kader Partai Demokrat bersama calon presiden terpilih Prabowo Subianto di Jakarta, Rabu (27/3/2024) lalu.

"Ada bad news yang mengganggu pikiran kita adalah pemilu kita ongkos politiknya makin besar melampaui batas kewajaran, juga menjadi-jadi," kata SBY dalam acara tersebut.

SBY tidak mau menyalahkan rakyat, tetapi purnawirawan TNI ini mendorong agar pemilu Indonesia harus diperbaiki dan diselamatkan.

"Kita tidak boleh menyalahkan rakyat, tetapi perlu diperbaiki, perlu diubah dan disempurnakan seterusnya menjadi pemilu yang baik," klaim SBY.

Pernyataan SBY menebalkan pernyataan politik mahal yang disampaikan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Dalam pidato di Gedung Joeang 45, Menteng, Jakarta, Jumat 11 Agustus 2023 silam, Muhaimin bercerita bahwa politik uang masih terjadi.

Ia bahkan mencontohkan bahwa seseorang yang ingin maju sebagai anggota dewan menghabiskan miliaran rupiah. Ia mencontohkan kandidat yang maju pileg di Jakarta memerlukan biaya Rp20-25 miliar tetapi tidak lolos. Ia memperkirakan biaya memakan hingga Rp40 miliar.

Curhat SBY sebagai Negarawan & Pemimpin Partai

Dosen komunikasi dan media Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai klaim SBY valid. Ia menduga, pernyataan tersebut dikeluarkan oleh SBY dalam kapasitas sebagai negarawan yang melihat ada masalah dengan demokrasi di Indonesia yang biayanya makin mahal.

"Motifnya menurut saya satu pak SBY sebagai negarawan dia melihat bahwa ada problem dengan ongkos politik yang semakin mahal dan ongkos berdemokrasi yang makin mahal yang bisa menyeret Indonesia ke otoritarianisme," kata Kunto kepada Tirto, Kamis (29/3/2024).

Kunto juga mengingatkan bahwa sikap SBY tidak lepas dari kondisi Partai Demokrat yang pencapaian melorot di 2024. Ia mengatakan, nasib tersebut tidak hanya dialami Demokrat, melainkan juga Gerindra dan PDIP.

Menurut Kunto, ongkos politik makin mahal karena memang penyiapan logistik dan transportasi juga mahal dibanding era SBY di masa lalu. Hal itu tidak lepas dari kondisi pemilu serentak di 2024 yang berjalan bersama-sama di semua daerah. Hal ini berbeda dengan situasi di era SBY yang minim pemilu serentak.

"Selain itu kalau di sisi money politic-nya ya jelas kita lihat aja kan prakteknya money politic-nya makin subur dan berapa besaran uang yang diberikannya juga makin besar dan itu jelas ujung-ujungnya nanti akan membuat mereka yang terpilih akan semakin korup karena akan mencari balik modal dari investasi money politic mereka gitu," kata Kunto.

Analis politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai ujaran SBY sebenarnya sudah disadari sejak menjadi presiden pada 2004 silam. Ia lebih mengaitkan dengan perolehan kursi Demokrat yang makin kecil sehingga berbicara soal itu.

"Kalau itu dirasakan SBY dan Partai Demokrat sekarang mungkin karena partai Demokrat di 2024 ini kursinya hilang 10 ya kan dibandingkan 2019 yang lalu. Dulu 54 kursi pada 2019, sekarang 44 kursi jadi hilang kursinya 10. Hilangnya kursi 10 itu mungkin imbas dari SBY menganggap bahwa itu karena biaya politik yang tinggi dan besar itu," kata Ujang, Kamis (29/3/2024).

Mural bertemakan Pemilu

Warga melintas di depan mural bertemakan Pemilu di Jalan Raya Margonda, Depok, Jawa Barat, Jumat (28/7/2023).ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/hp.

Politik Uang Pemicu Mahalnya Ongkos Politik

Ujang menilai semua partai politik pasti melakukan politik uang demi memenangkan pemilu. Politik uang ini lah yang diasumsikan SBY dengan biaya politik yang makin mahal.

Menurut Ujang, konsekuensi bagi partai politik untuk bisa melenggang ke Senayan, yaitu mengeluarkan biaya yang mahal. Jika tidak, maka sulit untuk bisa melenggang ke Senayan hanya dengan menjual janji-janji ke masyarakat.

"Soal klaim itu ya benar adanya pemilu kita memang pemilu yang mahal. Kontestasinya menghadirkan atau diselenggarakan dengan biaya mahal," jelas Ujang.

Meskipun ada pesan negatif, Ujang menekankan ujaran SBY sebagai realita pahit. Ia mengutip pernyataan Muhaimin yang mengatakan seorang untuk lolos ke parlemen di Jakarta butuh biaya Rp40 miliar. Ia pun menilai, hal ini terjadi akibat sikap para caleg yang semakin menggelontorkan politik uang.

Kini, Ujang menilai politik akan makin mahal, semakin rumit dan makin masif. Ia beralasan, partai sudah makin saling tahu sehingga menggunakan pola permainan serupa.

"Apa pemicunya? Pemicunya ya dari segi caleg, dari segi partai kan pasar bebas. Pemilunya pemilu liberal. Banyaknya bukan hanya ongkos politik, ongkos politik suatu kewajaran. Ini money politic. money politic yang misalnya dulu Rp100 ribu, sekarang caleg-caleg ada yang memberikan Rp300 ribu per suara. Ada yang Rp600 ribu, ada yang Rp1 juta. kan mengerikan," kata Ujang.

Ujang mencontohkan perbincangan antara dirinya dengan salah satu sekjen partai. Ia mendengar bahwa ada salah satu caleg di partai tertentu menebar uang Rp300 ribu per suara di salah satu dapil Pulau Jawa. Angka itu disebut 'merusak harga pasaran' suara di dapil tersebut.

"Artinya mereka sudah paham sama-sama tahu bahwa sejatinya money politic sudah tahu dan makin masif, makin besar jumlahnya. Itu lah yang membuat biaya politik biaya macam-macam jadi tinggi, jadi bengkak, jadi mahal," kata Ujang.

Ujang pun menilai, hal itu berimbas dengan sikap caleg yang berpotensi melakukan korupsi dengan mencari proyek, kongkalikong dengan kementerian/lembaga hingga mencari pundi-pundi uang demi mencari balik modal hingga nabung untuk kepentingan pileg di era berikutnya.

Menurut Ujang, opsi permasalahan politik uang dan mahalnya biaya politik hanya bisa diselesaikan dengan dua hal.

Pertama adalah perbaikan mental, agar kepentingan pemberi politik uang tidak lagi memberikan uang sementara masyarakat tidak lagi menerima uang.

Saat ini, masyarakat mau menerima uang dan menggunakan hak pilih sementara kandidat membagikan uang untuk mendapat keuntungan.

Kedua adalah perbaikan sistem pemilu harus yang berjalan lebih baik.

"Sistem itu sebaik apapun kalau orangnya enggak benar ya akan diakal-akali sistem itu. Jadi dirusak juga dua-duanya. Sistem harus bagus orangnya harus bagus," kata Ujang.

Kunto juga menilai, sistem politik Indonesia tidak ada masalah, tetapi yang bermasalah adalah sistem pelaksanaan pemilunya. Ia menilai, ujaran SBY bisa dikategorikan sebagai upaya merevisi Undang-Undang Pemilu dalam rangka membuat pelaksanaan pemilu berjalan lebih murah.

Dalam kacamata Kunto, salah satu solusi pemilu bisa lebih murah jika menggunakan teknologi informasi. Ia beralasan, penggunaan teknologi informasi akan membuat publik bisa mengetahui hasil lebih cepat tanpa menggunakan quick count dan mengurangi kecurangan.

Namun ia menolak keras jika alasan SBY mendorong pemilu berjalan tidak lagi terbuka. Menurutnya, hal ini sama saja dengan sistem pemerintahan saat masa Orde Baru.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto