tirto.id - "Ayah saya, Presiden RI ketiga, telah meninggal pukul 18.03, innalillahi wainailaihi."
Sepotong kalimat itu diucapkan oleh Thareq Kemal Habibie di RSPAD Gatot Subroto, Jalan Abdul Rahman Saleh Raya, Senen, Jakarta Pusat, pada Rabu (11/9) malam. Thareq adalah putra ke-2 dari Bacharuddin Jusuf Habibie atau biasa disapa BJ Habibie.
Menurut Thareq, Habibie meninggal dunia akibat penyakit jantung. Pada 2018, Habibie memang telah menjalani perawatan dan operasi akibat kebocoran katup jantung.
"Kenapa meninggal, sudah menua. Dan memang saya mengatakan kondisinya memang sudah gagal jantung," lanjutnya.
BJ Habibie meninggal dunia dalam usia 83 tahun pada pukul 18.05. Jasadnya disemayamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan pada Kamis (12/9) hari ini. Presiden Joko Widodo menjadi inspektur dalam upacara pemakamannya.
Menurut pengamat Hak Asasi Manusia (HAM) Andreas Harsono, BJ Habibie, yang ketika muda dipanggil dengan sebutan Rudy, merupakan tokoh yang memiliki visi besar bagi demokrasi Indonesia.
Kendati tidak sempurna, Habibie boleh dikatakan berhasil dalam mewujudkan visinya tersebut, terutama dalam menjalankan pemerintahan transisi pasca-Orde Baru. Sejumlah kebijakan penting telah dia buat, seperti pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan pers.
Habibie juga memberikan masyarakat kebebasan untuk berserikat dan berkumpul melalui pencabutan larangan pendirian serikat buruh independen. Hal ini dilakukan dengan meratifikasi Konvensi ILO No.87.
Selain itu, salah satu kebijakan krusial Habibie adalah penghapusan istilah "pribumi" dan "non-pribumi" melalui Inpres 26/1998 dan penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui Inpres 4/1999. Kedua kebijakan itu sedikit banyak telah membuat warga etnis Tionghoa di Indonesia dapat bernapas lebih lega setelah menerima pelbagai intimidasi, bahkan sasaran kebencian dan kekerasan, selama masa Orde Baru.
Namun, yang menunjukkan Habibie adalah pemimpin yang "manusiawi" boleh jadi adalah responsnya ketika ditanya politikus Malaysia Anwar Ibrahim atas alasan di balik kebijakannya membebaskan sejumlah aktivis oposisi Orde Baru yang menjadi tahanan politik.
"Saya tanya apa yang mendorong Habibie membebaskan para tahanan politik. Dia jawab, 'Ini soal hati nurani, pertanggungjawaban kepada Allah,'" kata Ibrahim, dalam programMata Najwa edisi 8 Februari 2014. "Ini bukan jawaban politisi, tapi manusia yang tersentuh nuraninya."
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Fahri Salam