tirto.id - Presiden ke-3 Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie atau akrab dipanggil B.J. Habibie, meninggal dunia pada Rabu (11/9) pukul 18.03 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Kabar duka ini dibenarkan oleh salah satu putranya, Thareq Kemal Habibie.
“Ayah saya, Presiden RI yang ketiga, telah meninggal pukul 18.03. Innalillahi wainailaihi,” ujar Thareq di depan para juru warta.
Menurut Thareq, Habibie meninggal akibat penyakit jantung. “Kenapa meninggal, sudah menua. Dan memang saya katakan kondisinya memang sudah gagal jantung," lanjutnya.
Menumbuhkan Demokrasi
Kita mengenal Habibie bukan sebagai politikus, melainkan teknokrat. Sejak Maret 1978 sampai 1998, atau selama dua dekade, ia mengisi kursi Menteri Negera Riset dan Teknologi. Tak lama berselang, ia ditunjuk menjadi wakil presiden, sebelum kemudian menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri karena tekanan massa yang tak dapat dibendung lagi.
Pencapaian pentingnya datang ketika ia mendirikan Dirgantara Indonesia yang melahirkan pesawat N250 pada 1995, buah hasil studi dan kariernya selama berpuluh-puluh tahun di bidang kedirgantaraan.
Namun, di luar itu, Habibie turut berkontribusi pada terciptanya iklim kebebasan di tengah kehidupan masyarakat Indonesia pasca-Orde Baru.
Kekuasaan Orde Baru selama lebih dari tiga dekade ditandai pembungkaman kebebasan secara besar-besaran. Pemerintah mengontrol hampir semua aspek. Suara kritis ditekan. Yang dianggap mengganggu ketertiban disingkirkan, termasuk media.
Keadaan itu coba diubah oleh Habibie manakala konstitusi menunjuknya sebagai presiden. Ia memanggil Panglima ABRI, Mendagri, Menlu, beberapa perwakilan Partai Golkar, serta pimpinan MPR. Pertemuan diadakan untuk membahas situasi terkini negara.
Salah satu poin keputusannya adalah membuka keran kebebasan pers. Ia ingin semua orang bebas berbicara. Pada saat bersamaan, Habibie meyakini keputusannya mampu meredam ketegangan yang muncul di permukaan.
“Saya bilang, saya itu biasanya dapat ini, saya baca, dan langsung dieksekusi,” tegasnya. “Saya ingin menjadi orang yang memberikan kebebasan pers karena saya diindoktrinasi bahwa bangsa Indonesia harus tetap dari Sabang sampai Merauke sepanjang masa.”
Kebijakan itu segera diambil. Ia meminta Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, untuk mencabut ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang termaktub dalam Permenpen Nomor 1 Tahun 1984. Pencabutan beleid, tulis Republika, diikuti penetapan aturan baru dalam wujud Permenpen Nomor 1 Tahun 1998.
Pada era Orde Baru, SIUPP adalah musuh kebebasan pers. Ia dipakai rezim untuk mengontrol eksistensi media. Bila ingin menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya, media harus memperoleh SIUPP.
Karena SIUPP sudah dicabut, konteks “kontrol” itu perlahan sirna. Ketetapan yang baru membikin majalah, tabloid, maupun surat kabar yang pernah dibredel Orde Baru dapat kembali mengajukan SIUPP.
Dalam aturan yang ada, masih mengutip laporan Republika, para pemohon SIUPP tak perlu repot-repot mengirimkan banyak berkas: cukup surat permohonan beserta lampiran lembaga yang menerbitkan media bersangkutan. Bila semula ada 16 syarat untuk mendapatkan SIUPP, pemerintahan Habibie memangkasnya menjadi tiga saja.
Pencabutan SIUPP berdampak cukup signifikan terhadap jumlah penerbitan di Indonesia. Bila di era Orde Baru jumlah media cetak hanya 289, pasca-reformasi jumlahnya melonjak hingga 1.398 buah.
Parni Hadi, wartawan dan mantan pemimpin redaksi Republika, mengatakan kendati bukan berasal dari lingkungan pers, bagi Habibie, kebebasan merupakan harga yang tak dapat ditawar.
“Karena dengan kebebasan membuat orang berpikir bebas. Kalau orang dibatasi, pasti mandeg pikirannya,” kata Parni.
Pondasi kebebasan ini kian kokoh lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Peraturan ini disahkan Habibie pada 23 September 1999, memuat 10 bab dan 21 pasal.
Keberadaan UU Pers membuat kedudukan aturan sebelumnya, UU 11/1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dan Undang-Undang Nomor 4 PNPS tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum, tidak berlaku.
Menurut Habibie, aturan ini dibikin untuk menyediakan ruang kepada pers agar dapat mengoreksi posisinya sebagai presiden.
Secara garis besar, UU Pers memuat beberapa prinsip yang menyatakan kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara, kebijakan sensor dan pelarangan penyiaran dihapuskan, dan pers nasional punya hak untuk mencari, memperoleh, maupun menyebarluaskan gagasan serta informasi.
Gebrakan Habibie tak berhenti sampai di situ. Kontribusi Habibie, tulis Asvi Warman Adam dalam “Habibie, Pattingalloang Abad Modern” yang terbit di Kompas (2004), ialah membebaskan tahanan politik (115 orang), menyelenggarakan pemilu 1999, mengusut pelanggaran HAM Indonesia di Aceh, hingga membikin puluhan undang-undang hanya dalam waktu setahun lebih demi demokrasi Indonesia. Dua regulasi yang dibikinnya adalah soal HAM dan perlindungan perempuan.
Editor: Fahri Salam