tirto.id - Puncak masa keemasan Kesultanan Banten terjadi pada era Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 Masehi). Namun, sejarah kejayaan kerajaan bercorak Islam yang terletak di ujung barat Jawa ini sudah terlihat pada awal berdirinya yang dirintis oleh Pangeran Sabakingkin alias Maulana Hasanuddin (1552-1570 M).
Sebelum menjadi kerajaan sendiri, Banten merupakan wilayah yang berada dalam pengaruh Kesultanan Cirebon dan Demak. Maulana Hasanuddin adalah putra dari Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon (1479-1568 M). Sunan Gunung Jati juga salah satu anggota Wali Songo, majelis penyebar Islam di Jawa dari Kesultanan Demak.
Wilayah Kadipaten Banten semula dipimpin oleh Prabu Surosowan, mertua Sunan Gunung Jati atau kakek dari Maulana Hasanuddin. Setelah Prabu Surosowan wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh Pangeran Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun yang memeluk ajaran Sunda Wiwitan.
Prabu Pucuk Umun adalah putra Prabu Surosowan, paman Maulana Hasanuddin. Endang Firdaus dalam Cerita Rakyat dari Serang Banten (2009) dikisahkan, terjadi pertentangan antara Prabu Pucuk Umun dan Maulana Hasanuddin yang kemudian diselesaikan dengan adu ayam jantan untuk menghindari pertarungan fisik.
Hingga akhirnya, Prabu Pucuk Umun mengakui kemenangan Maulana Hasanuddin dan menyerahkan kekuasaan atas Banten kepada kemenakannya itu. Maulana Hasanuddin pun memulai era baru di Banten yang nantinya menjadi kerajaan bercorak Islam.
Kejayaan Awal Kesultanan Banten
Kemenangan Maulana Hasanuddin di Banten mendapatkan apresiasi dari Kesultanan Demak yang saat itu berafiliasi dekat dengan Kesultanan Cirebon. Maulana Hasanuddin pun ditunjuk sebagai pemimpin wilayah Banten atau Keraton Surasowan.
Dikutip dari penelitian bertajuk "Islam pada Masa Kesultanan Banten: Perspektif Sosio-Historis" karya Maftuh dalam Jurnal Al-Qalam (2015), pada 1533 Masehi Kadipaten Banten secara resmi menjadi wilayah bagian dari Kesultanan Demak dengan Maulana Hasanuddin sebagai sultannya.
Wilayah kekuasaannya kala itu meliputi Banten dan sekitarnya seperti Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangerang, sebagian Sumatera termasuk Lampung, Inderapura, Solebar, dan Bengkulu, juga Sunda Kelapa atau Jayakarta (Jakarta) serta Karawang.
Pada 1568 atau setelah Sunan Gunung Jati wafat, Maulana Hasanuddin mendeklarasikan Surasowan sebagai kerajaan sendiri yang merdeka dan lepas dari kekuasaan Kesultanan Cirebon maupun Kesultanan Demak.
Sultan Maulana Hasanuddin membawa kemajuan Kesultanan Banten yang pesat di berbagai bidang. Ia menitikberatkan pada pengembangan sektor perdagangan dengan komoditas utama adalah lada yang sudah dikirim ke berbagai wilayah di dunia.
Muslimah melalui riset "Sejarah Masuknya Islam dan Pendidikan Islam Masa Kerajaan Banten Periode 1552-1935" dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat (2017) menyebutkan, Sultan Maulana Hasanuddin memerintah dengan sangat baik.
Di bawah kepemimpinannya, Banten menjadi kuat dan ajaran Islam juga semakin banyak pemeluknya serta kian luas pula area cakupannya. Maulana Hasanuddin memberikan andil besar dalam meletakkan pondasi Islam di Jawa bagian barat.
Selain dengan mendirikan masjid dan pesantren, Maulana Hasanuddin juga mengirim ulama ke berbagai daerah yang telah dikuasainya sebagai upaya menyebarluaskan Islam untuk pembangunan mental spiritual Banten.
Ia membangun istana yang dinamakan Kraton Surosowan dan menjadi ibu kota Kesultanan Banten sebagai salah satu pusat ajaran Islam di Jawa. Maulana Hasanuddin memerintah Banten selama kurang lebih 18 tahun, dari 1552 hingga wafatnya pada 1570 M.
Penerus kekuasaan Sultan Maulana Hasanuddin adalah puteranya yang bernama Maulana Yusuf (1570-1580 M).
Kesultanan Banten akhirnya mencapai puncak keemasan pada era Sultan Agung Tirtayasa (1651-1672 M). Kesultanan Islam di Banten bertahan sekitar 264 tahun sebelum akhirnya runtuh pada 1816.
Editor: Agung DH