Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Akulturasi Budaya dalam Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon

Keraton Kasepuhan pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Cirebon dan disebut Keraton Pakungwati yang kental dengan akulturasi budaya.

Akulturasi Budaya dalam Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon
Ilustrasi Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon. wikimediacommons/free

tirto.id - Sejarah Keraton Kasepuhan pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Cirebon dan disebut Keraton Pakungwati yang kental dengan akulturasi budaya. Selain Kasepuhan, di Cirebon terdapat tiga istana lainnya, yaitu Kanoman dan Kacirebonan.

Istilah keraton sendiri dapat dimaknai sebagai tempat kediaman raja atau ratu, sering pula disebut sebagai istana. Keraton Kasepuhan terletak di Kampung Mandalangan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.

Penelitian oleh Happy Indira Dewi dan Anisa bertajuk "Akulturasi Budaya pada Perkembangan Keraton Kasepuhan Cirebon" (2009) yang terhimpun dalam Jurnal Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Sipil (PESAT) terungkap bahwa Kasepuhan merupakan keraton pertama yang berdiri di Cirebon.

Keraton Kasepuhan diresmikan pada 1430 Masehi dan terkait langsung dengan sejarah awal mulanya terbentuknya Kota Cirebon serta sejarah masuknya berbagai suku, agama, serta budaya di wilayah ini.

Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon

Asal-usul Cirebon dapat ditelisik dari keberadaan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang dipimpin oleh Jaya Dewata bergelar Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi Raja Agung (1482-1521 M).

Sulendraningrat dalam Sejarah Cirebon (1978) menyebutkan, pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang yang beragama Islam melahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana, Nyai Lara Santang, dan Raden Kian Santang atau Pangeran Sengara.

Prabu Siliwangi mempersilakan ketiga anaknya itu meninggalkan kerajaan setelah beranjak dewasa untuk mencari pengalaman hidup.

Pangeran Walangsungsang memilih untuk memperdalam ajaran Islam, kemudian diikuti oleh adiknya, Nyai Lara Santang. Mereka menuju ke wilayah pesisir pantai utara Jawa.

Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang berguru kepada Syekh Nurul Jati. Singkat cerita, sang guru pada akhirnya menyarankan kedua muridnya itu untuk membuka hutan di wilayah yang bernama Tegal Alang-Alang

Sejak itulah berdiri padukuhan di Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban. Kata Caruban inilah yang nantinya menjadi Cirebon.

Atas petunjuk Syekh Nur Jati pula, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Sepulang dari tanah suci, Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana mendirikan rumah besar yang diberi nama Jelagrahan. Rumah inilah yang menjadi cikal-bakal Keraton Kasepuhan.

Akulturasi Keraton Kasepuhan

Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana mendirikan Dalem Agung Pakungwati pada 1430 M. Selanjutnya, dikutip dari Sejarah Berdirinya Keraton Kesepuhan Cirebon (2012) karya Indah Cahaya Permatasari, pada 1529 M dibangun kompleks Keraton Pakungwati.

Pakungwati sendiri adalah nama putri Pangeran Cakrabuana, yakni Ratu Dewi Pakungwati, yang menikah dengan Sunan Gunung Jati, salah satu anggota Wali Songo, penyebar dakwah Islam dari Kesultanan Demak.

Dalem Agung Pakungwati yang dibangun Pangeran Cakrabuana memiliki ciri arsitektur berupa susunan bata merah dengan ornamen wadasan di setiap sisinya. Bagian tengahnya terdapat tiang dengan pondasi umpak berbentuk lesung tanpa ornamen.

Tiang bangunan terbuat dari kayu dengan pondasi umpak yang diberi ukiran dengan motif rucuk bung. Bagian atapnya bertipe malang semirang dengan genteng sebagai bahan penutupnya. Bangunan seperti ruang terbuka ini memiliki konsep kosmologi, yaitu berupa kesatuan terhadap alam sekitar.

Pada perkembangan selanjutnya, terdapat bangunan Siti Inggil, museum benda kuno, dan sejumlah bangunan bersejarah lainnya.

Siti Inggil dikelilingi tembok bata merah dengan pasangan piring keramik dan pintu masuk berupa candi khas budaya Hindu. Bangunan museum kuno menggunakan tembok bata yang tertutup hingga ke atap.

Terdapat pula Pintu Buk Bacem yang dibingkai dengan gapura berciri khas kebudayaan Gujarat dari India, yaitu berupa lekungan. Ada juga piring/cawan yang ditempelkan sebagai ornamen, mengadopsi kebudayaan Cina.

Perpaduan berbagai unsur ini menunjukkan bahwa arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan akulturasi dari budaya Jawa/Hindu, Gujarat (India), hingga Cina.

Baca juga artikel terkait KESULTANAN CIREBON atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya