Menuju konten utama
Sejarah Masjid di Indonesia

Sejarah Masjid Tua Katangka Al-Hilal: Peninggalan Kesultanan Gowa

Masjid Tua Al-Hilal Katangka merupakan peninggalan sejarah Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan.

Sejarah Masjid Tua Katangka Al-Hilal: Peninggalan Kesultanan Gowa
Masjid Tua Katangka di Gowa, Sulawesi Selatan. ANTARA FOTO/Yusran Uccang

tirto.id - Masjid Tua Katangka Al-Hilal merupakan salah satu masjid tertua di Provinsi Sulawesi Selatan. Masjid ini merupakan peninggalan Kesultanan Gowa yang didirikan pada 1603 Masehi. Pendapat lain mengatakan masjid ini berdiri pada abad ke-18 M.

Nama Katangka berasal dari nama daerah tempat dibangunnya masjid yaitu Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Selain itu, nama Katangka berasal dari salah satu jenis pohon.

Dibangun pada masa kerajaan, Masjid Katangka terletak di sisi utara kompleks pemakaman Sultan Hasanuddin (1653-1669 M), pemimpin terbesar Kesultanan Gowa yang telah ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai pahlawan nasional.

Sejarah Pembangunan Masjid Katangka

Dikutip dari laman Sistem Informasi Masjid dari Kementerian Agama RI, Masjid Tua Al-Hilal Katangka dibangun pada masa pemerintahan pemimpin Gowa XIV yakni I Mangarangi Daeng Manrabbia.

I Mangarangi Daeng Manrabbia adalah raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam dan kemudian memakai gelar Sultan Alauddin I (1596-1639 M).

Eka Damayanti dalam risetnya bertajuk "Masjid Tua Al Hilal Katangka sebagai Pusat Pengembangan Islam di Gowa Abad XVIII" (2019) menyebutkan, di depan pintu Masjid Katangka tertulis masjid ini didirikan pada 1603 M.

Pencetus pembangunan masjid ini adalah sang raja I Mangarangi Daeng Manrabbia alias Sultan Alauddin I.

Pada awal pembangunannya, Masjid Katangka ini masih berupa langgar sederhana. Langgar tersebut kemudian diperbesar dan menjadi sebuah masjid seiring dijadikannya Islam sebagai agama resmi di Kesultanan Gowa.

Kemudian, langgar ini dijadikan sebuah masjid oleh Kesultanan Gowa setelah Islam diterima dan menjadi agama resmi di kesultanan tersebut.

Versi lain terkait kapan Masjid Katangka dibangun menyebutkan abad ke-18 Masehi. Ini merujuk kepada sumber prasasti yang tertulis di bagian pintu utama, pintu utara, pintu tengah, dan pintu selatan masjid. Di situ, terdapat ukiran dengan tulisan Arab berbahasa Makassar.

Tulisan tersebut menyatakan bahwa Masjid Katangka dibangun abad ke-18 M, tepatnya tahun 1886 M pada masa pemerintahan I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka atau Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893-1895 M).

Arsitektur Masjid Katangka

Dikutip dari penelitian Muhammad Ilham Irsyad berjudul "Akulturasi Budaya dalam Arsitektur Masjid Tua Al-Hilal Katangka" (2018), total luas bangunan Masjid Tua Katangka sekitar 174.24 meter persegi.

Bangunan Masjid Tua Al-Hilal Katangka terdiri atas tiga unsur yakni alas (dasar), badan (tubuh), dan atap (puncak).

Konstruksi Masjid Tua Al-Hilal Katangka berbentuk persegi empat dengan bujur sangkar yang diberi atap tersendiri dan ditunjang oleh 4 saka guru berukuran besar. Kemudian, ditambah 4 tiang besi ukuran kecil sebagai penyangga.

Fondasi masjid dibuat dari campuran dari batu kali dan semen yang ditanam satu meter di dalam tanah. Masjid Al-Hilal Katangka beratap tumpang satu, tumpang tersebut merupakan ruang kecil juga berbentuk segi empat bujur sangkar.

Pada dinding tumpeng masjid terdapat jendela dengan dua buah jendela pada setiap kosen bagian atas, samping kanan dan kiri terdapat ukiran sulur daun. Lubang jendela menggunakan kaca bening sebagai kaca jendela.

Dinding ruang tumpang tersebut terbuat dari susunan batu merah berplester dan setiap sudut terdapat pilar berbentuk segi empat merupakan pengikat pada setiap sudut dinding.

Pada pucuk masjid terdapat sebuah mustaka atau mustika yang terbuat dari keramik (guci), tetapi sudah hancur dan sekarang hanya terbuat dari semen yang menyerupai beentuk guci.

Atapnya terdiri dari atap genteng, keramik yang berwarna merah. Genteng didatangkan khusus dari negeri Belanda oleh Sultan Abdul Kadir Moh Aidid (1826-1893). Tertulis pembuatan genteng tahun 1884 dan nama pabrik yang memproduksi yaitu Stoom Pannen.

Di sisi barat masjid terdapat ada bangunan yang mencolok keluar berbentuk setengah lingkaran (ceruk). Bangunan ini terbuat dari susunan batu merah berplester yang merupakan mihrab tempat imam.

Di sebelah kanannya terdapat mimbar yang memiliki anak tangga sebanyak empat buah. Tempat paling atas sebagai tempat duduk khatib.

Konstruksi dinding masjid terbuat dari batu merah bersusun berplester, baik ruangan badan masjid, serambi maupun ruang badan masjid, tidak sama dengan ruang atas (tumpangnya), demikian pula serambinya.

Dinding serambi masjid terletak di sebelah timur menempel (bersambung) pada pintu masuk ruang utama memanjang ke selatan sampai utara.

Pada dinding sebelah timur pada badan masjid terdapat pintu masuk sebanyak tiga buah. Bagian atasnya ketiga pintu tersebut terdapat ornamen kaligrafi bertuliskan Arab berbahasa Makassar, menghadap keluar dan terbuat dari papan kayu jati yang dipahat.

Selain itu, pada dinding timur (terletak di sebelah utara pintu selatan dan utara) terdapat dua buah pintu dan ventilasi terbuat dari semen dan pasir yang berbentuk segi empat berlubang.

Sedangkan ventilasi pada bagian atas pintu terbuat dari kayu berbentuk menyerupai bulu ekor ayam jago dengan posisi bersilang. Di tengahnya terdapat sebuah lingkaran terbua dari kayu.

Di depan masjid terdapat beduk yang berfungsi untuk memanggil kaum muslimin untuk menunaikan salat. Bangunan Masjid Tua Katangka tidak memiliki menara, maka beduk sebagai pengganti menara.

Selain itu, beduk ini berfungsi sebagai alat untuk memanggil aparat pemerintah atau masyarakat pada masa raja-raja.

Beduk ditabuh apabila terjadi peristiwa besar seperti kepentingan kerajaan yang mendesak, kelahiran, kematian, bencana alam, kerajaan dalam keadaan perang, dan dalam keadaan tertentu lainnya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MASJID NUSANTARA atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya