tirto.id - Sewaktu menulis disertasi tentang Kesultanan Buton, Prof. Susanto Zuhdi—Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia—mengangkat satu gambaran yang tepat bahwa sejarah kesatuan politik kesultanan ini telah “terabaikan” atau lebih tepat “diabaikan”.
Kesultanan Buton diabaikan sebab sumber sejarah yang digunakan untuk melukiskan narasi sejarah tentangnya selalu datang dari dua kekuatan politik besar yang mengapitnya pada abad ke-17, yaitu Kesultanan Gowa dan Kesultanan Ternate.
Bagi historiografi nasional Indonesia, dua entitas politik itu lebih dikenal dan jelas lebih diperhatikan. Zuhdi memberi penekanan bahwa penilaian yang paripurna terhadap Buton tidak akan dapat dicapai bila publik hanya melihat Buton dari sudut pandang Gowa atau Ternate.
Lewat sudut pandang Gowa, misalnya, Buton akan dianggap sebagai “pengkhianat” yang mendukung Arung Palakka (Raja Bone 1672-1696) untuk lolos dari sergapan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa 1653-1669). Arung Palakka disembunyikan di dalam gua di bawah benteng keraton oleh Sultan Malik Siraullah (bernama asli La Awu, bertakhta, 1654-1664). Karena Hasanuddin kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 6 November 1973, Arung Palakka—dan Buton yang jadi sekutunya—dengan mudah divonis sebagai pihak pro-Belanda.
Pandangan semacam ini menimbulkan kerancuan fundamental. Pada abad ke-17, tidak ada entitas politik bernama Indonesia. Arung Palakka dan Buton dianggap tidak pro-Indonesia karena mereka sekadar menjadi lawan dari Hasanuddin yang dianggap “sepenuhnya Indonesia”—cap yang diberikan karena sang sultan tidak bekerja sama dengan Belanda.
Padahal, di dalam alam pikir yang keindonesiaannya belum lahir itu, baik Gowa, Bone, Buton, dan bahkan Belanda (pada periode awal itu sebenarnya merupakan Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda/VOC), tidak lebih dari pemain politik yang terpisah-pisah dan tidak jarang saling berseteru. Di samping itu, kenyataan bahwa Buton baru masuk ke dalam Negara Kolonial Hindia Belanda pada 1906 menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa sebuah entitas politik yang disebut-sebut pro-Belanda terlambat sekali untuk digabungkan ke dalam Pax Neerlandica—wilayah Belanda Raya dan jajahannya?
Pembukaan simpulan Hasanuddin dalam karyanya “Forts on Buton Island: Centres of Settlement, Government and Security in Southeast Sulawesi” (2020:207), memberi jawaban singkat terhadap pertanyaan ini: “masyarakat [Buton] yang terbuka […] menerima pengaruh eksternal dan mencoba mencari keuntungan dari mereka sembari melindungi kepentingannya sendiri.”
Dalam bahasa yang sedikit berbeda, alih-alih menjadi agensi “yang dipengaruhi”, Buton mengambil peran yang lebih luwes untuk “memengaruhi” keseimbangan politik dan sejarah.
Buton dan Historiografi yang Hegemonik
Historiografi entitas politik maritim Indonesia bagian timur pada umumnya bersifat hegemonik. Sering dilukiskan bahwa satu kerajaan besar akan menjadi patron atau pengayom dari kelompok kerajaan-kerajaan yang dianggap lebih lemah darinya. Dalam kasus Maluku dan sekitarnya, kita mengenal Ternate dan Tidore yang masing-masing memiliki konfederasi kerajaan-kerajaan kecil lain yang “dipimpin” oleh mereka.
Di tengah kancah historiografi hegemonik itulah Buton masuk, baik di bawah sayap Gowa maupun Ternate. Namun, para sejarawan jarang mempertimbangkan pandangan entitas politik lebih kecil yang disebut “diayomi” oleh kerajaan-kerajaan besar itu. Dalam Labu Rope Labu Wana: Sejarah Buton yang Terabaikan (2018:2–3), Zuhdi menyoroti bagaimana Buton (dalam historiografi yang lebih tua disebut “Butun”) sebenarnya memandang dirinya tidak lebih rendah dari entitas politik mana pun.
Buton pertama kali mengadakan hubungan formal dengan VOC pada 5 Januari 1613. Pada hari itu, Sultan Dayanu Ikhsanuddin (bernama asli La Elangi, bertakhta 1578-1615), menandatangani kontrak politik dalam posisi yang setara dengan Kapten Appolonius Schotte (1574–1639) yang mewakili VOC. Perjanjian pertama—yang disebut janji baana (janji pertama) dalam bahasa Wolio—ini menyangkut masalah dagang rempah. Namun, ada dua aspek penting yang didapatkan Buton dari perjanjian pertama ini.
Pertama, Buton memiliki akses terhadap dukungan militer VOC dalam percaturan politik antarkerajaan yang tidak jarang menyapu wilayah Sulawesi-Maluku. Kedua, Sultan Dayanu Ikhsanuddin menjamin keseimbangan politik dalam negeri Buton pada masa depan.
Bagaimana perjanjian ini dapat berkontribusi pada aspek yang terakhir itu? Sekalipun dari luar berbentuk monarki, tata pemerintahan Kesultanan Buton lebih tepat disebut sebagai “oligarki aristokratis”—suatu keadaan yang memungkinkan sultan berasal dari beberapa keluarga bangsawan penting dan tidak tentu seorang anak akan menggantikan ayahnya menjadi sultan.
Pengaturan yang demikian ini erat kaitannya dengan legitimasi sultan yang berdasarkan mitos asal-usul. Hikayat Sipanjonga menyebut bahwa Buton didirikan oleh empat orang tokoh mitos, yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitanamajo, dan Sijawangkati. Singkatnya, kelompok tertinggi dalam sistem kemasyarakatan Buton adalah keturunan dari empat tokoh ini.
Golongan bangsawan tertinggi itu disebut kelompok kaomu. Dari kelompok teratas inilah sultan akan ditunjuk. Di bawah kelompok ini adalah kelas walaka—sama-sama bangsawan, namun dalam perjalanan mitos telah berkawin campur dengan tokoh asal Arab sehingga tidak seharusnya menjadi raja, tetapi memiliki kuasa menjadi menteri-menteri yang jumlahnya sembilan dan disebut dengan nama siolimbona (Zuhdi 2018:67–71). Di bawahnya, barulah terbentang kelompok rakyat yang menurut Sarana Wolio (Undang-undang Kesultanan) wajib diayomi.
Di dalam kelompok kaomu, terdapat beberapa keluarga penting dan yang paling terkemuka adalah keluarga Tainalandu, Kumbewaha, dan Tapi-tapi. Sultan Dayanu Ikhsanuddin berasal dari keluarga Tainalandu. Untuk menjaga perdamaian antara tiga keluarga yang berkuasa, sultan memasukkan ke dalam perjanjian bahwa masing-masing keluarga akan menduduki tiga posisi paling tinggi dalam kesultanan secara turun-temurun.
Tainalandu berhak menduduki jabatan sultan, Tapi-tapi menduduki jabatan sapati (patih/perdana menteri), dan Kumbewaha menduduki jabatan kenepulu (hakim agung). Selama sepuluh generasi setelah wafatnya sang sultan, memang hanya dua kali pengaturan itu dilanggar.
Setelah perjanjian pertama itu, umumnya sultan baru akan membarui kontraknya dengan VOC dan kemudian Hindia Belanda (usai 1818). Persoalan yang paling pelik dalam pembaruan kontrak seperti itu umumnya berkaitan dengan hak pemusnahan (ekstirpasi) terhadap tanaman rempah di Kepulauan Tukang Besi.
Salah satu sultan yang tidak senang dan bahkan tidak bersedia melaksanakan berbagai macam kontrak politik antara Buton dan VOC adalah Sultan Himayatuddin (bernama asli La Karambau, bertakhta 1751–1752 dan 1760–1763). Tindakan sang sultan pada akhirnya mengakibatkan serangan VOC kepada Buton pada awal tahun 1755.
Seperti yang telah disebut di awal, Buton melihat hubungannya dengan VOC secara transaksional. Hubungan ini dipengaruhi oleh percaturan politik eksternal dan internal. Eksternal yaitu bahaya dari Gowa atau Ternate, sedangkan internal yaitu kekuasaan Buton atas negeri-negeri yang berada di bawah pengayomannya—Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.
Ketika tidak ada kebutuhan mendesak dari kedua faktor itu, penguasa Buton dapat saja merasa tidak perlu untuk menegakkan kontrak mereka dengan VOC.
Hubungan Transaksional Buton dan Entitas Politik Lain
Hubungan antara Buton dan entitas politik yang menggantikan VOC, yaitu Hindia Belanda, juga memiliki pola yang sama. Perbedaannya, pada pergantian abad ke-18 menuju 19, terdapat pemain Eropa lain yang sangat kuat, yaitu Kerajaan Inggris.
Sultan Buton sempat mengirim surat meminta perlindungan dari “Belanda yang sudah dianggap sebagai ayah” dalam diri gubernur Belanda-Prancis di Makassar, yang jelas tidak mampu memberi dukungan signifikan melawan Angkatan Laut Inggris.
Sekalipun kontrak-kontrak politik sepanjang abad ke-17 hingga permulaan abad ke-20 memberikan hak-hak khusus kepada pihak VOC dan kemudian negara kolonial, posisi Buton dalam kontrak adalah setara dengan lawan perundingannya. Dengan kata lain, Buton dengan dasar pemikirannya yang transaksional tidak dapat secara sederhana disebut “memihak Belanda”.
Ia mempertahankan kedaulatannya dan secara seimbang “digunakan” dan “menggunakan” Belanda sepanjang abad. Belanda baru mampu menembus alotnya perundingan kontrak dan memasukkan Buton ke dalam negara kolonial ketika Buton mengalami ketidakstabilan politik pada permulaan abad ke-20.
Pada periode itu, sultan berganti-ganti setiap sekitar 15-an tahun dan masing-masing sultan berasal dari keluarga yang berbeda. Ini adalah fenomena yang sebelumnya tidak pernah terjadi di Buton. Seperti yang tampak dalam makalah “Kontrak Sultan Buton Asyikin dan Residen Belanda Brugman 8 April 1906” karya Susanto Zuhdi (1997), pada tanggal 8 April 1906—tepat hari ini 116 tahun silam, Residen Belanda untuk Sulawesi, Johan Brugman (1851–1916), memperoleh tanda tangan atas kontrak baru dengan Sultan Aidil Rakhim (bernama asli Muhamad Asyikin, bertakhta 1906–1911) dari keluarga Tapi-tapi setelah satu minggu berada di Buton.
Di dalam kontrak tersebut, Buton akhirnya dinyatakan kehilangan kedaulatannya sebab sudah menjadi bagian dari negara kolonial. Buton disebut harus bertanggung jawab kepada pemerintah kolonial dan Mahkota Belanda. Sultan Asyikin di kemudian hari sangat tidak setuju dengan perjanjian itu dan hanya menandatanganinya karena para pembesar Buton memintanya untuk itu. Ia dikenal di Buton sebagai seorang sultan yang motekena (menandatangani).
Dalam Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton (1996:129-134), tampak bahwa sultan memang tidak senang dengan perjanjian itu dan pada 19 April tahun yang sama memutuskan untuk menyatakan perjanjian 8 April 1906 tidak lagi berlaku. Namun, tindakan sultan segera dihadapi dengan ancaman penyerangan dari pemerintah kolonial yang pada waktu memiliki armada perang yang berpos di Makassar.
Untuk memadamkan kemungkinan pemberontakan, beberapa jabatan adat yang dianggap mampu menarik dukungan rakyat dihapuskan oleh kekuatan kolonial. Meski demikian, pemikiran transaksional Buton tidak berubah. Ketika Hindia Belanda tidak lagi mampu memberikan perlindungan kepada Buton—suatu hal yang dipertukarkan dengan kedaulatan Buton—saat Jepang datang menyerang, Buton menarik kembali kedaulatannya.
Dengan cara berpikir Buton, ketika Indonesia pada akhirnya merdeka dan Buton masuk ke dalam wawasan kebangsaan Indonesia, kedaulatan bukannya diserahkan karena kekalahan Jepang atau oleh Belanda, melainkan diberikan secara sukarela oleh Kesultanan Buton. Perspektif tentang agensi yang “memengaruhi” dan bukan “dipengaruhi” inilah yang khas dalam historiografi Buton.
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi