tirto.id - Mantan Sekretaris Kementerian Badan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu, hadir dalam aksi unjuk rasa di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (22/8/2024).
Dalam aksinya, Said Didu menyerukan sudah saatnya menghentikan dinasti politik yang merenggut hak demokrasi di Indonesia saat ini. Ia pun meminjam istilah Raja Jawa yang dipakai Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia saat penutupan Musyawarah Nasional (Munas) pada Rabu (21/8/2024) malam kemarin.
“Saya pikir kita memakai istilah ketua umum Partai Golkar yang baru yang menyatakan Raja Jawa, maka kita saatnya menurunkan Raja Jawa!,” seru Said Didu saat berorasi di depan Gedung MK, Jakarta, Kamis (22/8/2024).
Ia dengan lantang mengatakan, saat ini konstitusi digunakan oleh satu keluarga dari Solo untuk kepentingan keluarganya.
Didu juga mengungkit Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu mengenai batasan umur calon wakil presiden yang disahkan juga oleh MK. Melihat hal ini, ia dengan lantang menentang dinasti itu terjadi lagi.
“Hari ini kita permasalahkan anak ketiga beliau. Anak bungsu beliau tentang umur cawagub. Apakah kita harus menunggu juga cucunya untuk kita persoalkan lagi?” tegasnya.
Didu juga dengan tegas mengatakan Indonesia bukanlah hanya milik beberapa golongan tertentu. Tiap rakyat Indonesia berhak atas kedaulatannya demi demokrasi yang baik.
“Itu yang harus kita lakukan karena negara ini kita ini selamatkan, bukan milik Jawa, bukan milik Sulawesi, bukan milik siapa-siapa,” tegasnya.
Said Didu dalam orasinya juga berharap dengan dilakukannya aksi unjuk rasa ini, dapat mengakhiri kerusakan demokrasi dari keculasan konstitusi saat ini.
Sejumlah daerah di Indonesia memanas setelah Baleg DPR RI merevisi Undang-Undang Pilkada. Baleg DPR menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang syarat pencalonan kandidat pilkada.
Baleg mengembalikan syarat pencalonan partai yang sebelumnya diubah berbasis persentase pemilih menjadi ambang batas 20 persen untuk partai parlemen dan 25 persen suara nasional. Mereka hanya mengakomodir ruang bagi partai non-parlemen untuk bisa mengusung kandidat lewat jalur perolehan suara.
Selain itu, Baleg DPR juga dinilai menganulir putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menegaskan batas umur pencalonan seseorang. Baleg DPR mengacu pada putusan Mahkamah Agung bahwa penentuan batas umur pencalonan berlaku pada saat dilantik, bukan ketika penetapan sebagai calon sebagaimana penegasan di putusan MK.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Bayu Septianto