Menuju konten utama

Kebut Revisi UU Pilkada, DPR Beri Contoh Buruk dalam Berhukum

Manuver DPR akali Putusan MK Nomor 60/2024 dengan kebut revisi UU Pilkada berpotensi timbulkan ketidakpastian hukum.

Kebut Revisi UU Pilkada, DPR Beri Contoh Buruk dalam Berhukum
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi (kedua kiri) menerima berkas pandangan mini Fraksi Partai Gerindra dari anggota Baleg Fraksi Gerindra Habiburokhman (kanan) disaksikan Ketua Badan Legislasi DPR Wihadi Wiyanto (kiri), dan Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Abdul Wahid (kedua kanan) dalam rapat pengambilan keputusan pembahasan RUU Pilkada antara Baleg DPR dengan Pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 soal syarat pencalonan calon kepala daerah (cakada). Putusan yang terbit pada Selasa (20/8/2024) itu menyatakan bahwa syarat ambang batas pencalonan cakada sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah hasil pemilu tidak berlaku.

MK memutuskan bahwa Pasal 40 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tersebut inkonstitusional bersyarat. Teranyar, MK menetapkan bahwa syarat pencalonan cakada untuk pemilihan gubernur serta bupati/wali kota bagi partai politik (parpol) atau gabungan parpol pengusung cukup dengan memperoleh 6,5 persen sampai 10 persen pada pemilu sebelumnya.

Rentang persentase perolehan suara tersebut tergantung jumlah pemilih di DPT. Lebih lanjut, parpol atau gabungan parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD juga boleh mengusung pencalonan cakada. Putusan MK memudahkan syarat ambang batas bagi parpol pengusung sekaligus menyamakan ambang batas pencalonan.

Pengajar hukum tata negara sekaligus pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menilai bahwa Putusan MK Nomor 60/2024 tersebut dapat memperkuat peran serta fungsi dari kaderisasi politik parpol. MK meluruskan proses pencalonan sehingga lebih adil, setara, serta inklusif bagi semua parpol di Pilkada 2024.

“Putusan MK adalah putusan progresif yang jadi angin segar bagi praktik demokrasi yang sehat dan menawarkan keragaman pilihan politik bagi warga,” kata Titi kepada reporter Tirto, Rabu (21/8/2024).

Titi memandang Putusan MK Nomor 60/2024 merupakan suatu bentuk pertobatan MK. Tahun lalu, MK mengeluarkan Putusan Nomor 90/2023 yang mengubah syarat usia dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di pemilu.

Alhasil, putra sulung Presiden Joko Widodo yang belum cukup umur, Gibran Rakabuming Raka, bisa menjadi cawapres dan akhirnya menang di Pilpres 2024 bersama Prabowo Subianto. Putusan MK Nomor 90/2023 itu pun dinyatakan cacat prosedural oleh Mahkamah Kehormatan MK (MKMK).

Dengan hadirnya Putusan MK Nomor 60/2024, Titi memandang parpol seyogianya ikut mengedepankan kedaulatan rakyat dengan tidak lagi terjebak pragmatisme dan oportunisme. Putusan MK ini sekaligus menjawab kebuntuan praktik ketatanegaraan akibat blocking dan kartelisasi politik oleh oligarki.

“Hambatan parpol karena tidak ada cukup suara atau kursi lebih bisa dieliminasi. Namun, kalau parpol tetap pragmatis membentuk koalisi gemuk yang menguasai mayoritas suara, maka tentu calon tunggal tidak bisa dibendung,” jelas Titi.

MK dinilai telah kembali ke khitahnya sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi (the guardian of constitution and democracy). Parpol, kata Titi, seharusnya juga ikut diuntungkan karena bisa bersikap lebih independen dan berpihak kepada aspirasi publik dalam pencalonan cakada.

Misalnya, kata dia, Partai Golkar di Pilkada Banten bisa saja mengusung Airin Rachmi Diany tanpa perlu berkoalisi dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM). PDIP di Pilkada Jakarta juga ikut mendapatkan kesempatan mengusung calon sendiri, meski harus berhadapan dengan KIM Plus, pendukung Ridwan Kamil-Suswono yang berisi 12 parpol.

Menurut Titi, dalam konteks Pilkada Jakarta, Putusan MK Nomor 60/2024 tidak cuma akan menguntungkan PDIP. Namun, ia juga dapat menguntungkan semua parpol, baik yang duduk di parlemen daerah atau tidak dapat kursi DPRD.

Pasalnya, parpol tidak harus membebek dengan patronase dominan dari koalisi besar yang menyandera parpol dengan kawin paksa cakada pilihan oligarki.

“Tinggal apakah gerbang konstitusi pencalonan yang lebih inklusif serta adil tersebut, yang sudah dibuka MK itu, akan diambil atau tidak oleh parpol,” kata Titi.

Menggembosi Koalisi Gemuk?

Putusan MK Nomor 60/2024 memang membuat parpol lebih mudah mencalonkan jagoan mereka ketimbang terpaksa manut dengan calon kepala daerah yang disodorkan patronase koalisi besar atau pesanan oligarki. Namun, konstelasi koalisi gemuk juga dinilai tak bisa serta-merta gembos karena terbukanya ruang independensi parpol ini.

Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute (TII), Arfianto Purbolaksono, setuju bahwa Putusan MK Nomor 60/2024 tidak serta-merta membuat koalisi gemuk pecah kongsi.

“Dalam konteks Pilkada Jakarta, [Putusan MK Nomor 60/2024] tidak akan merubah konstelasi. Tetap saja KIM Plus akan mendukung RK-Suswono. Kenapa? Karena, target parpol-parpol dapat posisi kementerian di pemerintahan selanjutnya,” kata Anto, sapaan akrab Arfianto Purbolaksono, kepada reporter Tirto, Rabu.

Persoalan terbentuknya KIM Plus bukan cuma soal memenangkan cakada pilihan koalisi pendukung Prabowo-Gibran, melainkan juga urusan mengamankan kursi jabatan di kabinet pemerintahan selanjutnya. Koalisi besar alias KIM Plus, kata Anto, akhirnya lahir sebagai konsekuensi sikap tersebut.

“Justru perubahan konstelasi ada di sisi PDIP dan parpol-parpol nonparlemen. Bagaimana mereka merespons putusan ini. Karena, ini kesempatan kedua buat mereka,” ucap Anto.

Senada dengan Anto, analis sosio-politik ISESS, Musfi Romdoni, menegaskan bahwa isu utama dari patronase politik oligarki tidak melulu soal syarat mendapatkan tiket pencalonan. Musfi mengingatkan bahwa biaya terbesar dalam proses pilkada bukan terletak pada tiket dukungan parpol, tapi dalam operasi pemenangannya.

Musfi memperkirakan bahwa pilkada di wilayah dengan jumlah penduduk 5 juta orang saja biaya pemenangannya minimal Rp50 miliar. Di provinsi dengan jumlah penduduk di atas itu, biayanya otomatis akan jauh lebih besar lagi, bahkan bisa tembus sampai ratusan miliar.

“Contoh Pilgub Jakarta, hampir semua partai dapat mengusung paslon akibat Putusan MK 60/2024. Tapi, apakah semua partai punya dana besar untuk pemenangan? Bohir politik juga pasti mendukung kandidat dengan peluang menang terbesar,” kata Musfi kepada reporter Tirto, Rabu.

Musfi tak menampik bahwa Putusan MK Nomor 60/2024 membuka harapan adanya cakada alternatif. Namun, potensi adanya kartelisasi politik oligarki tetap saja dapat muncul sebagai konsekuensi dari mahalnya biaya pilkada.

Selama biaya kampanye masih sangat tinggi ini menjadi lingkaran setan,” ujar Musfi.

Hukum Direduksi Jadi Alat Kekuasaan

Putusan MK Nomor 60/2024 yang membuka peluang independensi parpol tampaknya berpotensi meredup sebelum benar-benar mekar. Pasalnya, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI langsung mengadakan agenda pembahasan revisi UU Pilkada pada Rabu (21/8/2024) atau sehari setelah putusan tersebut keluar.

Revisi UU Pilkada yang dibuat DPR ini berpotensi menganulir Putusan MK Nomor 60/2024 dengan mengembalikan syarat pencalonan cakada kepada aturan lama. DPR berdalih bahwa revisi UU Pilkada sudah dibahas jauh-jauh hari dan bakal menyesuaikan hasil Putusan MK terbaru.

Nyatanya, Baleg DPR RI malah mengutak-atik hasil Putusan MK Nomor 60/2024 dalam rapat Panja Revisi UU Pilkada di DPR. Saat berita ini ditulis, Rabu (21/8/2024) sore, Panja RUU Pilkada DPR RI telah menyepakati perubahan syarat ambang batas pencalonan pilkada jalur parpol hanya berlaku untuk partai yang tidak punya kursi di DPRD. Sementara itu, parpol yang memiliki kursi di DPRD tetap memakai syarat ambang batas 20 persen kursi atau 25 persen perolehan suara.

Wakil Ketua Baleg DPR RI sekaligus pimpinan rapat panja, Achmad Baidowi, mengeklaim bahwa perubahan Pasal 40 UU Pilkada dilakukan untuk mengadopsi Putusan MK tentang ambang batas pencalonan kepala daerah.

“Sebenarnya mengadopsi Putusan MK yang mengakomodir partai nonparlemen bisa mencalonkan kepala daerah. Jadi, sudah bisa mendaftarkan juga ke KPU. Kan sebelumnya [parpol tanpa kursi] enggak bisa [mendaftarkan calon kepala daerah]." tutur Awiek di Gedung DPR, Jakarta, pada Rabu (21/8/2024).

Saat berita ini ditulis, seluruh fraksi di DPR serta perwakilan pemerintah tengah rapat untuk mengegolkan penyesuaian terhadap Pasal 40 UU Pilkada. Revisi UU Pilkada ini akan langsung disahkan di rapat paripurna.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) turut menyampaikan bakal mengubah PKPU dengan menyesuaikan Putusan MK terbaru soal syarat pencalonan cakada. Kendati demikian, KPU memutuskan untuk melakukan konsultasi dan pembahasan bersama pemerintah dan DPR.

“Perubahan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 sesuai dengan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Ketua KPU, Mochammad Afif, di JCC, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2024).

Manuver DPR dan pemerintah yang mengutak-atik Putusan MK Nomor 60/2024 lewat pembahasan revisi UU Pilkada disebut publik sebagai tindakan pembangkangan konstitusi. Pasalnya, Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Jika DPR ngotot melakukan manuvernya itu, ia bisa dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.

Hal ini disampaikan oleh ahli hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah.

“Pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR, yang menolak menjalankan Putusan MK tidak hanya pembangkang konstitusi, tapi dengan perspektif Undang-Undang Administrasi Pemerintahan UU Nomor 30/2014, itu tindakan melawan hukum,” kata Castro, sapaan akrabnya, ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu.

Jika DPR dan pemerintah tak menjalankan Putusan MK, semua produk hukum yang dihasilkannya pun berpotensi dianggap tidak sah. Hal tersebut karena pembentuk undang-undang sudah mengabaikan hasil putusan yang berkekuatan hukum tetap pengadilan.

“Termasuk putusan MK,” imbuh dia.

Tindakan mengabaikan putusan MK dengan tetap menggunakan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah suatu tindakan yang ilegal.

Hal tersebut dinyatakan MK dalam Amar Putusan Nomor 98/PUU-XVI/2018 soal syarat pengunduran diri calon anggota DPD dari parpol.

“Suatu lembaga atau masyarakat yang tidak menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” demikian bunyi Putusan MK tersebut.

Langkah DPR mempertahankan syarat ambang batas pencalonan cakada bagi parpol yang memiliki kursi DPRD dinilai juga merupakan upaya mempertahankan praktik kartelisasi politik oligarki.

“Revisi [UU Pilkada] tersebut sarat dengan muatan politik pragmatis. Kepentingan politik elite-elite penguasa terganggu dan itu adalah contoh berhukum yang sangat buruk dan kontra produktif di negara yang seluruh kehidupan kebangsaannya didasarkan pada hukum,” kata Ketua Consid, Kholil Pasaribu, kepada Tirto, Rabu.

Putusan MK merupakan salah satu produk hukum yang mestinya dijunjung tinggi dan dijalankan, bukan diakali lewat berbagai macam dalih. Bagi parpol, menurut Kholil, Putusan MK semestinya dibaca sekaligus dimaknai sebagai peluang mengembalikan kedaulatan partai yang selama ini disandera kepentingan politik.

“MK telah mengembalikan napas demokrasi kita yang selama ini ditekuk oleh perilaku elite politik yang telah berubah wujud menjadi politik kartel,” ungkap dia.

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, juga ikut menegaskan bahwa utak-atik DPR dan pemerintah atas Putusan MK Nomor 60/2024 merupakan ambang kehancuran dari negara hukum. Indonesia seakan memasuki era otoritarian sesungguhnya dengan secara gamblang menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan.

“Dan DPR bukan lagi wakil rakyat, tetapi sekedar sebagai operator politik kekuasaan saja,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Rabu.

Menurut Lucius, DPR sudah merendahkan dirinya sendiri sebagai wakil rakyat. Konsekuensi utama dari revisi UU Pilkada pascaterbitnya Putusan MK Nomor 60/2024 adalah lahirnya ketidakpastian hukum. Jika Putusan MK yang sudah final dan mengikat ternyata masih juga diutak-atik oleh DPR sehingga tidak dieksekusi secara utuh, artinya kita tidak punya pegangan hukum lagi.

“Hukum menjadi alat kekuasaan lagi, bukan menjadi alat pemberi keadilan dan kepastian,” sebut Lucius.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi