Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Saat Partai Pelita, PAN & Ummat Berebut Suara Warga Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah pada Pemilu 2024 akan terpecah untuk Partai Pelita dan Partai Ummat yang selama ini didominasi PAN.

Saat Partai Pelita, PAN & Ummat Berebut Suara Warga Muhammadiyah
Suasana Seminar Politik Partai Pelita bertajuk "Membangun Budaya Politik yang Beradab untuk Indonesia Maju Berdaulat" di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Senin (16/5/2022). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.

tirto.id - Bertepatan dengan Hari Waisak 2022, 659 orang dari Partai Pelita menggelar Rakernas di Hotel Mercure Convention Ancol, Jakarta Utara. 659 orang tersebut terbagi atas 25 orang dari pengurus MPP, 50 orang dari pengurus dan sisanya adalah peserta yang mewakili dari wilayah dan daerah serta organisasi sayap partai.

Acara itu menjadi perbincangan karena banyak nama besar yang hadir. Sebut saja Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau akrab disapa Din Syamsuddin duduk di panggung sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Partai. Eks Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menjadi sorotan karena banyak tokoh dengan latar belakang Muhammadiyah menjadi anggota dan pengurus Partai Pelita.

Selain itu, di kursi tamu ada mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Ia hadir mengenakan kemeja motif batik bersebelahan dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria. Kehadiran Gatot menjadi sinyalemen kedekatan dia dengan Din Syamsuddin yang sempat tergabung dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

Namun demikian, keakraban Gatot dan Din di luar gerbong pemerintahan tidak membuat keduanya bersatu dalam partai. Gatot menolak bergabung dengan Partai Pelita. Ia masih memilih untuk berjalan sendiri dan menghadiri Rakernas Partai Pelita sebagai tamu dan sahabat lama.

Dalam hiruk pikuk rakernas yang dihadiri oleh peserta dari berbagai daerah, namun aromanya masih terasa sama: mereka memiliki kesamaan latar belakang Muhammadiyah. Organisasi masyarakat berbasis Islam terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama (NU).

Tentunya hal itu bukan suatu kebetulan bila melihat para pendiri Partai Pelita, seperti Din Syamsuddin yang pernah menjabat sebagai ketua umum PP Muhammadiyah. Selain Din, ada juga Beni Pramula yang menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Pelita.

Beni juga memiliki warna yang sama dengan Din Syamsuddin. Beni pernah menjabat sebagai Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) periode 2014-2016.

Bersama Din Syamsuddin dalam kepengurusan Majelis Permusyawaratan Partai, ada sosok penting dan ikut menjadi pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), yaitu Muhammad Hatta Taliwang. Selain itu, ada juga mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2015-2020, Yusnar Yusuf.

Meski warna Muhammadiyah yang teramat kental di Partai Pelita, tapi Beni Pramula mementahkan anggapan bahwa parpol yang dia pimpin adalah bagian dari Muhammadiyah. Menurut dia, organisasi yang didirikan Ahmad Dahlan tersebut memiliki jalan sendiri dan partainya juga mengambil jalur lain tanpa harus membawa embel-embel organisasi.

“Kami menyadari bahwa sebagian besar dari anggota Partai Pelita adalah dari Muhammadiyah, namun kami tetap bersifat inklusif, siapapun dengan latar belakang apa pun bahkan selain beragama Islam juga kami persilakan," kata Beni saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (20/5/2022).

Beni membuktikan dengan adanya sejumlah pengurus dari Indonesia Timur yang duduk sebagai Ketua DPW dan DPD yang berasal dari kalangan selain muslim.

“Ketua DPW dan DPD di Papua mereka beragama non-muslim,” kata Beni menegaskan.

Beni tidak memungkiri bahwa ada tiga parpol serupa dengan Partai Pelita yang berangkat dari keorganisasian Muhammadiyah, yaitu PAN dan Partai Ummat yang dimotori Amien Rais. Namun dirinya tidak ambil pusing dan berusaha merangkul semuanya dengan mengadakan silaturahmi kebangsaan.

“Nanti kami akan kunjungi satu persatu dengan tajuk silaturahmi kebangsaan,” kata Beni.

Menurut Beni, ke depan partai dengan seragam dan corak warna coklat ini akan menyempurnakan sejumlah pekerjaan rumah dengan mempersiapkan kepengurusan hingga tingkat kecamatan agar bisa menjadi kontestan Pemilu 2024.

“Pekerjaan rumah kami adalah menyempurnakan minimal 50% di tingkat kecamatan. Dalam rangka mempersiapkan kepengurusan di tingkat kecamatan lah, salah satu agenda penting Rakernas Partai Pelita,” kata Beni.

Penyerahan Pataka Partai Pelita

Ketua Majelis Permusyawaratan Partai (MPP) Partai Pelita Din Syamsuddin menyerahkan pataka kepada ketua umum umum Partai Pelita Beni Pramula di Jakarta, Senin (28/2/2022). (ANTARA/Fauzi Lamboka)

Sementara itu, Ketua DPP PAN, Saleh Partaonan Daulay enggan memberikan komentar soal lahirnya Partai Pelita yang sama-sama dimotori oleh kader Muhammadiyah. Saleh menyarankan agar komentar datang dari para pengamat politik, bukan dari dirinya atau internal PAN.

“Yang komentari, ya pengamat saja. Jangan kami mas,” kata Saleh secara singkat saat dihubungi reporter Tirto.

Meski terkesan acuh tak acuh atas kemunculan dua parpol baru yang notabene ceruk pemilihnya sama, tapi PAN nampaknya harus merasa khawatir. Pasalnya selama ini suara PAN terus tergerus. Apalagi kalau dibandingkan antara Pemilu 2014 dan 2019.

Pada saat Pemilu 2014 dan mereka mengusung Hatta Rajasa sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, PAN berhasil meraih 7,6% suara nasional atau setara 43 kursi di DPR RI. Sementara pada Pemilu 2019 dengan koalisi yang sama, PAN mengalami penurunan suara elektoral hingga nyaris satu persen dengan total 6,84%. Namun masih bisa mengamankan 44 kursi di DPR RI.

Berdasarkan survei, hingga saat ini belum ada indikasi PAN akan menjulang perolehan suaranya pada Pemilu 2024. Survei yang dirilis Indikator misal menunjukkan pada April 2022 suara PAN mengalami penurunan menjadi 1,1 persen. Dari sebelumnya di Desember 2021 sempat berada di angka 2,5 persen. Dalam survei tersebut, PAN menjadi salah satu partai dengan angka terendah selama April 2022.

Pecahnya Suara Elektoral Muhammadiyah

Kemunculan Partai Pelita tidak hanya menjadi ciri atas berkembangnya demokrasi di Indonesia, namun juga pertanda pecahnya suara para pemilih dari warga Muhammadiyah. Meski demikian, menurut pengamat politik Hendri Satrio, pecahnya suara elektoral tidak berpengaruh pada kesolidan Muhammadiyah sebagai suatu ormas.

“Suara Muhammadiyah pasti terpecah akibat munculnya Partai Pelita dan Ummat yang sebelumnya hanya didominasi oleh PAN. Namun tidak menimbulkan konflik sosial karena tidak ada statement pure yang menyebut bahwa ini adalah partai Muhammadiyah," kata Hendri kepada reporter Tirto.

Hendri membandingkan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang memiliki basis dan berafiliasi dengan NU serta secara terang-terangan menyatakan bagian dari ormas Islam terbesar itu. Sedangkan PAN, Partai Pelita dan Partai Ummat tidak ada deklarasi atas kecondongan pada ormas.

“Seperti PAN juga tidak pernah menyebut dirinya dari Muhammadiyah meski banyak tokoh yang yang mengisi partainya,” kata Hendri.

Dengan kemunculan tiga partai politik, kata Hendri, menunjukkan Muhammadiyah sebagai ormas modern dan tidak mudah terpecah belah.

“Justru ini menarik karena sebagai kader Muhammadiyah banyak melakukan pendidikan publik dengan partai politik yang mereka bentuk. Dan yang menariknya tidak ada tokoh sentral dari masing-masing partai,” kata Hendri.

Dengan ketiadaan tokoh sentral ada sejumlah untung rugi yang didapatkan, kata dia. Dari segi keuntungan, ketiga partai memiliki sistem kaderisasi yang baik dan anggotanya bisa melakukan performa yang terbaik untuk mencapai titik teratas.

“Namun kelemahannya ketiga partai harus mencari orang dari luar partai untuk didukung dalam pilpres karena dari hasil survei tidak ada tokoh sentral yang bisa mereka usung dari internal partai," imbuhnya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz