tirto.id - Selain membuat partai baru, ada pula sekelompok politikus yang mengambil jalan lain demi turut serta dalam Pemilu 2024, yaitu dengan mengooptasi partai yang sudah eksis. Partai yang disasar itu adalah pemenang Pileg 2009, Partai Demokrat.
Partai Demokrat yang tengah menghadapi prahara ini dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), anak dari Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sementara pecahannya kerap disebut KLB Deli Serdang, merujuk pada momen di mana mereka mengesahkan kepemimpinan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Moeldoko mengaku terlibat karena dia hendak menyelamatkan Partai Demokrat demi menyelamatkan negara. Dalam video yang diunggah di akun Instagram @dr_Moeldoko, ia mengaku “bukan sekadar menyelamatkan Demokrat tapi juga menyelamatkan bangsa dan negara.”
Selain meresmikan kepengurusan tandingan, Partai Demokrat KLB Deli Serdang juga menggugat Partai Demokrat kubu AHY ke ranah hukum.
Upaya pertama adalah judicial review Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat kubu AHY ke Mahkamah Agung (MA). Pelakunya adalah empat orang Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat yang dipecat oleh kepengurusan AHY. Kedua adalah gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka menggugat ke PTUN karena Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tak mengesahkan Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang dan berharap para hakim memutuskan sebaliknya.
Lewat dua gugatan ini Partai Demokrat kubu KLB Deli Serdang hendak menggagalkan kepemimpinan AHY sekaligus mendapatkan legitimasi kepemimpinan Moeldoko.
Gugatan ke MA sudah dibatalkan oleh majelis hakim pimpinan Supandi. Mereka menolak permohonan dengan pertimbangan MA tidak berwenang memeriksa, mengadili, maupun memutus objek permohonan, yaitu AD/ART. Namun gagalnya gugatan tidak membuat surut keinginan Partai Demokrat KLB Deli Serdang menguasai partai. Mereka malah menganggap pembatalan itu menguatkan keabsahan gugatan ke PTUN yang masih berlangsung hingga naskah ini ditulis.
KLB Deli Serdang bukan satu-satunya pihak yang berebut kekuasaan di Partai Demokrat. Loyalis Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat ke-3 (23 Mei 2010-30 Maret 2013), juga tidak puas dengan kepemimpinan AHY. Bedanya mereka memutuskan keluar dan membentuk partai baru bernama Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang dipimpin Gede Pasek Suardika, mantan kader Partai Hanura.
Keputusan ini diapresiasi Partai Demokrat kubu AHY. Mereka mengatakan Moeldoko c.s. seharusnya juga melakukan hal yang sama, membentuk partai baru.
Kekuatan Demokrat
Partai baru tidak pernah menemui jalan mudah. Pada Pemilu 2019, semuanya terhempas, mulai dari Partai Perindo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan Partai Berkarya. Suara banyak mengalir ke partai besar seiring dengan calon presiden yang mereka usung: PDIP dengan Joko Widodo dan Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto.
Pada 2024, partai yang belum lolos ini akan semakin sulit bersaing karena kemunculan partai baru. Satu yang mungkin bisa sedikit mengubah arah angin adalah menurunnya suara partai-partai besar sebagaimana temuan survei terakhir.
Dalam situasi seperti ini tidak heran jika Partai Demokrat kubu KLB Deli Serdang lebih memilih mencaplok partai yang sudah jadi ketimbang membuat yang baru.
Memang Partai Demokrat bukan lagi partai besar. Dalam Pileg 2019, mereka mendapat suara sebanyak 10,87 atau setara 7,77 persen. Sekilas memang bagus, namun secara keseluruhan hanya menempati peringkat 7. Selain itu, angkanya juga menurun. Pada Pileg 2014 Partai Demokrat berhasil menduduki peringkat empat dengan total perolehan suara 12,72 juta suara atau setara 10,19 persen. Ini belum termasuk Pileg 2009 di mana mereka tampil sebagai juara.
Penurunan suara Partai Demokrat diiringi dengan kenaikan suara partai-partai menengah semacam Partai Nasdem dan PKB. Kendati turun pun, tidak ada yang setajam Partai Demokrat. PKS, misalnya, dari 57 kursi di 2009 menjadi 50 di 2019. PPP dari 35 kursi di 2009 menyusut jadi 19. Tetap saja tidak sampai seperti Demokrat yang turun hingga 63,5 persen, dari 148 menjadi hanya 54.
Arya Fernandes, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies, menulis ada tiga situasi internal yang mengakibatkan penurunan suara Partai Demokrat.
Pertama, “tidak adanya inovasi politik dan posisi partai yang terlambat beradaptasi.” Inovasi ini juga berkaitan dengan masalah pengaderan. Arya menilai Partai Demokrat belum bisa memunculkan tokoh-tokoh yang mampu meningkatkan elektabilitas partai. Jika terus seperti ini, Partai Demokrat akan terkepung bahkan oleh partai-partai kecil seperti PSI dan Partai Berkarya.
“Demokrat juga tidak berhasil merebut kembali basis politiknya pada pemilu sebelumnya, dan cenderung kehilangan kursi di dapil-dapil yang menjadi lumbung suara Demokrat di pemilu sebelumnya,” catat Arya dalam artikel berjudulDari Partai Pemenang menjadi Partai Menengah: Studi Kondisi Elektoral Partai Demokrat (2020).
Kedua adalah masalah yang masih terjadi sampai sekarang, yaitu kisruh internal dan banyaknya kader yang memilih migrasi ke partai lain atau mendirikan partai baru–bahkan ada yang berencana merebut tonggak kepemimpinan.
Ketiga, partai dianggap tidak mampu menangkap suara kelompok milenial. AHY yang jadi harapan pun “kehilangan momentum” pada pemilu.
Namun bukan berarti Partai Demokrat tidak punya nilai jual sama sekali. Sebagai pemenang pemilihan presiden sebanyak dua kali, Partai Demokrat punya hubungan baik dengan partai-partai lain. Buktinya, merekalah partai yang paling sering berkoalisi dengan partai lain, dengan tingkat rata-rata 57. Sebagai catatan, Partai Demokrat mengikuti 160 pemilihan dari 171 daerah yang mengadakan pemilu.
Situasi ini tak jauh berbeda pada Pilkada 2020. Partai Demokrat mengklaim kadernya unggul di 147 daerah dari total 270 wilayah yang menyelenggarakan pemilihan. Angka ini terbilang tinggi karena Partai Demokrat mengikuti sampai 250 pemilihan. Hasil ini makin menegaskan bagaimana pengaruh atau setidaknya basis suara Partai Demokrat di daerah-daerah.
Sejauh ini, kendati mengalami penurunan, Pulau Jawa tetap menjadi ladang suara Partai Demokrat. Pada Pileg 2019, misalnya, sebanyak 53,4% suara Partai Demokrat berasal dari Pulau Jawa. Kekuatan ini muncul dari Jawa Timur, yang tidak lain adalah provinsi tempat kelahiran SBY, Pacitan.
Di sisi lain, semasa aktif di militer Moeldoko banyak ditempatkan di luar Pulau Jawa seperti Sulawesi.
Meski basis suaranya nampak berbeda, menilik kondisi partai-partai lain, Partai Demokrat memang terlihat paling ideal bagi Moeldoko jika ingin berlaga di bursa Pilpres atau Pileg 2024.
Dari 9 partai yang lolos ke DPR, tiga di antaranya punya tokoh kuat yang sulit digeser: PDIP dengan Megawati Soekarnoputri, Partai Gerindra dengan Prabowo, dan Partai Nasdem dengan sang pendiri Surya Paloh. Sisanya, Partai Golkar, dikuasai barisan pengusaha dan orang-orang lama, sementara partai-partai agama dipimpin oleh mereka yang berlatar agama yang kuat. Adapun PAN yang terjebak di antara ideologi nasionalis-religius tidak dipimpin oleh militer.
Fakta-fakta ini membuat Partai Demokrat jadi pilihan yang tersisa bagi Moeldoko. Partai Demokrat tidak dikenal sebagai partai berlandaskan agama meski mengklaim nasionalis-religius. Selain itu, kepemimpinannya juga masih dipegang militer dalam beberapa tahun belakangan, dari SBY ke AHY--yang juga purnawirawan TNI. Tidak heran jika Partai Demokrat menarik minat Moeldoko.
Namun tentu angan-angan jadi capres masih sangat jauh kendati misalnya Partai Demokrat bisa dikuasai. Dalam sebuah survei capres 2024, Moeldoko mencatat perolehan suara 0 persen. Tidak ada satu pun yang berharap dia menjadi presiden.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino