Menuju konten utama

RUU P2SK: Asuransi Bisa Jadi 'Pasien' LPS sebelum Dilikuidasi

Sebelumnya, OJK telah mengusulkan agar LPS ikut menangani “asuransi sakit” dan diatur dalam RUU P2SK.

RUU P2SK: Asuransi Bisa Jadi 'Pasien' LPS sebelum Dilikuidasi
Wisatawan mengunjungi Gerai Lembaga Penjamin Simpanan di Kawasan Malioboro, Yogyakarta, Kamis (29/12/2022). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/rwa.

tirto.id - Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) yang diputuskan menjadi usulan DPR memberikan tugas baru bagi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menangani perusahaan asuransi bermasalah.

Dalam RUU tersebut, LPS bertugas merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan persiapan tindakan resolusi perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah.

"Termasuk uji tuntas pada perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah serta penjajakan kepada perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau investor lain, dan merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan resolusi perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah, yang ditetapkan sebagai perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah dalam resolusi," demikian petikan RUU tersebut.

Kewenangan LPS dalam rancangan baru itu juga semakin kuat jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan terkait status resolusi sebuah perusahaan asuransi.

LPS dalam kewenangannya dapat mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk RUPS.

Dalam proses penilaian, LPS akan menentukan apakah perusahaan asuransi dalam resolusi itu akan diselamatkan atau tidak. Hak sepenuhnya ada di tangan LPS. Perkiraan biaya penyelamatan pun mencakup penambahan modal agar perusahaan memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas dan likuiditas.

Meski demikian, perkiraan biaya tidak mengikutsertakan pembayaran klaim pemegang polis, talangan gaji, serta pesangon pegawai, dan penerimaan dari penjualan aset perusahaan yang izinnya dicabut. Namun, perusahaan dan direksi harus bersedia melampirkan data dan informasi yang dibutuhkan LPS.

“Pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris serta pegawai dan mantan pegawai perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah yang ditetapkan sebagai perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah dalam resolusi wajib untuk setiap saat memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan," bunyi Pasal 24A Ayat 2 beleid tersebut.

Langkah ini menegaskan bahwa LPS kini tidak lagi hanya berperan di sektor perbankan, melainkan juga bisa menjadi eksekutor penyelamatan perusahaan asuransi yang terancam dilikuidasi.

Selain itu, LPS juga dapat mengambil alih hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), kepemilikan, kepengurusan, hingga kepentingan lain pada perusahaan asuransi yang ditetapkan dalam resolusi.

Berikut tindakan yang dapat dilakukan LPS:

1. Menguasai, mengelola, dan mengambil tindakan kepemilikan atas aset maupun kewajiban perusahaan asuransi

2. Melakukan penyertaan modal sementara

3. Menjual atau mengalihkan aset perusahaan tanpa perlu persetujuan pemegang polis atau kreditur

4. Mengalihkan manajemen kepada pihak lain

5. Melakukan penggabungan atau peleburan dengan perusahaan asuransi lain hingga membatalkan atau mengubah kontrak dengan pihak ketiga yang dinilai merugikan perusahaan asuransi.

Dalam RUU tersebut, seluruh biaya penyelamatan yang dikeluarkan LPS nantinya akan dicatat sebagai penyertaan modal sementara pada perusahaan yang diselamatkan. Jika ekuitas perusahaan asuransi dalam resolusi bernilai positif, pemegang saham lama masih berhak mendapatkan bagian dari hasil penjualan saham secara proporsional. Namun, jika ekuitas bernilai negatif, pemegang saham lama kehilangan hak tersebut.

Meski demikian, RUU P2SK mewajibkan LPS untuk menjual seluruh saham yang dimilikinya maupun pemegang saham lama maksimal tiga tahun sejak penyelamatan dilakukan.

Penjualan ini harus dilakukan secara terbuka dan transparan dengan tingkat pengembalian optimal, minimal sebesar seluruh modal sementara yang ditanamkan LPS. Apabila target itu tidak tercapai, masa penjualan bisa diperpanjang maksimal dua kali, masing-masing selama satu tahun.

Di sisi lain, jika LPS memutuskan tidak melakukan penyelamatan, maka lembaga tersebut akan meminta pencabutan izin usaha perusahaan asuransi bermasalah kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Setelah izin usaha dicabut, LPS tetap berkewajiban membayar klaim penjaminan pemegang polis atau peserta asuransi sesuai dengan aturan dalam undang-undang.

Sebelumnya, OJK telah mengusulkan agar LPS ikut menangani “asuransi sakit” sebelum diputuskan likuidasi. Usulan itu kini tertuang dalam RUU P2SK seiring dengan banyaknya kasus gagal bayar di industri asuransi dalam beberapa tahun terakhir.

Usulan ini disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, dalam rapat panitia kerja terkait RUU P2SK dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Selasa (22/9/2025).

Menurut Ogi, LPS seharusnya juga mengupayakan penyelamatan perusahaan jasa asuransi insolven, sebagaimana lembaga tersebut "menyembuhkan" bank-bank sakit. Ini juga sejalan dengan tugas tambahan LPS pada 2028 sebagai bagian dari Program Penjaminan Polis (PPP).

“Di Undang-Undang P2SK, program penjaminan polis LPS itu mempunyai tanggung jawab melakukan resolusi terhadap bank yang bermasalah, dan pengaturan pengawasan di OJK juga sudah diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu pengawasan normal, bank dalam penyehatan, dan bank dalam resolusi. Nah, di asuransi belum seperti itu,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait ASURANSI atau tulisan lainnya dari Natania Longdong

tirto.id - Insider
Reporter: Natania Longdong
Penulis: Natania Longdong
Editor: Hendra Friana