Menuju konten utama

Risiko Utang Swasta di Tengah Pelemahan Daya Saing Industri

Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai potensi gagal bayar ini memang perlu diwaspadai. Apalagi rasio kemampuan bayar pada quartal 1 2019 naik ke angka 27,9 persen.

Risiko Utang Swasta di Tengah Pelemahan Daya Saing Industri
Ilustrasi pabrik Textile. FOTO/istockphoto

tirto.id - Fenomena gagal bayar obligasi yang diterbitkan anak usaha Duniatex dinilai berdampak terhadap kekhawatiran dunia internasional saat akan memberikan pinjaman di Indonesia. Apalagi setelah Standard and Poor (S&P) menurunkan peringkat utang salah satu anak usaha Duniatex dari BB- menjadi CCC- yang berarti perusahaan tengah goyah dan perlu didukung kondisi ekonomi yang baik.

“Itu bisa berpengaruh terhadap nama baik dari perusahaan Indonesia dan bond-bond yang dikeluarkan Indonesia secara keseluruhan,” kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (25/7/2019).

Menurut Piter, hal itu tidak bisa dipandang remeh karena bisa saja kekhawatiran dunia internasional itu menjadi kenyataan. Sebab, kata Piter, utang luar negeri Indonesia dari kalangan swasta akhir-akhir ini terus mengalami peningkatan. Bahkan jumlahnya melewati perolehan pemerintah.

Padahal, seiring dengan peningkatan utang itu, kata Piter, perlu diwaspadai bahwa risiko yang menyertainya juga ikut meningkat. Dalam hal ini, Piter merujuk pada fenomena gagal bayar seperti yang dialami oleh salah satu anak usaha Duniatex.

Dalam kasus ini, PT Delta Merlin Dunia Tekstil (DMDT) sebagai anak usaha Duniatex diduga gagal bayar obligasi global senilai 300 juta dolar AS pada empat bulan lalu. Anak perusahaan Duniatex lainnya, PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST) juga diduga melewatkan kewajiban pembayaran utangnya.

“Nah fenomena ini menunjukkan risiko itu. Risiko terjadinya gagal bayar di swasta yang dikhawatirkan bisa merambat,” kata Piter menambahkan.

Berdasarkan laporan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia edisi Juni 2019, jumlahnya memang cukup membengkak di sektor swasta. Dalam laporan yang diterbitkan Kemenkeu dan Bank Indonesia, utang swasta termasuk BUMN mencapai 199,6 miliar dolar AS, lebih tinggi dari pemerintah dan bank sentral di angka 189,7 miliar dolar AS.

“Peningkatan pertumbuhan ULN [utang luar negeri] terutama bersumber dari ULN sektor swasta, di tengah perlambatan pertumbuhan ULN pemerintah,” demikian bunyi laporan itu seperti dikutip dari laman resmi Setkab.

Tingginya angka utang ini memang menjadi perhatian. Sebab, di saat yang sama daya saing industri Indonesia tengah mengalami penurunan. Fenomena seperti anak usaha Duniatex di bidang tekstil pun dianggap menjadi cermin akan potensi perlambatan di sektor industri yang dapat memengaruhi keuangan perusahaan.

Bahkan Bank Mandiri jauh sebelum Duniatex menjadi sorotan karena obligasinya pun mengaku sudah melakukan mitigasi risiko. Hal ini mereka lakukan menyusul adanya tanda-tanda bahwa sektor tekstil Indonesia tampak suram.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai potensi gagal bayar ini memang perlu diwaspadai. Apalagi rasio kemampuan bayar atau Debt Service Ratio (DSR) pada quartal 1 tahun 2019 naik ke angka 27,9 persen.

“Ini menunjukkan antara laju utang swasta dan kinerja penerimaan valas terutama ekspor tidak sejalan. Di atas 25% sudah harus waspada,” ucap Bhima saat dihubungi reporter Tirto, pada Kamis (25/7).

Di tengah risiko ini, Bhima mengatakan biasanya perusahaan swasta akan lakukan refinancing atau terbitkan utang baru, dan restrukturisasi utang. Namun, menyusul kondisi global saat ini, pemerintah dan BI perlu melakukan pemetaan terkait gejala swasta kesulitan melunasi kewajibannya.

“Kalau utang naik, tapi tidak berkorelasi dengan produktivitas, maka kita wajib curiga apa jangan-jangan utang itu untuk tutup lubang utang yang jatuh tempo?” ucap Bhima.

Terkait hal ini, Kementerian Keuangan belum mau memberi tanggapan. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Nufransa mengatakan persoalan ini lebih cocok dijawab oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya pernah berkata bahwa nilai utang dianggap masih dalam keadaan yang aman dan terkendali karena nilainya masih 36,8 persen dari PDB di bawah batas 60 persen dari PDB. Sri Mulyani berpendapat pada konteks utang negara, pinjaman justru untuk melawan pelemahan ekonomi yang sedang dialami.

“Pada saat ekonomi melemah, utang digunakan sebagai counter cyclical untuk meng-counter pelemahan,” ucap Sri Mulyani seperti dikutip dalam setkab.go.id.

Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian, Atong Soekirman membenarkan bila saat ini ada penurunan daya saing industri. Untuk pertumbuhan industri manufaktur saja turun dari 4,6 persen ke 3,86 persen pada Q1 2019.

Namun, ia yakin pada kondisi ini industri Indonesia masih dapat mengambil peluang dengan mengisi celah yang ditinggalkan Cina. Apalagi, kata dia, dari peningkatan utang swasta yang dilakukan, 24,7 persen didominasi BUMN yang ia yakini diperuntukkan untuk infrastruktur yang menunjang industri.

“Dari dua alasan itu, pembiayaan kita masih sehat ya,” ucap Atong saat dihubungi reporter Tirto, pada Jumat (26/7/2019).

Kendati demikian, Atong mengatakan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi. Salah satunya adalah mengejar pembukaan pasar non-tradisional untuk membantu perusahaan yang kesulitan baik karena perang dagang maupun hambatan non-tarif seperti sikap Uni Eropa pada sawit Indonesia.

Selanjutnya, Atong menjelaskan, pemerintah akan meninjau perjanjian Free Trade Agreement (FTA) yang saat ini dijalin Indonesia. Sebab, kata dia, jangan sampai perjanjian itu ternyata tidak banyak menguntungkan Indonesia.

“Kami akan tambah pasar dengan non-tradisional, lalu FTA kami akan diliat menguntungkan enggak sih. Jadi minimal ada akses ekspor buat kita,” ucap Atong.

Untuk utang luar negeri, Atong mengatakan, pemerintah akan mencoba mengidentifikasi jatuh tempo utang yang ada, terutama agar tak bersamaan dengan momen likuiditas dolar di Indonesia mengering. Kalau ada yang memerlukan pembiayaan, kata Atong, pemerintah berharap dapat membuka pasar pembiayaan dalam negeri sehingga tak melulu bergantung pada utang luar negeri.

Baca juga artikel terkait DAYA SAING INDUSTRI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz