tirto.id - Perang dagang Amerika Serikat-Cina yang masih berlangsung akhirnya memakan korban, salah satu perusahaan tekstil asal Indonesia. Akibat perang dagang itu, lembaga pemeringkat Standard and Poor (S&P) mengatakan perusahaan dengan label Duniatex Group diduga mengalami kesulitan likuiditas keuangan merespons performa anak usahanya.
Tepatnya berkaitan dengan persoalan dugaan gagal bayar obligasi global senilai 300 juta dolar AS yang diterbitkan anak usaha Duniatex, PT Delta Merlin Dunia Tekstil (DMDT) empat bulan lalu. Anak perusahaan Duniatex lainnya, PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST) juga diduga melewatkan kewajiban pembayaran utangnya.
“Tensi perang dagang AS-Cina yang masih berlangsung secara signifikan melukai pasar tekstil Indonesia,” demikian laporan lembaga S&P seperti dikutip dalam Bloomberg.
PT Bank Negara Indonesia (BNI) juga ikut tersangkut karena turut memberi kredit kepada perusahaan tekstil itu dengan nilai mencapai Rp459 miliar.
Direktur Manajemen Risiko BNI Bob Tyasika Ananata mengatakan perusahaannya telah melakukan langkah mitigasi untuk memastikan agar Duniatex tidak masuk sebagai kredit bermasalah.
Bob mengatakan saat ini kredit kepada Duniatex cukup terjamin karena BNI menguasai jaminan yang nilainya 2,5 kali dari total kredit. Untuk pembayaran Juni 2019 lalu, kata dia, juga masih normal.
“Ini kami baru saja terjadi ya. Kami sedang bicarakan dengan pemiliknya untuk mencarikan investor, Kami lihat seperti apa,” ucap Bob seperti dikutip Antara, 23 Juli 2019.
Mitigasi yang sama dilakukan PT Bank Mandiri. Corporate Secretary Mandiri Rohan Hafas mengatakan bank pelat merah itu sudah mengurangi exposure utang sejak 2015 lalu dari Rp5 triliun menjadi Rp2,2 Triliun.
Lalu, selama 2 tahun terakhir, kata dia, Mandiri sudah meminta jaminan 2 kali lipat dalam bentuk fix asset.
“Saat ini masih jauh dari kredit bermasalah. Kalau itu terjadi, kami sudah lakukan mitigasi dan posisi Mandiri saat ini sangat kuat,” ucap Rohan saat dihubungi reporter Tirto, pada Rabu (24/7/2019).
Ekonom dari Intitute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati membenarkan adanya kemungkinan dampak perang dagang terhadap Duniatex. Namun, ia mengatakan efeknya bersifat tidak langsung karena lebih berkaitan kepada masalah persaingan Indonesia yang cukup tertinggal dibanding Vietnam.
Enny menyebutkan peningkatan sektor tekstil Vietnam mencapai 6,4 persen, dua kali lipat lebih tinggi dari Indonesia. Sementara untuk peningkatan sektor pakaian jadi mencapai 10 persen, padahal Indonesia hanya 8 persen.
Peningkatan tersebut, kata Enny, berkaitan dengan masuknya investasi dan perpindahan pabrik tekstil Cina ke Vietnam sehingga daya saingnya lebih baik saat berebut pasar di Amerika dan Eropa.
“Pasar Amerika dan Eropa mulai diisi dengan Vietnam karena produknya dan pangsa pasar menurun. Ini memengaruhi cashflow perusahaan. Itu membuat seret dan tidak mampu bersaing,” ucap Enny saat ditemui reporter Tirto, di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Enny mengatakan persoalan ini menjadi semakin buruk usai pemerintah gagal mengantisipasi penurunan daya saing industri tekstil Indonesia, sehingga apa yang dialami Duniatex dikhawatirkan bisa terjadi pada perusahaan tekstil lainnya.
Di sisi lain, Enny juga mendapati Indonesia terlambat mengembangkan sektor hulu dari tekstil seperti produk benang. Padahal, kata dia, sektor hulu ini dikembangkan juga oleh Cina dan Vietnam.
Alhasil, selain semakin bergantung pada impor Cina-Vietnam, Indonesia juga gagal mengambil peluang saat perang dagang memberi kesempatan besar bagi produk tekstil Indonesia.
“Kita terlambat mengembangkan industri hulu sehingga tekstil kita kalah bersaing jadi ketergantungan impor tekstil dan pakaian jadi dari Cina,” ucap Enny.
Sebaliknya, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah ragu bila perang dagang malah menyebabkan perusahaan swasta ini gagal bayar. Meskipun ada benarnya bila perang dagang bisa berpengaruh secara tidak langsung, ia menduga hal ini lebih disebabkan pengelolaan internal.
Menurut Piter jarang terjadi jika obligasi tidak dapat dibayar dalam waktu 3-4 bulan pertama. Paling tidak, kata dia, 1-2 tahun pertama perusahaan seharusnya masih sanggup.
Persoalan ini, kata Piter, diperburuk tidak cermatnya otoritas yang memberi izin obligasi Duniatex padahal hal ini dapat mencoreng kredibilitas obligasi yang diterbitkan perusahaan-perusahaan Indonesia di mata internasional.
“Kondisinya memang diduga perusahaan tidak sehat. Tidak mungkin 3-4 minggu crash. Dugaan saya tidak langsung karena perang dagang,” ucap Piter saat dihubungi pada Rabu (24/7).
Terkait masalah itu, manajemen Duniatex belum mau memberikan komentar. “Mohon maaf, dari manajemen belum bersedia diwawancara,” ucap resepsionis Duniatex, Fika saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (24/7/2019).
Dalam sebuah surat elektronik yang diterima situs berita Bloomberg dari salah satu investor, manajemen Duniatex juga belum mau memberi tanggapan. Mereka menyatakan tengah berupaya untuk membantu DMDT dari terlewatnya pembayaran utang.
“Kami akan menyampaikan update nanti, mohon jangan menelpon atau email untuk saat ini, pasalnya inbox saya kebanjiran email," ucap email tersebut seperti dikutip dalam Bloomberg.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan belum menjawab pertanyaan reporter Tirto. Baik pertanyaan melalui surat elektronik, pesan WhatsApp, dan telepon belum direspons hingga artikel ini dirilis.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz