tirto.id - Jau Tau Kwan tak bisa menahan kegembiraannya setelah masa penahanannya di Rutan Kelas I Solo berakhir. Direktur PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) ini tiba-tiba nyebur ke kolam renang dengan tetap memakai baju dan celana panjang.
"Saya tidak merencanakan sebelumnya. Nyebur ke kolam renang sebagai upaya untuk membuang sial. Semoga saja saya dibebaskan dari segala tuntutan," katanya, dilansir Solopospada 14 Februari 2012.
DMDT kala itu memang tengah diuji. Jau Tau Kwan menghuni sel sejak Oktober 2011. Ia menjadi terdakwa kasus dugaan pelanggaran hak cipta kain grey rayon kode benang kuning, di mana hak ciptanya dimiliki PT Sri Rejeki Isman Tbk.
Meski sudah keluar dari sel, kasus tersebut tetap berjalan. Pada 22 Maret 2012, Jau Tau Kwan diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Karanganyar. Ia dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun, dan denda Rp1 miliar.
Tak terima dengan keputusan itu, Jau Tau Kwan mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung (MA). Pada 14 Agustus 2012, MA memutuskan membatalkan putusan dari PN Karanganyar tersebut. Akhir yang manis bagi bos DMDT itu.
Selang tujuh tahun, DMDT kembali diuji. Kali ini, perusahaan di bawah bendera Duniatex Grup ini terancam gagal bayar surat utang lantaran sedang menghadapi persoalan likuiditas yang signifikan.
Bloomberg melaporkan, persoalan ini bermula ketika DMDT menerbitkan obligasi dalam bentuk dolar AS sebesar 300 juta dolar Amerika Serikat pada Maret 2019. Surat utang global bertenor lima tahun itu memiliki kupon sebesar 8,62 persen.
Surat utang DMDT awalnya disambut positif oleh investor global. Bahkan, permintaan untuk obligasi tersebut dikabarkan mencapai 1 miliar dolar AS atau sekitar tiga kali lipat dari nilai obligasi yang disebar perseroan sebesar 300 juta dolar AS tersebut.
Empat bulan kemudian, prospek surat utang DMDT mendadak suram. Pasalnya, lembaga pemeringkat utang S&P Global Ratings tiba-tiba memangkas peringkat obligasi yang dijual DMDT menjadi CCC- atau turun 6 level dari sebelumnya BB-.
Peringkat CCC- menandakan kondisi perusahaan tengah goyah dan sangat bergantung pada kondisi ekonomi yang menguntungkan agar dapat memenuhi kewajibannya. Sementara BB- menandakan kondisi perusahaan dalam memenuhi kewajibannya cukup memuaskan.
Pemangkasan peringkat obligasi DMDT oleh S&P bukan tanpa sebab. Selain karena faktor potensi gagal bayar, S&P juga melihat bahwa likuiditas Duniatex yang lemah juga akan berpengaruh terhadap bisnis DMDT. Dampak seretnya likuiditas Duniatex ini tampak pada kasus gagal bayar untuk kupon pinjaman dolar AS perusahaan anakan Duniatex lainnya, yakni PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST) yang jatuh tempo pada 10 Juli 2019.
"Kami meyakini likuiditas yang lemah di induk usaha Duniatex ini akan juga berpengaruh terhadap DMDT," tutur Analis S&P Global Ratings Harshada Patwardhan seperti dikutip dari laman resminya.
Perang dagang AS-Cina juga menjadi alasan S&P memangkas peringkat DMDT. Kebijakan AS mengenakan tarif bea sebesar 25 persen atas produk tekstil Cina membuat produsen Cina mengarahkan produknya ke tujuan yang lebih ramah, salah satunya Indonesia.
Kondisi ini tentunya menjadi sentimen buruk bagi industri tekstil Indonesia, tak terkecuali Duniatex. Apalagi, bisnis tekstil domestik saat ini sedang lesu. Kemungkinan produk tekstil Cina membanjiri pasar Indonesia jelas dapat memperkeruh kondisi pasar.
Oleh karena itu, S&P meyakini bahwa DMDT bakal menghadapi tantangan yang besar dalam memenuhi kewajiban surat utangnya pada September 2019, terutama untuk pinjaman sindikasi yang diperkirakan sebesar 5 juta dolar AS.
Ancaman gagal bayar terhadap Duniatex Grup ini juga berdampak terhadap para krediturnya, termasuk Bank Mandiri. Menurut riset Sinarmas Sekuritas, total nilai pinjaman Duniatex dari Bank Mandiri mencapai Rp2,2 triliun.
Sementara itu, berdasarkan riset JP Morgan dikutip dari Bisnis Indonesia, sedikitnya ada 10 bank yang menjadi kreditur DMDT di antaranya seperti Bank Muamalat Indonesia, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Negara Indonesia (BNI).
Mendunia dari Solo
Kabar terkait anak usaha Duniatex yang gagal membayar kewajibannya tampaknya menjadi tanda bahwa industri tekstil nasional tengah kelimpungan saat ini. Bagaimanapun, Duniatex adalah salah satu pelaku utama dalam industri tekstil di Indonesia.
Duniatex didirikan oleh Sugeng Hartono pada 1974 di Surakarta, Jawa tengah dengan nama CV Duniatex Industri Tekstil. Pada awalnya, perusahaan bergerak dalam bisnis pencelupan, tekstil dan finishing dengan total 130 karyawan.
Pada 1988, Duniatex Industri Tekstil mengakuisisi PT Wijayatex, sebuah perusahaan tekstil tenun. Bersama PT Wijayatex, Duniatex Industri Tekstil membentuk PT Duniatex, yang nanti menjadi induk usaha dari Duniatex Grup.
Setelah malang melintang di industri pertekstilan, Sugeng pensiun pada 1996, dan digantikan oleh putranya, Sumitro sebagai orang nomor satu di Duniatex Grup. Di tangan Sumitro, usaha Duniatex kian berkembang.
Induk usaha yang memiliki kantor pusat di Karanganyar, Solo, Jawa Tengah tersebut saat ini sudah membawahi sedikitnya 18 perusahaan terbatas yang tersebar di beberapa lokasi dengan luas lahan mencapai 150 hektare.
Jumlah karyawan yang bekerja di Duniatex Grup semakin besar. Dari awalnya 130 karyawan, kini sudah mencapai lebih dari 40.000 karyawan. Produk yang dihasilkan juga tidak hanya kain mentah dan kain jadi saja, namun juga sudah merambah ke pemintalan benang, knitting, printing hingga denim.
Pasar Duniatex Grup tak hanya menyasar domestik saja, namun juga internasional. Saat ini, Duniatex mengklaim sudah melayani konsumen dari empat benua, seperti Asia, Eropa, Afrika dan Amerika.
Selain bergulat di industri pertekstilan, Duniatex di bawah kepemimpinan Sumitro juga mulai menggarap bisnis properti. Salah satunya adalah mendirikan Hartono Mall di Solo melalui PT Delta Merlin Dunia Properti, seperti dikutip dari Grid.
Duniatex kemudian mendirikan Hartono Mall ke-2 di Yogyakarta. Dibuka pada 20 November 2015, Hartono Mall Yogyakarta menjadi salah satu mal terbesar di Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan total tenant sebanyak 300 unit.
Selain mal, PT Delta Merlin Dunia Properti juga membangun beberapa hotel seperti The Alana Solo, Best Western Solo, dan pusat perbelanjaan Hartono Trade Center. Tak hanya itu, Duniatex juga mendirikan sebuah rumah sakit, yakni RS Indriati.
Rumah sakit yang didirikan di atas lahan seluas 18.291 m2 ini berlokasi di desa Langenharjo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Rumah sakit swasta ini ditargetkan menjadi sebuah rumah sakit pendidikan, terakreditasi nasional dan internasional.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara