tirto.id - Apa yang menjadi kegemaran para orang kaya Indonesia di era digital yang bertalian dengan bisnis? Jawabannya adalah mereka beramai-ramai menciptakan financial technology (fintech) sebagai pundi-pundi baru konglomerasi bisnis.
Djarum Group misalnya, konglomerasi yang dimiliki oleh Hartono bersaudara dengan kekayaan $32,3 miliar, melalui firma penanam modal startup GDP Venture, memiliki produk fintech dengan nama Kaspay.
Lippo Group pun ikut mencoba terjun ke bisnis fintech. Konglomerasi yang digawangi oleh Mochtar Riady ini mengandalkan Ovo, layanan e-wallet yang berada di bawah bendera PT Visionet Internasional. Emtek juga coba peruntungannya. Konglomerasi yang menaungi Indosiar dan SCTV milik Konglomerat Eddy Kusnadi Sariaatmadja ini pada Mei 2017 sukses mengakuisisi Doku, layanan e-wallet yang termasuk paling awal hadir di Indonesia.
Fintech-fintech di Indonesia itu mencoba merebut pasar, yang mengutip Statista, bernilai $21,5 miliar pada 2018. Meskipun terlihat berbeda, tetapi tak bisa dipungkiri mereka sebenarnya memiliki strategi hampir serupa. Strategi itu seperti yang dilakukan Go-Jek yakni membesarkan Go-Pay: Promo dan diskon dalam balutan layanan milik mereka sendiri.
Belajar dari Go-Pay
Go-Jek, startup ride-sharing yang didirikan Nadiem Makarim, meluncurkan program bernama “Ceban Menjelang Ramadhan.” Dengan hanya Rp10.000, pengguna Go-Jek bisa pergi ke manapun. Program tersebut sukses. Saking suksesnya, aplikasi Go-Jek sempat mengalami masalah. Nadiem Makarim, mengatakan masalah terjadi lantaran "saking banyaknya orang memesan". Namun, program itu kemudian menjadikan Go-Jek meledak jadi layanan aplikasi nomor 1 di Jakarta.
Pada program Ceban Ramadhan, tak ada syarat dan ketentuan berarti. Program hanya berlaku jika ride-sharing yang dipesan tak lebih dari 25 kilometer dan bukan dipesan di saat rush hour. Uang kontan, bisa digunakan dalam transaksi promosi ini.
Setelah program Ceban Ramadhan, pada Mei 2016 Go-Jek meluncurkan promosi diskon 50 persen pada layanan ride-sharing. Namun, ada yang berbeda pada program ini. Diskon 50 persen diberikan manakala pengguna memanfaatkan Go-Pay, fintech milik Go-Jek, untuk membayar jasa. Go-Pay merupakan fintech yang langsung terpatri di layanan Go-Jek. Pengguna Go-Pay, sudah pasti merupakan peng-install aplikasi Go-Jek. Begitupun sebaliknya.
Strategi promo Go-Jek sukses. Rohini Mohan, dalam salah satu laporannya di pertengahan tahun 2017 menyebut Go-Jek memperoleh pertumbuhan hingga 900 kali lipat. Pada 20 Desember 2017, Gojek mengungkapkan jumlah transaksi Go-Pay pada Oktober 2017 menyumbang sekitar 30 persen dari total transaksi uang elektronik, atau sebesar 31,34 juta transaksi dari total 104,47 juta transaksi uang elektronik di Indonesia.
Nadiem Makarim, dalam wawancaranya dengan Fanny Potkin, jurnalis Reuters, mengatakan kini Go-Jek memproses lebih dari 100 juta transaksi bagi 20-25 juta pengguna aktif bulanannya. Ia tak merinci seberapa besar volume transaksi menggunakan Go-Pay, tapi angkanya diprediksi besar karena Go-Jek dan Go-Pay merupakan satu kesatuan. Sayangnya, Rindu Ragillia, Public Relation Manager Go-Jek, tak merespons ketika dihubungi.
Go-Jek melebarkan sayap Go-Pay. Pada Mei 2018, memanfaatkan mesin EDC dari Kartuku, startup yang diakuisisi Go-jek pada 2017, Go-Pay dapat digunakan membayar barang/jasa dari merchant-merchant yang bekerjasama dengan Go-Jek, di luar layanan yang ada di aplikasi. Promo pun itu kini kembali dihadirkan, mengutip blog resmi Go-Jek, pembayaran menggunakan Go-Pay akan mendapatkan diskon tertentu, khususnya di merchant yang bekerjasama. Misalnya promo “Buy 1 Get 1” dari jaringan bioskop CGV Blitz setiap hari Sabtu. Cashback hingga 20 persen dan 40 persen di McDonald dan toko buku Gramedia.
Banjir Promo
Strategi diskon yang dilakukan Go-Pay pun dilakukan hampir semua fintech di tanah air. OVO misalnya, pada 25 Juni 2018 mereka meluncurkan program Rp1 bepergian menggunakan ride-sharing Grab. Setelah program Rp1 usai, kini pengguna Grab bisa memperoleh harga khusus manakala mereka menggunakan OVO sebagai alat pembayaran.
Karena merupakan bagian dari Group Lippo, OVO pun memberikan penawaran spesial bagi penggunanya yang berbelanja di merchant-merchant yang berada di mal milik Grup Lippo. Mengutip laman resmi mereka, pengguna OVO bisa memperoleh cashback hingga 30 persen di merchant-merchant yang ada di mal milik Grup Lippo. Ferdyana Lie, Public Relation Specialist OVO, tak memberikan komentar ketika dimintai keterangan soal strategi ini lantaran atasannya, Adrian Suherman, President Director OVO, tengah berada di luar negeri.
Strategi serupa pun dilakukan TCASH. Mereka punya program gratis ongkos kirim berbelanja pesan-antar McDonald ataupun cashback hingga 50 persen bagi perjalanan Bluebird. Karena TCASH merupakan anak usaha Telkomsel, mereka pun menawarkan diskon bagi pembelian pulsa/paket data.
Go-Pay, OVO, hingga TCASH, melakukan strategi serupa. Memberikan diskon, terutama pada barang/jasa “milik” mereka sendiri. Go-Pay dengan berbagai layanan Go-Jek, OVO dengan berbagai merchant yang tergabung di mal milik Grup Lippo, dan TCASH dengan Telkomsel-nya. Setelah dirasa sukses, mereka mulai bekerjasama dengan pihak luar.
Dinda Sarasannisa, Head of Corporate Communication TCASH mengatakan “strategi promo adalah salah satu upaya mendorong masyarakat untuk memilih bertransaksi digital.” Menurutnya kucuran strategi diskon tersebut sukses meningkatkan jumlah pengguna TCASH antara 4 hingga 5 kali lipat dalam setahun terakhir. Saat ini sendiri, jumlah pengguna TCASH ada di angka 25 juta orang.
“Kami melihat strategi ini sebagai investasi bisnis,” kata Dinda kepada Tirto.
Diskon atau promo yang diberikan fintech di Indonesia merupakan bagian dari strategi marketing menggaet pengguna alias user acquisition yang tak murah. Melihat data Statista, ada uang yang harus dikeluarkan sebanyak $6,7 jika suatu aplikasi ingin menambah satu pengguna aplikasi berbasis Android milik mereka. Uber, startup ride-sharing pelopor, adalah contoh yang paling pas melihat bagaimana startup teknologi membakar uang guna menarik pengguna. Sebagaimana dilaporkan Fortune, dalam sembilan tahun Uber telah membakar uang sebanyak $10,7 miliar. Uang sebanyak itu digunakan untuk berpromosi, termasuk memberikan uang ganti kekurangan tarif pada pengemudi Uber.
Bagi investor, kerugian yang dialami startup masih tahap wajar. Bradley Tusk, seorang investor Uber, menyatakan ia tak masalah melihat startup ride sharing masih merugi asalkan tren pertumbuhan bisnisnya baik. Jayna Cooke, kontributor yang menulis tentang investasi startup di Forbes, mengatakan bahwa 90 persen startup didesain tidak aman. Startup harus melalui fase "bakar uang, bakar uang, dan bakar uang" di awal kemunculan. Ini tak terkecuali fintech.
"Jika kita mengeluarkan uang sebesar ini untuk pembangunan dan infrastruktur, kita akan untung [...] Sayangnya, startup teknologi tak bisa melakukan cara tersebut," kata Jayna Cooke, yang juga CEO dari EVENTup, sebuah perusahaan marketplace.
Ragam promo yang diberikan fintech merupakan salah satu cara membangun ekosistem sebagai penopang flatform. Go-Jek dan Go-Pay sudah memulainya dengan membakar uang dan beragam promo untuk menciptakan ketergantungan konsumen. Pada akhirnya, layanan platform digital payment di bawah fintech diharapkan bisa menjadi tumpuan untuk menambah pundi-pundi kekayaan baru di luar bisnis inti mereka.
Editor: Suhendra