Menuju konten utama

Berpacu dengan Target Peningkatan Industri Tekstil Indonesia

Produk dari industri tekstil dan produk tekstil Indonesia diharapkan menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan masuk dalam lima besar negara eksportir tekstil dunia. Target ini pun kemudian mulai dikejar dengan membangun salah satu kawasan industri yakni Kawasan Industri Kendal.

Berpacu dengan Target Peningkatan Industri Tekstil Indonesia
Sejumlah karyawan menyelesaikan proses menjahit di pabrik garmen PT. Eco Smart Garment Indonesia di Sambi, Boyolali, Jawa Tengah. [ANTARA FOTO/ Aloysius Jarot Nugroho]

tirto.id - Sebuah kawasan industri seluas 2.700 hektare sedang dibangun sekitar 21km dari sebelah barat Kota Semarang (ibukota Jawa tengah). Kawasan itu akan dibangun Kota Mode atau Fashion City. Kota Mode tersebut akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Mulai dari pusat bahan baku, perbelanjaan, pameran hingga pusat penelitian dan pengembangan produk tekstil.

Lokasi industri yang dikenal dengan Kawasan Industri Kendal (KIK) ini merupakan kolaborasi strategis antara PT Jababeka Tbk, dengan raksasa investasi Singapura, Temasek Holdings yang tentunya didukung kuat oleh Kementerian Perindustrian Indonesia. Hingga saat ini, sebanyak 12 perusahaan telah masuk di KIK dengan total 20 hektare luas lahan yang sudah terjual. Investor tersebut berasal dari Indonesia, Singapura, Belanda, dan Jepang

Dengan adanya kawasan industri ini, pemerintah berharap akan mendongkrak industri dalam negeri. Pembangunan kawasan industri ini juga untuk meningkatkan pengembangan dan daya saing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.

Pada akhirnya, upaya itu akan meningkatkan nilai ekspor, menjadikan produk dari industri Tanah Air menjadi tuan rumah di dalam negeri dan masuk dalam jajaran lima besar negara eksportir TPT dunia. Itu adalah target yang ingin dicapai dari sektor industri menurut Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Langkah aktif pemerintah pun terlihat dari penetapan industri TPT sebagai salah satu sub-sektor pada industri pengolahan yang dikategorikan sebagai industri strategis dan prioritas nasional. Sehingga, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menginisiasi pemetaan kebijakan yang dinilai potensial dalam mendongkrak ekspor industri TPT nasional.

Berdasarkan catatan Kemenperin, pada Februari 2016, nilai ekspor industri TPT ini naik sebesar 6,81 persen jika dibandingkan periode sebelumnya (month on month). Industri TPT memang dinilai sangat potensial karena didukung oleh aktivitas produksi tekstil yang telah terintegrasi dari hulu sampai hilir, bahkan produknya juga dikenal memiliki kualitas yang baik di pasar internasional.

“Kami akan mendorong industri TPT nasional menghasilkan produk non-woven. Ini bagian strategi diversifikasi produk sekaligus perluasan pemasaran ekspor,” tutur Menteri Airlangga, dikutip dari Antara.

Hingga saat ini, industri TPT telah juga membantu dalam menyerap tenaga kerja sebanyak 3 juta orang dengan nilai investasi mencapai Rp8,45 triliun. Selain itu, kontribusinya cukup signifikan terhadap perolehan devisa negara dengan nilai ekspor mencapai 12,26 miliar dolar AS pada 2015 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 2,28 persen selama lima tahun terakhir ini.

Oleh sebab itu, industri ini dinilai mampu memperluas pasar ekspor ke berbagai negara di dunia. Karena pangsa pasar industri tekstil Indonesia pada 2015 baru 1,5 persen dari pasar TPT dunia. Memiliki selisih sebesar 34,1 persen dengan pemimpin pasar tekstil global yakni Cina yang menguasai hingga 35,6 persen. Namun, setidaknya Indonesia bisa menyaingi Vietnam yang posisinya berada di atas Indonesia yakni menguasai 1,7 persen pasar dunia.

Sedangkan negara tujuan ekspor industri TPT yakni AS yang pada tahun 2014 mencapai $3,75 miliar serta negara-negara Eropa seperti Belanda, Perancis, Jerman, Begia dan Italia. Prospek pertumbuhan industri TPT nasional juga dinilai semakin baik pada masa mendatang karena permintaan pasar di dalam negeri yang terus melonjak serta meningkatnya konsumsi dunia.

Tantangan Industri Tekstil Indonesia

Industri TPT nasional telah terintegrasi dari hulu sampai hilir dan produknya dikenal memiliki kualitas yang baik di pasar internasional serta memiliki peluang pasar yang luas. Namun, hal itu tak serta merta akan memuluskan target yang diharapkan oleh pemerintah. Berbagai tantangan baik yang bersifat internal dan eksternal masih harus dihadapi oleh industri dalam negeri.

Bahan baku memainkan peran penting dalam industri. Perannya yang sangat penting tentunya sangat berpengaruh dalam kinerja industri. Dewan Pembina Yayasan Batik Indonesia (YBI), Doddy Soepardi menilai, 90 persen benang katun untuk bahan baku kain batik, masih diimpor.

“Bahan baku batik terutama benang katun, 90% masih impor dari negara lain. Indonesia, tidak mempunyai benang katun dan harus membeli dari luar negeri,” kata Dewan Pembina Yayasan Batik Indonesia (YBI), Doddy Soepardi, dikutip dari Neraca.

Selain itu, hampir 80% mulai dari zat pewarna, benang, kain sutra, dan lainnya masih impor. Tentunya ini akan melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar, membuat ongkos produksi melonjak ketika dikonversi ke dalam rupiah. Meningkatnya ongkos produksi akan menjadi tantangan besar karena kemudian beban biaya akan menjadi besar.

Biaya produksi yang tinggi tentunya akan berpengaruh pada harga jual. Di sini dilema pun terjadi pada para pedagang produk tekstil. Jika para pedagang menaikan harga jual, tentunya para konsumen akan berpindah pada produk tekstil impor. Ditambah lagi masuknya barang impor ilegal TPT yang terpaut 30 persen tentunya membuat industri dalam negeri harus merugi.

Selain itu, tak tanggung-tanggung, Indonesia juga mengimpor kapas sekitar 99,2 persen dari semua kebutuhan kapas nasional per tahun, dan menjadi salah satu importir kapas terbesar di dunia. Padahal Indonesia membutuhkan setidaknya 700 ribu ton kapas per tahun. "Kita masih impor sekitar 99,2 persenlah untuk bahan katun," ungkap Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI) Kementerian Perindustrian Aryanto, dikutip dari Kemenperin.

Melihat kondisi tersebut, Kemenperin pun berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait menjalin sinergi untuk menetapkan kebijakan khusus dan tepat bagi industri TPT nasional. Sehingga akan memperkuat kemampuan industri TPT dalam sektor harga dan juga dapat bersaing memenuhi permintaan pasar global.

“Terdapat beberapa insentif yang dinilai paling berpotensi mendongkrak nilai ekspor industri TPT, antara lain pembebasan pajak pertambahan nilai bagi bahan baku industri TPT yang berorientasi ekspor dan kebijakan harga gas yang berskala keekonomian,” kata Menteri Airlangga dikutip dari Antara.

Menurut Airlangga, pembebasan pajak pertambahan nilai itu bertujuan untuk membuat produsen tekstil dan pakaian jadi beralih dari bahan baku impor ke bahan baku produksi dalam negeri. Sedangkan, gas dengan harga yang murah, akan dapat mengurangi beban pengusaha dalam pengeluaran biaya energi karena tarif listrik yang cukup mahal.

Penyediaan bahan baku memang menjadi hal vital saat ingin meningkatkan industri dalam negeri. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan pun harus merujuk dalam mendukung ketersediaan bahan baku industri.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI TEKSTIL atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Bisnis
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti