tirto.id - Hasil riset yang dilakukan Policy Research Center mengungkapkan sejumlah fakta menarik. Berdasarkan survei yang mereka lakukan terkait dengan potongan tarif ojek online (ojol) ditemukan fakta bahwa 82,9 persen konsumen menilai potongan ojol di atas 30 persen tidak adil.
Di sisi lain, temuan survei menunjukkan adanya kesadaran etis yang tinggi dari konsumen terhadap keadilan kerja di sektor transportasi online.
Sebanyak 91,8 persen konsumen menyatakan akan memilih platform yang menjamin kerja layak jika tarifnya sama, bahkan 75,2 persen rela membayar lebih mahal demi memastikan penghasilan layak bagi pengemudi. Selain itu, lebih dari 86 persen konsumen merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap kelayakan kerja pengemudi.
“Temuan ini memperlihatkan bahwa konsumen bukan hanya aktor pasif dalam ekonomi digital, tetapi memiliki preferensi normatif yang kuat terhadap nilai keadilan sosial,” kata Peneliti di Policy Research Center (POREC) Arif Novianto dalam rilis riset mereka, dikutip Rabu (16/7/2025).
Riset ini juga menyorot ketimpangan relasi antara mitra dengan platform seperti Gojek dan Grab. Hal ini tercermin dari adanya praktik pengambilan potongan besar yang berjalan seiring dengan munculnya platform ghost earnings atau pendapatan siluman platform.
Ghost earning ini merujuk pada pendapatan tersembunyi platform melalui berbagai biaya tambahan yang tidak secara langsung dijelaskan kepada pengguna maupun pengemudi.
Sebanyak 87,7 persen konsumen menilai adanya biaya tambahan yang diatur sepihak oleh platform telah membuat tarif semakin mahal, dan 98,2 persen menuntut transparansi pembagian pendapatan antara platform dan pengemudi.
Selain itu, 82,9 persen konsumen menilai potongan di atas 30 persen “tidak adil dan sangat tidak adil”, serta 91,9 persen konsumen menyetujui pembatasan potongan maksimal 10 persen tanpa biaya tersembunyi.
“Dari data tersebut, menunjukkan bahwa adanya ketimpangan kuasa dan potongan eksesif telah menciptakan ketidakadilan distributif dan relasional yang merugikan dua aktor sekaligus: pengemudi dan konsumen,” katanya.
Dukungan terhadap intervensi negara juga sangat kuat: 99,1 persen responden menyetujui perlindungan hak dan kelayakan kerja pengemudi, 98,9 persen mendukung adanya perlindungan sosial, dan 83,9 persen mendukung perubahan status pengemudi menjadi pekerja formal.
“Hal ini menunjukkan bahwa konsumen memandang platform bukan sekadar penyedia layanan, melainkan institusi ekonomi yang perlu tunduk pada norma keadilan dan kebijakan pemerintah,” tulis riset yang sama.
Sebagai informasi, riset ini dilakukan dengan metode campuran melalui survei daring terhadap 928 konsumen layanan transportasi online di Indonesia pada Mei 2025, serta wawancara kepada 3 orang konsumen dan 3 orang pengemudi online.
Responden survei dipilih menggunakan teknik purposive sampling dengan cara disebar melalui media sosial dan diiklankan di platform Meta, dengan kriteria pernah menggunakan platform transportasi online, baik layanan pengantaran penumpang, barang, dan makanan.
Survei berisi 38 pertanyaan tertutup dan 2 pertanyaan terbuka, mencakup persepsi terhadap potongan, tarif, kondisi kerja pengemudi, serta preferensi etis konsumen.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































