tirto.id - Alvian lari tunggang-langgang hingga terpisah dari rombongan kampusnya ketika polisi mulai menembakkan gas air mata dan mengejar para demonstran. Belum satu jam setelah azan Magrib, Alvian melihat polisi semakin keras mendesak agar massa bubar dari area Gedung DPR RI, Kamis (22/8/2024).
Alvian yang kuliah di salah kampus di Jakarta tengah menceritakan pengalamannya saat ikut aksi penolakan Revisi UU Pilkada di Gedung DPR. Aksi yang diikuti elemen masyarakat sipil mulai dari mahasiswa, buruh, aktivis, budayawan, dan warga sipil lainnya berakhir menjadi teater horor bagi sebagian peserta.
Ia yang merapat dengan rombongan kampusnya ke area DPR sejak siang, sudah curiga aksi unjuk rasa akan berakhir ricuh. Perasaannya sudah tak enak saat polisi menangkap pedemo yang berhasil masuk area DPR dengan menjebol gerbang.
“Ada yang berhasil masuk pas agak sore, dikejar dan dipukul rotan. Dibawa, ya, diamankan mungkin sama polisi, saya lihat [pedemo] pakai almamater,” kata Alvian kepada Tirto, Jumat (23/8/2024).
Menurut Alvian, eskalasi tindakan pengamanan polisi semakin meningkat ketika hari beranjak gelap. Dia mendengar suara tembakan gas air mata cukup kencang serta bau asap yang begitu sesak langsung memenuhi penciumannya.
Ia terdesak mundur dari sekitaran area depan gerbang DPR saat polisi mengejar massa dengan motor. Alvian melihat ada polisi di motor yang menendang para peserta agar bubar. Tak sedikit pula polisi yang menangkap peserta aksi yang berlari membubarkan diri.
“Saya nggak tahu mereka menangkap karena apa, kenapa nggak semua ditangkap gitu, ini kayak main comot,” ucapnya.
Alvian sempat terpisah saat mengamankan diri menjauh dari area kericuhan. Beruntung, ia dibantu seorang pengendara ojek daring untuk menenangkan diri dan menunggu teman-temannya.
“Pas lari-lari saya ketemu ojol, diamankan ke area dekat stasiun. Sepanjang jalan itu ya kaos, ada juga yang pegang kepalanya saat lari, mungkin bocor atau takut kena batu,” tuturnya.
Demonstrasi di berbagai daerah pada Kamis (22/8/2024) terjadi karena DPR hendak merevisi Undang-Undang Pilkada sehari usai keluar putusan MK soal ambang batas syarat pencalonan oleh partai dalam pemilihan kepala daerah dan usia calon kepala daerah. Sikap DPR mendapat penolakan masyarakat luas karena dinilai melanggengkan politik dinasti dan telah membegal konstitusi.
DPR akhirnya membatalkan pembangkangan putusan MK yang memang bersifat final dan mengikat. Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) bakal menyiapkan revisi Peraturan KPU (PKPU) sesuai dengan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Penuturan Alvian sejalan dengan pantauan reporter Tirto di lokasi demonstrasi. Jelang gelap menyelimuti langit Senayan sore itu, sekitar pukul 18.00 WIB, demonstran mulai berlari-lari kecil sambil membawa bambu ke arah depan gerbang parlemen. Keadaan semakin runyam saat halte DPR menjadi sasaran kekesalan massa.
Salah satu pagar gedung DPR berhasil dirobohkan oleh para demonstran. Di sisi lain, sekelompok massa membakar berbagai benda di jalan tol dalam kota yang sebelumnya sudah diduduki.
Di Jalan Gatot Subroto, juga terjadi aksi bakar-bakar sampah dan benda di jalanan. Sekitar Gedung DPR masih bertahan massa dari elemen mahasiswa dan masyarakat sipil. Saat jam di tangan menunjukkan pukul 19.00 WIB, aparat Brimob dengan sepeda motor dan mobil, mulai mengurai massa dengan menyergap para pedemo.
Massa yang ditekan akhirnya semakin kocar-kacir dengan letupan gas air mata. Setelah itu, massa berbondong-bondong meninggalkan Jalan Gatot Subroto dan jalan tol dalam kota ke arah Jalan Gerbang Pemuda.
Reporter Tirto sempat merasakan pedasnya tembakan gas air mata yang dilontarkan polisi. Aksi pengejaran dan penangkapan massa aksi yang tersisa malam itu terus dilakukan. Banyak rekaman video amatir di media sosial yang menunjukkan pembubaran warga di DPR diwarnai dengan aksi kekerasan dan intimidasi oleh personel polisi.
Aksi demo penolakan Revisi UU Pilkada di Semarang juga berakhir ricuh dan diwarnai tindakan represif aparat kepolisian. Waktu belum menunjukkan pukul 15.00 sore, ribuan massa dari berbagai kampus lari tunggang-langgang usai polisi menembakkan gas air mata di kompleks DPRD Jawa Tengah, Semarang.
Pantauan kontributor Tirto di lokasi, pada pukul 12.00 WIB siang, massa terkonsentrasi di gerbang samping utara kantor dewan tersebut. Massa melempari gedung DPRD dengan berbagai benda dan menjebol gerbang samping gedung.
Polisi merespons dengan pasukan mobil water cannon untuk menghalau. Pihak kepolisian terdengar berulang kali memberikan imbauan melalui pengeras suara. Aksi saling dorong terjadi antara mahasiswa dan polisi hingga akhirnya aparat meningkatkan eskalasi tindakan.
“Water cannon siaga! Water cannon siaga! Maju!” perintah petugas kepolisian sekitar pukul 13.20 WIB.
Polisi menembaki massa dengan gas air mata, diikuti menyemprotkan water cannon hingga massa berlarian.
“Mataku pedes, gak iso melek [mataku pedih, tidak bisa melek],” teriak massa sembari berlari menjauhi titik kericuhan.
Polisi menerjunkan petugas pengurai massa setelahnya. Aparat ini menenteng alat pemukul dan menyisir setiap sudut untuk membubarkan massa. Para demonstran akhirnya benar-benar dipukul mundur oleh polisi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengecam tindakan represif dari polisi di kantor DPRD Jateng. AJI Semarang mencatat tindakan represif aparat menyebabkan 18 orang terluka dan harus dilarikan ke rumah sakit. Rinciannya: 15 korban dibawa ke RS Roemani, 1 ke RS Pandanaran, 1 ke RSUP Kariadi, dan 1 ke RS Telogorejo.
Ketua AJI Semarang, Aris Mulayawan, prihatin atas tindakan represif kepolisian kepada pedemo. Bahkan ada anggota AJI dan pers mahasiswa (persma) turut menjadi korban saat meliput unjuk rasa di Semarang.
“Ada anggota kami dan persma yang menjadi korban pada saat peliputan sehingga harus dirawat ke rumah sakit,” ujar Aris dalam keterangannya, Kamis (22/8/2024).
Aksi demo penolakan Revisi UU Pilkada juga berakhir ricuh di Bandung. Demonstrasi yang diikuti masyarakat sipil dan mahasiswa dari berbagai kampus ini diberi nama "Peringatan Darurat” dan dilangsungkan di DPRD Jawa Barat, Bandung.
Pantauan kontributor Tirto di lokasi, situasi semakin panas sejak pukul 16.00 WIB sore ketika massa mulai membobol gerbang utama gedung DPRD Jabar.
Kawat-kawat berduri yang dipasang aparat untuk penghalang mulai disingkirkan oleh para demonstran. Beberapa baliho yang berada di sekitar gedung pun dirobohkan dan dibakar di dalam area gedung DPRD. Tindakan ini memicu ketegangan antara demonstran dan aparat kepolisian yang berjaga.
Pukul 17.00 WIB, sebagian besar kawat berduri berhasil disingkirkan demonstran, namun sebagian peserta aksi terluka akibat bentrokan. Beruntung, di lokasi aksi sudah ada tenaga medis yang sebagian besar merupakan mahasiswa, dan memberikan pertolongan pertama kepada para korban.
Sekitar pukul 18.00 WIB, polisi menembakkan water cannon ke arah massa. Tindakan polisi ini berlangsung selama lebih dari 10 menit, namun massa tetap bertahan dan berupaya mendekati gerbang DPRD. Setelah itu, gerbang utama gedung DPRD berhasil dijebol oleh demonstran.
Massa merangsek masuk dan bentrok fisik dengan kepolisian. Bentrokan ini mengakibatkan sejumlah demonstran mengalami luka-luka. Meski sudah membuat beberapa massa terluka, polisi tetap menembakan gas air mata saat hari mulai gelap.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tirto, puluhan korban mengalami luka parah di bagian kepala akibat tindakan represif polisi di DPRD Jabar.
Kekerasan dan Intimidasi Berulang
Aksi represif polisi di berbagai tempat aksi demonstrasi penolakan revisi UU Pilkada menjadi lagu lama aparat Bhayangkara yang belum berubah. Polisi masih menggunakan kekerasan hingga tindakan represif untuk mengendalikan demonstrasi.
Jargon “Presisi” untuk mengedepankan Polri yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan di era Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, masih jauh panggang dari api.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai hanya ada satu kata untuk menggambarkan tindakan polisi yang mengawal aksi demonstrasi revisi UU Pilkada: brutal. Pengamanan yang semula kondusif selalu berujung brutal.
Usman menyayangkan pola semacam ini terus terjadi dan dilakukan polisi. Aparat seolah tidak belajar dari sejarah, bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut hak asasi manusia, seperti hak berkumpul dengan damai, hak untuk hidup, hak tidak disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi.
“Mereka (demonstran) bukan kriminal, tapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan jika melanggar hukum pun, tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal,” kata Usman lewat keterangan tertulis kepada Tirto, Jumat (23/8/2023).
Pantauan Amnesty, banyak pedemo ditangkap dan diperlakukan dengan cara yang tidak mencerminkan penegakan hukum profesional. Jika ada peserta yang melakukan perobohan pagar Gedung DPR, misalnya, bukan berarti perilaku brutal aparat diperbolehkan.
Menurut Usman, kekuatan baru boleh dipakai saat polisi melindungi atau menyelamatkan jiwa, baik jiwa peserta aksi maupun petugas. Pada aksi demo di Gedung DPR lalu, kata dia, kekerasan yang dilakukan aparat sangat tidak perlu. Sebab tidak ada jiwa terancam.
“Perilaku aparat yang brutal adalah bukti gagalnya mereka menyadari bahwa siapapun berhak untuk memprotes melalui unjuk rasa. Berhak untuk menggugat, tidak setuju atau beroposisi,” ucap Usman.
Amnesty memantau langsung aksi demonstrasi penolakan revisi UU Pilkada yang berlangsung di sejumlah kota pada Kamis 22 Agustus 2024, seperti di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makassar. Berdasarkan pemantauan tim lapangan Amnesty, kata Usman, aksi ini ditanggapi aparat dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan.
Usman melaporkan, hingga Kamis sore sedikitnya ada sembilan orang yang menjadi korban kekerasan oleh polisi di DPR, termasuk mahasiswa Universitas Paramadina dan UHAMKA. Selain itu, tujuh jurnalis dari berbagai media nasional, di antaranya wartawan Tempo, IDN Times, hingga Narasi, mengalami intimidasi dan tindakan represif polisi.
Kekerasan yang dilakukan polisi bertentangan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Selain itu, dalam Pasal 7 ayat 1 Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas) juga diatur secara jelas bahwa polisi dilarang bersikap arogan, terpancing perilaku massa, hingga tidak melakukan tindakan kekerasan.
“Sudah saatnya Indonesia meninggalkan perilaku kekerasan yang tidak perlu, menghentikan rantai impunitas dengan memproses hukum aparat keamanan yang terlibat secara terbuka, independen, dan seadil-adilnya,” tegas Usman.
Laporan Amnesty soal kekerasan yang menimpa jurnalis saat meliput aksi penolakan revisi UU Pilkada di DPR sejalan dengan temuan LBH Pers. Peneliti LBH Pers, Gema Gita Persada, menyatakan terdapat 7 jurnalis yang mendapatkan kekerasan dari aparat saat meliput aksi di DPR, Kamis (22/8/2024).
“Hingga saat ini, KKJ atau Komite Keselamatan Jurnalis telah mendata terdapat 7 jurnalis yang mengalami kekerasan pada saat meliput aksi demonstrasi di gedung DPR pada 22 Agustus 2024,” kata Gema saat konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta, Jumat (23/8).
Mereka mendapatkan kekerasan berupa pemukulan dari polisi yang sedang berjaga dalam aksi. Gema memastikan, hingga Jumat (23/8) siang, pihaknya belum dapat informasi terkait ada atau tidaknya jurnalis yang ditangkap oleh kepolisian. Ia menilai tindakan represif polisi sebagai bentuk pembungkaman kebebasan pers.
“Yang dilakukan oleh kepolisian akan membungkam apa yang dilakukan oleh pers, sehingga dampak atau implikasi yang lebih besarnya adalah terhambatnya informasi yang transparan dari titik aksi,” ujar Gema.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Advokat LBH Jakarta, Muhammad Fadhil Alfathan, menyebut temuan Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)—kolektif organisasi masyarakat sipil untuk bantuan advokasi peserta aksi—mencatat masih ada 39 massa aksi yang masih ditahan di Polda Metro Jaya hingga Jumat (23/8) siang. Fadhil menuturkan, polisi di Polda Metro Jaya menghalang-halangi mereka saat hendak menemui massa yang ditangkap.
“Kami diadang, dihalang-halangi, diteriaki, dan diberikan argumentasi yang bagi kami tidak logis dan tidak memiliki dasar hukum,” kata Fadhil.
Polisi, kata Fadhil, berdalih dengan menyatakan tidak ada surat kuasa dan belum mendapat perintah atasan untuk memperbolehkan TAUD mengadvokasi massa. Padahal, surat kuasa lisan sebagai hubungan keperdataan sudah memiliki kekuatan hukum.
“Sudah memiliki kekuatan hukum dan memberikan nyawa kepada kami sebagai advokat atau sebagai pemberi bantuan hukum untuk melakukan pendampingan hukum,” tutur Fadhil.
Tak hanya ditangkap, peserta aksi di di DPR ada yang dikeroyok polisi. Kepala Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus, mengatakan pihaknya sudah menerima laporan terdapat massa aksi yang dipukuli oleh 15 anggota polisi yang berjaga dalam aksi.
Andrie mengatakan, korban dipaksa polisi untuk mengaku menjadi pelaku pelemparan batu ke gedung DPR dan merusak pagar. Padahal, korban tidak melakukan perbuatan tersebut.
“Dipukul, ditendang, sambil dipaksa untuk mengakui bahwa korban melakukan pelemparan batu dan korban melakukan perobohan terhadap pagar gedung DPR,” kata Andrie.
Komnas HAM mencatat hingga Jumat (23/8) pagi, setidaknya terdapat 159 peserta aksi yang ditangkap dan ditahan di Polda Metro Jaya. Pengunjuk rasa yang ditangkap terdiri atas beberapa kalangan, mulai mahasiswa, buruh dan, aktivis. Komnas HAM juga mengatakan ada tindakan kekerasan yang dilakukan polisi saat mengamankan aksi di DPR, Kamis (22/8).
“Komnas HAM menyesalkan cara pembubaran aksi unjuk rasa 22 Agustus 2024 oleh aparat penegak hukum menggunakan gas air mata dan pemukulan ke beberapa peserta aksi,” kata Komisioner Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, saat dikonfirmasi Tirto.
Sementara itu, Ombudsman RI menilai tindakan polisi ketika membubarkan massa aksi di DPR, sudah menyalahi SOP dan peraturan perundang-undangan. Hal ini disampaikan oleh anggota Ombudsman, Johanes Widijantoro, di Kantor Ombudsman RI, Jumat (23/8).
Tindakan polisi yang membubarkan massa dengan pengejaran, penangkapan, kekerasan, pengeroyokan, dan intimidasi terhadap demonstran serta jurnalis, bertentangan dengan UU Negara Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
“[Melanggar] Pasal 28 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum, yang intinya Kepolisian dalam melakukan tindakan upaya paksa harus menghindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif,” ujar Johanes.
Respons Kepolisian
Polda Metro Jaya membenarkan sudah menangkap 301 peserta aksi di DPR. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, merinci bahwa terdapat 50 orang yang ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya. Kemudian, di Polres Metro Jakarta Timur 143 orang, Polres Jakarta Pusat 3 orang, dan Polres Metro Jakarta Barat 105 orang.
“Tiga orang yang di Polres Metro Jakarta Pusat adalah yang melakukan pembakaran terhadap mobil patroli milik anggota,” kata dia kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jumat (23/8).
Mereka, kata Ade, ditangkap karena diduga telah mengganggu ketertiban umum dengan perusakan hingga menyerang petugas. Ada pula yang tidak mengindahkan teguran tiga kali dari anggota.
“Ada juga yang diduga melakukan kekerasan terhadap petugas,” ucap Ade Ary.
Menurutnya, pada Jumat (23/8) sore, sejumlah pedemo sudah ada yang dipulangkan. Ada 7 dari 50 orang di Polda sudah dipulangkan, yakni terdiri dari 6 anak dan satu wanita.
Selain itu, sebanyak 43 pedemo masih diperiksa di Polda Metro Jaya. Sedangkan pedemo di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat masih seluruhnya dilakukan pemeriksaan. Ade juga berjanji akan lalukan pendalaman dan evaluasi atas dugaan kekerasan yang dilakukan anggota polisi di DPR.
“Bapak Kapolda Metro Jaya menyampaikan semuanya akan dilakukan penanganan sesuai SOP dan berdasarkan fakta yang akan dikumpulkan nanti. Nanti akan kami dalami semuanya ya,” tutur Ade.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi