tirto.id - Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tadi pagi hendak mengesahkan Revisi UU Pillkada dan mengabaikan putusan MK dalam rapat paripurna yang dijadwalkan digelar hari ini, Kamis, 22 Agustus 2024.
Revisi UU Pilkada mengandung pasal yang akan menganulir putusan MK soal syarat pencalonan kepala daerah. Langkah ini sontak menuai amarah masyarakat karena terdapat celah untuk meloloskan Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi.
Di tengah upaya DPR untuk mempercepat pengesahan Revisi UU Pilkada, gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat, khususnya mahasiswa, tak terhindarkan.
Mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia, termasuk di wilayah Jawa Barat, turun ke jalan untuk menentang langkah DPR.
Di Bandung, pada Kamis sore, ratusan mahasiswa yang berasal dari berbagai kampus, seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Pasundan (Unpas), Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), dan sejumlah kampus lainnya, berkumpul di luar gerbang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat.
Mereka menggelar aksi yang diberi nama "Peringatan Darurat" sebagai bentuk penolakan terhadap Revisi UU Pilkada.
Suasana di sekitar gedung DPRD Jabar mulai memanas sejak pukul 16.00 WIB ketika massa aksi mulai membobol gerbang utama gedung tersebut. Kawat-kawat berduri yang dipasang sebagai penghalang di depan gedung mulai disingkirkan oleh para demonstran.
Beberapa baliho yang berada di sekitar gedung pun dirobohkan dan dibakar di dalam area gedung DPRD. Tindakan ini memicu ketegangan antara demonstran dan aparat keamanan yang berjaga.
Pukul 17.00 WIB, sebagian besar kawat berduri sudah berhasil disingkirkan oleh demonstran. Meski demikian, sejumlah demonstran terluka akibat bentrokan. Beruntung, di lokasi aksi sudah ada tenaga medis yang sebagian besar merupakan mahasiswa, siap memberikan pertolongan pertama kepada para korban.
Sementara itu, aparat kepolisian yang telah bersiap dengan segala perlengkapan, termasuk baju pelindung dan perisai, mulai mengambil tindakan untuk menghalau massa aksi.
Sekitar pukul 18.00 WIB, polisi mulai menembakkan water cannon ke arah massa untuk membubarkan aksi. Tindakan ini berlangsung selama lebih dari 10 menit, namun sebagian massa tetap bertahan dan terus berupaya mendekati gerbang DPRD.
"Saat water cannon ditembakkan, banyak massa yang berhamburan menjauh, tapi ada juga yang tetap maju mendekati gerbang," ungkap Alfi, mahasiswa dari Universitas Pasundan yang turut serta dalam aksi tersebut.
Sekitar pukul 18.11 WIB, gerbang utama gedung DPRD akhirnya berhasil dijebol oleh demonstran. Massa langsung merangsek masuk dan terjadi bentrokan fisik dengan aparat kepolisian. Bentrokan ini mengakibatkan sejumlah demonstran terluka.
Kondisi semakin memanas ketika pada pukul 18.30 WIB, aparat kepolisian mulai menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa yang masih bertahan.
Helni, mahasiswi dari Universitas Pendidikan Indonesia, yang saat itu berada di dekat Gedung Sate, mengungkapkan bahwa dirinya terkena gas air mata yang ditembakkan oleh polisi.
"Kami terkejut ketika polisi tiba-tiba menembakkan gas air mata. Rasanya sesak di dada dan tenggorokan seperti terbakar," ujarnya.
Ia mengecam tindakan represif aparat yang menurutnya tidak belajar dari Tragedi Kanjuruhan yang merenggut ratusan nyawa.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tirto, tiga ambulans dari Forum Komunikasi Kader Konservasi (FK3I), Yayasan Sahabat Teduh, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) telah berada di lokasi untuk memberikan pertolongan kepada korban. Tercatat, setidaknya ada 15 orang yang mengalami luka parah di bagian kepala.
Hingga pukul 18.50 WIB, sebagian besar demonstran sudah mulai mundur, meskipun masih ada sebagian yang bertahan dan terus berhadapan dengan aparat.
Namun, pada pukul 19.00 WIB, polisi berhasil mengosongkan area di sekitar gedung DPRD Jawa Barat, sehingga tidak ada lagi demonstran yang tersisa di depan gerbang.
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Irfan Teguh Pribadi