tirto.id - Unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada yang dilakukan mahasiswa dari sejumlah universitas di Jawa Barat di Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Kamis (22/8/2024) mulai ricuh.
Pantauan Tirto, pukul 14.50 WIB massa aksi makin banyak dan tak hanya dari elemen mahasiswa saja. Suasana pun memanas dengan massa aksi melemparkan batu dan botol ke arah dalam Gedung DPRD Jawa Barat yang berlokasi di Jalan Diponegoro, tak jauh dari Gedung Sate.
Awalnya massa aksi unjuk rasa dipenuhi mahasiswa dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Padjajaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Pasundan (Unpas), Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) dalam aksi yang diberi tajuk "Peringatan Darurat."
Ada pula para demonstran mengenakan serba hitam dan membawa spanduk serta poster yang mengkritik kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sultan, seorang mahasiswa UPI yang bertugas sebagai tenaga medis selama aksi berlangsung, mengungkapkan kekecewaannya terhadap tindakan DPR dan pemerintahan Presiden Jokowi yang menurutnya bersikap otoriter dan mengancam keberlangsungan demokrasi.
"Saya kira, sebagai mahasiswa, kita harus mengambil sikap menolak dan melawan keputusan apapun yang pada akhirnya hanya akan menyengsarakan kita semua," ujar Sultan saat ditemui di sela-sela aksi.
Sultan menambahkan bahwa tidak ada peserta aksi yang memerlukan perawatan medis serius, hanya beberapa yang mengalami pusing dan pegal-pegal.
"Sampai sekarang hanya ada yang merasa pusing dan pegal-pegal. Saya juga membagikan kebutuhan medis kepada peserta lainnya untuk saling membantu," jelasnya.
Para mahasiswa yang berkumpul sempat membentuk lingkaran dan satu per satu menyampaikan orasi dengan seruan-seruan perlawanan.
"Jangan Diam, Lawan!" seru para demonstran.
Rahma Husna, seorang mahasiswi yang juga Koordinator Sahabat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, mengecam tindakan DPR yang dianggapnya secara terang-terangan melanggar konstitusi dan memicu kemarahan publik.
"Kami turun ke jalan hari ini sebagai bentuk perlawanan untuk merebut kembali kedaulatan yang telah dirampas oleh pemerintah yang sewenang-wenang," tegasnya.
Ia juga berpendapat bahwa DPR ada karena dukungan rakyat. Tanpa dukungan rakyat, DPR tidak berarti apa-apa, dan perjuangan untuk kedaulatan rakyat akan terus berlanjut.
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 20 Agustus 2024, telah menetapkan bahwa ambang batas Pilkada akan didasarkan pada perolehan suara sah partai politik atau koalisi partai yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di setiap daerah. MK menetapkan empat kategori ambang batas suara sah: 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen, dan 6,5 persen, tergantung pada jumlah DPT di daerah tersebut, sebagaimana diatur dalam putusan MK 60/PUU-XXII/2024.
Dalam putusan lainnya, yaitu 70/PUU-XXII/2024, MK juga menetapkan batas usia minimal calon kepala daerah adalah 30 tahun pada saat penetapan calon oleh KPU.
Namun, sehari setelah keputusan MK ini, pada Rabu, 21 Agustus 2024, Baleg DPR mengadakan rapat untuk membahas RUU Pilkada. Dalam rapat tersebut, Baleg tetap memutuskan untuk mempertahankan ambang batas 20 persen kursi di parlemen bagi partai politik yang ingin mengajukan calon dalam pemilihan kepala daerah.
Selain itu, Baleg DPR juga menolak putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait syarat usia calon kepala daerah. Baleg menetapkan usia minimal calon adalah 30 tahun untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, serta 25 tahun untuk Bupati dan Wakil Bupati atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, dihitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Bayu Septianto