Menuju konten utama

Refleksi Pemilu Serentak 2019 dan Kisah Mereka yang Ditinggalkan

Duta, Yuli, dan Nur, mereka yang ditinggalkan orang terkasih usai gelaran Pemilu 2019 tetap berharap pemilu ke depan diselenggarakan lebih baik.

Refleksi Pemilu Serentak 2019 dan Kisah Mereka yang Ditinggalkan
Ilustrasi Pemilu. foto/IStockphoto

tirto.id - Pada 2019, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) TPS 19 Kelurahan Pacarkeling, Surabaya bernama Tommy Heru Siswantoro meninggal. Dia menyisakan seorang anak laki-laki.

Lalu pada 2021, Maria Magdalena juga kehilangan nyawa. Keduanya adalah suami-istri. Hanya dalam lima tahun, Arnoldus Janssen Joemantoro Duta Pratama harus menerima kenyataan pahit, dia hidup tanpa dampingan orang tuanya.

Pada Pemilu 2019 lalu, Duta ingat ayahnya begitu sibuk untuk mempersiapkan pemilu serentak dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebanyak lima kotak suara harus dihitung dan disiapkan, terdiri dari pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, ada pula Pemilu Presiden (Pilpres) dan Wakil Presiden.

Di tengah kesibukan itu, Duta tahu ayahnya sulit sekali untuk mencari waktu untuk mengisi perut. Jelang hari pemilu serentak waktu itu, Tommy kerja dari pagi hingga malam. Perutnya hanya diisi kopi dan asap rokok untuk menjaga fokus dan mata tetap terjaga.

Malam hari 17 April 2019, Tommy tidak pulang ke rumah. Proses pemilu yang panjang membuatnya baru bisa menemui keluarga pada keesokan harinya, 18 April 2019. Sekilas kondisinya biasa saja, tapi setelah mandi, dia mengeluh kehabisan nafas. Karena tidak punya penyakit bawaan, keluarga tidak khawatir berlebihan.

Pada 23 April 2019, Duta masih sempat mengobrol dengan bapaknya. Dia tidak ingat perbincangan macam apa yang dia simpul dengan bapaknya malam itu. Bagi Duta, perbincangan itu terlampau biasa. Tak heran, malam itu dia tidur pulas, lelap. Dia tidak tahu sekitar pukul 3 atau 4 pagi, bapaknya mengeluh sakit dan minta dibawa ke rumah sakit.

“Malam itu masih nonton TV sambil tiduran. Biasa saja,” kata Duta kepada Tirto, Jumat (21/7/2023) ketika ditemui.

Pada 24 April pagi sekitar pukul 06.30, Duta mendapat kabar bahwa bapaknya telah tiada. Dia segera menuju rumah sakit dengan perasaan kaget dan tidak percaya, memacu motor sekencang-kencangnya. Seketika dia melihat jasad bapak di rumah sakit, air matanya langsung tak terbendung.

“Kecapekan dan katanya habis pemilu itu kemasukan kopi dan rokok terus. Katanya ada pembengkakan jantung,” kata Duta mengingat penjelasan dokter soal kematian bapaknya.

Tommy bukanlah satu-satunya korban yang dilabeli oleh pemerintah sebagai “pahlawan demokrasi” pada 2019. Setidaknya ada 894 petugas yang terlibat dalam proses pemilu meninggal dunia. Parahnya lagi, kebanyakan dari mereka meninggal beberapa waktu pasca gelaran lima tahunan tersebut berlangsung.

Menurut penuturan Duta, ayahnya tidak punya banyak pilihan. Kondisi ekonomi keluarga yang memburuk dan sulitnya mencari pekerjaan bikin ayahnya harus bekerja serabutan. Menjadi petugas pemilu termasuk salah satunya. Petugas pemilu paling kecil mendapat uang Rp400 ribu dan yang paling besar adalah Rp1,85 juta. Meskipun besarannya tentu jauh dari UMR, tapi setidaknya ada pemasukan yang didapat.

Sepeninggal suami, Maria, ibu Duta benar-benar menjadi tulang punggung keluarga satu-satunya. Namun, pada 2020, pandemi akhirnya membawa petaka, Maria divonis terpapar virus COVID-19, kendati menurut Duta, ibunya sehat-sehat saja dan tidak ada hasil tes PCR/Swab yang membuktikan sebaliknya.

Setelahnya, Maria akhirnya memilih pulang kampung ke Kediri. Di sana ia berdagang makanan bersama orangtuanya dan mengirim uang tiap bulan ke Duta yang tinggal bersama tantenya di Surabaya.

Pada 2021, Duta mengunjungi ibunya di Kediri. Namun tak berapa lama, ibunya harus pergi ke Surabaya untuk menyelesaikan beberapa urusan. Maria akhirnya berkendara sendirian, mengendarai motor sejauh lebih dari 120 kilometer ke Surabaya. Namun di tengah perjalanan, ia mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat.

Meski di tengah kepedihan kehilangan orangtua, Duta tidak menyalahkan ayahnya yang bekerja keras demi pemilu. Justru jika ada pemilu serentak lagi pada 2024, Duta ingin menjadi petugas KPPS. Duta tidak mengejar predikat pahlawan demokrasi, tapi bagi dia, pemilu telah merenggut nyawa ayahnya. Dia ingin tahu bagaimana bisa bapak mendedikasikan dirinya untuk pemilu.

“Pengen tahu aja, bapak dulu kok bisa seteliti itu,” katanya. “Sampai sekarang masih suka kangen bapak. Kalau lagi berat, teringat Bapak pasti nangis.”

Tidak Setimpal

Di hari yang sama, 24 April 2019, berjarak lebih dari 250 kilometer jauhnya, Sapto Nugroho Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah mengembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 00.00 setelah menjalani perawatan selama seminggu di rumah sakit.

Yuli Ambarwati, istri Sapto mengenang suaminya memang bekerja terlampau giat. Namun, dia tidak punya banyak pilihan. Di usianya yang sudah 59 tahun dan punya pengalaman menjadi petugas di pemilu-pemilu sebelumnya, dia jadi andalan desa untuk ikut dalam pemilu.

“Saya cuma bisa doakan saja itu. Namanya tugas dan kewajiban,” kata Yuli membatin ketika mengingatkan suaminya untuk beristirahat.

Pagi 18 April 2019 setelah pemilu, Sapto sudah lemas dan hampir tak sadarkan diri. Subuh hari, Yuli langsung memanggil tetangganya untuk segera membantu suaminya dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit, bukannya sembuh, dokter malah memberikan kabar buruk bahwa ada penyempitan darah di otak Sapto. Seminggu kemudian, nyawanya tak lagi bisa tertolong.

Yuli mengaku hidupnya lebih berat setelah ditinggal suaminya. Sapto adalah sosok kepala keluarga yang rajin dan memang menjadi tulang punggung keluarga. Biasanya pagi-pagi dia akan membantu Yuli untuk membersihkan rumah. Dia juga yang mencarikan nafkah untuk keluarga dan Yuli bisa fokus penuh menjadi ibu rumah tangga.

Namun setelah Sapto tiada, rumah menjadi tidak terurus, perekonomian Yuli juga tidak stabil karena tidak punya pekerjaan tetap.

“Kadang menjahit, kadang ikut apa. Ya seadanya saja,” ucap Yuli.

Sama seperti Duta, Yuli tidak bisa menyalahkan negara kendati suaminya akhirnya meninggal karena kelelahan setelah pemilu. Namun, dia ingin agar sebaiknya pemilu serentak tidak lagi jadi pilihan.

Penyelenggaraan Pemilu 2019 yang menyeret ratusan korban petugas TPS seperti Sapto seharusnya tidak boleh terulang lagi pada Pemilu 2024 nanti. Yuli juga merasa kecewa, apalagi jika hasil pemilu nantinya tidak memberikan perubahan yang baik seperti apa yang para korban perjuangkan. Bagi Yuli, hasil pemilu lampau tidak berhasil memenuhi ekspektasinya.

“Kita lihat saja dari kinerjanya,” katanya. “Sulit. Tapi kayaknya nggak [sesuai ekspektasi].”

Yuli menuturkan, Bupati Karanganyar sempat berkunjung dan memberikan santunan sekitar Rp10 juta dan dari perangkat desa ataupun KPU memberikan santunan sekitar Rp36 juta. Ditambah dengan hasil kerja Sapto sebagai Ketua PPK sebesar Rp1,85 juta, Yuli dan anaknya mendapat setidaknya Rp47,85 juta.

“Itu sudah habis untuk biaya sehari-hari,” lanjutnya.

Pada akhirnya, uang itu, bagaimana pun besarnya, tak bisa menggantikan Sapto dalam kehidupan Yuli.

Penghargaan yang Diam

Rumah Syaiful Arief tampak sesak meski hanya didiami oleh lima orang: istrinya, anak ketiganya, menantunya, dan dua cucunya. Anak kedua tinggal di luar kota, sedang anak pertama meninggal sekitar Juni 2023.

“Nyusul Bapak,” kata anak ketiga, Nurhalifah kepada Tirto sambil tersenyum kecil, wajahnya muram.

Ayah Nur, Syaiful adalah Ketua KPPS di TPS 40 Kelurahan Gundih, Surabaya meninggal sekitar sebulan setelah pemilihan umum serentak 2019. Di tembok rumah yang diisi foto-foto keluarga, tergantung dua piagam penghargaan untuk Syaiful. Satu diberikan oleh Wali Kota Surabaya saat itu Tri Rismaharini dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Keduanya sama-sama memberikan santunan sekiranya Rp5 juta. Dengan santunan sejumlah itu, untuk membayar kontrakan toko kayu milik almarhum Syaiful sebesar Rp20 juta setahun pun tidak cukup.

Nurhalifah sempat berusaha mengeklaim asuransi kesehatan ayahnya yang didaftarkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi tidak dikabulkan. Bagaimanapun, dia membutuhkan uang untuk perawatan keluarga, apalagi sebelumnya Syaiful masih aktif bekerja dan sang ibu sakit-sakitan.

“Tapi ditolak dengan alasan Bapak meninggal sudah di luar jabatan, di luar masa tugas,” kenang Nurhalifah. “Banyak yang bilang sebenarnya itu bisa diurus, tapi saya malu, mas. Itu orang meninggal soalnya.”

Sejak awal, Nurhalifah memang sempat melarang ayahnya untuk terus aktif dalam kegiatan pemilu. Umurnya sudah menyentuh angka 60 tahun. Namun karena Syaiful pada pemilu sebelumnya sehat belaka, maka Nurhalifah tak punya banyak alasan untuk tetap ngotot melarang bapaknya.

“Tapi, kalau andai saya tahu kemarin [bakal kelelahan begini], sudah saya larang lebih keras,” katanya lagi.

Nurhalifah, sama seperti anggota keluarga lain yang ditinggalkan selepas Pemilu 2019 lalu, enggan menyalahkan KPU, Bawaslu, dan pemerintah. Hanya saja, Nurhalifah minta penyelenggara pemilu untuk menyiapkan pemilu dengan lebih baik lagi. Entah dengan pembatasan umur petugas atau pemilu yang dilakukan secara terpisah, tidak lagi serentak dengan alasan menghemat waktu dan biaya.

Sekarang bagi Nur, pemilu adalah sebuah kenangan pahit, apalagi pemilu serentak yang menghasilkan banyak wakil-wakil rakyat.

“Karena kita sudah ada pengalaman pahit juga, dan bapakku yang jadi korban,” ujarnya, sekali lagi, sambil tertawa getir.

Banyaknya korban ini tidak urung membuat KPU tetap menggelar pemilu presiden 2024 dengan alasan ”amanat konstitusi.” Mereka percaya diri pemilu tahun ini akan berjalan lebih baik tanpa adanya korban dan menyisakan orang-orang seperti Duta, Yuli, dan Nur.

Penyelenggaraan pemilu pada Rabu, 14 Februari 2024 ke depan diharapkan tidak akan terulang seperti pelaksanaan Pemilu 2019 hingga menimbulkan korban jiwa. Tercatat 894 petugas tempat pemungutan suara (TPS) meninggal dunia dan 5.175 orang mengalami sakit.

Bahkan, terkait dengan beban kerja petugas TPS Pemilu 2024, KPU telah melakukan pembaruan untuk menyiasati beratnya beban kerja anggota KPPS saat bertugas melakukan penghitungan surat suara pemilu dan meningkatkan kualitas penghitungan suara itu sendiri.

Pembaruan terkait dengan syarat menjadi anggota KPPS, baik dari segi umur maupun kondisi kesehatan. Pembaruan lainnya seperti model formulir, format formulir, kemudian salin menyalin formulir dari yang ukuran plano ke kuarto, dan penggandaan salinan. Bahkan ada usulan digitalisasi penyalinan hasil pemilu di TPS, tidak lagi manual.

“Tidak ada namanya bloody pemilu,” kata Komisioner KPU Idham Kholik kepada Tirto.

“Dalam pandangan pesimistis, sesuatu yang mudah akan dipandang sebagai sesuatu yang rumit. Kita harus memiliki pandangan optimistis terhadap proses demokrasi.”

-----

Tulisan ini merupakan hasil Fellowship Excel Awards bertajuk “Encouraging Free and Fair Election” bekerja sama dengan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN).

Baca juga artikel terkait PEMILU atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri