Menuju konten utama

Ratusan Petugas KPPS Meninggal: Tragedi, Bukan 'Pahlawan Demokrasi'

Menulis tangan ratusan formulir, meneken ratusan berkas, meladeni kemarahan calon pemilih: petugas KPPS dituntut bekerja cuma dalam sehari.

Ratusan Petugas KPPS Meninggal: Tragedi, Bukan 'Pahlawan Demokrasi'
Ilustrasi Evaluasi Pemilu 2019. tirto.id/Lugas

tirto.id - Teuku Parvinanda bisa berbagi pengalamannya sebagai petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara pada Pemilu kemarin.

Sejak pukul 5 pagi, ia telah berjaga di TPS 014 Kelurahan Cideng, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat. Ia gugup. Hari itu hari besar bagi rakyat Indonesia. Mengingat iklim politik tanah air yang bikin gerah dalam beberapa tahun terakhir dan makin panas jelang pencoblosan, Teuku mewanti-wanti diri agar tak melakukan kesalahan sedikit pun.

Beberapa hari sebelumnya, ia cukup kelelahan mengisi formulir undangan C6 untuk 275 daftar pemilih tetap (DPT). Bersama enam rekannya, ia juga harus mencocokkan nomor kartu keluarga dengan nama yang bersangkutan.

“Itu identifikasi awal saat di TPS. Kalau tidak cocok, calon pemilih terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya,” kata Teuku.

Ia tak bisa mencicil pekerjaan itu jauh-jauh hari karena formulir C6 baru sampai ke tangannya pada Jumat siang. Begitu datang, ia dan rekan-rekannya segera mengisinya. Usai memastikan data itu ditulis dengan benar, ia dan petugas KPPS lain membagikan formulir C6 sebagai surat undangan mencoblos ke setiap rumah.

Teuku kebagian 85 rumah. Ditemani istrinya, ia mengetuk satu per satu pintu rumah pada Sabtu, 13 April, untuk memastikan undangan itu diterima calon pemilih. Untuk mendistribusikan seluruh formulir C6, ia menghabiskan satu setengah hari.

Musababnya, Teuku kerap kali diabaikan oleh pemilik rumah lantaran dianggap peminta sumbangan. Kadang ia harus beradu argumen lebih dulu hanya untuk meyakinkan ia adalah petugas KPPS.

“Pernah ada asisten rumah tangga salah satu pemilik rumah yang hanya melongok dari jendela lantai dua,” cerita Teuku. Dari 85 rumah itu, hanya satu rumah yang mengizinkannya masuk hingga ke ruang tamu.

Beres membagikan formulir C6, pekerjaan Teuku dan rekan-rekannya masih menumpuk. Mereka harus memastikan tidak ada yang salah input data, dan jika pun ada, timnya harus membereskan itu dalam dua hari terakhir jelang hari pemungutan suara.

Selain itu, mereka harus mendirikan TPS seperti menyewa tenda, membuat bilik suara, menyiapkan konsumsi dan logistik lain. Lima kotak suara dan kertas suara baru bisa diambil pada pagi hari dari rumah Kepala RW. Mekanisme ini sesuai prosedur KPU untuk mencegah kecurangan, misalnya surat suara tercoblos duluan.

Pencoblosan

Pukul 7 pagi, sesuai aturan KPU, saat semua petugas KPPS, saksi, hingga calon pemilih hadir, TPS pun dibuka.

Setelahnya, petugas KPPS membuka kotak suara satu per satu, menghitung ulang jumlah keseluruhan surat suara di depan para saksi, demi memastikan tak ada yang kurang atau lebih dari PPS di tingkat Kelurahan.

“Itu yang enggak banyak masyarakat tahu. Dikira datang jam 7 langsung bisa nyoblos," kata Teuku. "Saya paham psikologis masyarakat, ‘Kok gue harus di sini?’ Tapi, di situlah transparansinya."

"Alhamdulillah di TPS saya cocok, masing-masing 281 surat suara. Kebayang kalau prosedur tadi di-skip. Tiba-tiba ada yang kurang pada saat pencoblosan, bagaimana?”

Berikutnya adalah pencoblosan. Teuku harus meneken tiap surat suara yang diberikan kepada calon pemilih dan memastikan dalam kondisi baik. Mekanisme macam ini memakan waktu. Hingga pukul 11 siang, antreannya baru 85 orang. Teuku ketar-ketir.

Ia didatangi seorang calon pemilih, seorang ibu yang bertugas di TPS lain, dan disarankan agar sedikit mengabaikan prosedur KPU seperti halnya TPS tempat si ibu itu bertugas. Ibu itu berkata membuka satu demi satu surat suara bisa "buang-buang waktu".

Meski gamang, Teuku akhirnya mengikuti saran si ibu. Pemungutan suara di tempatnya bisa berlarut-larut dan ia bersama rekannya harus menghadapi kegusaran warga yang mulai tak sabaran.

“Itu risiko yang besar sekali. Bayangkan, jika ada surat suara yang rusak, bagaimana pertanggungjawabannya? Untung di tempat saya semuanya masih dalam kondisi baik,” cerita Teuku.

Pemungutan suara di TPS 014 rampung pada pukul 13.30. Teuku adalah orang terakhir yang mencoblos. Beberapa anggota KPPS memiliki hak suara di TPS lain. Untuk itu, Teuku berinisiatif, mereka mencoblos dengan cara bergantian, sementara ia tetap menjadi pundak tanggung jawab di TPS itu.

Penghitungan Suara

Rekan-rekannya mengambil jeda sekitar 40 menit. Pekerjaan ruwet lain sudah menanti, yakni perhitungan suara. Kotak suara pertama yang dibuka adalah kotak pilpres. Masuk ke kotak kedua, pekerjaan mulai lebih berat karena banyak suara calon yang harus direkapitulasi.

Hasil perhitungan suara itu diproyeksikan ke dalam formulir C1, kertas besar yang ditempel saat perhitungan suara. “Melihatnya saja sudah bikin mata sakit. Kalau Pilpres gampanglah, ya. Tapi kalau sudah DPR, DPRD, DPD yang banyak calonnya itu, harus teliti,” jelas pria berusia 37 tahun itu.

Proses perhitungan suara itu akhirnya selesai sekitar pukul 10 malam. Setelahnya, petugas KPPS harus mengisi sejumlah berkas berita acara.

“Waktu lihat berkasnya, naudzubillah, setebal ini,” kata Teuku sembari merenggangkan ibu jari dan telunjuknya selebar telunjuk orang dewasa. “Dan itu tidak disosialisasikan pada saat pelatihan. Di buku panduan pun tidak ada."

Akhirnya, berbekal logika dan judul sampul, tim Teuku mengisi salinan berita acara tersebut.

Untuk Pilpres, ada tujuh rangkap yang harus ditandatangani seluruh anggota KPPS. Belum lagi menyalin C1 ke dalam salinan tersebut. Ditambah berita acara untuk DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD; masing-masing lebih dari tujuh rangkap.

“Hari itu kami tanda tangan mungkin ratusan kali. Tanda tangan di plano, surat suara, di berkas-berkas berita acara yang enggak habis-habis itu,” ujarnya.

Saya mencoba membandingkannya dengan pengumpulan data Sensus Penduduk 2010. Tiap petugas biasanya bertanggungjawab untuk 50 KK. Tampak sederhana tapi praktiknya melelahkan: Petugas mendatangi tiap KK untuk memverifikasi data yang sudah dipegangnya lalu mencocokkan atau memperbaruinya. Beres dari situ, data tersebut diinput ke dalam formulir dengan huruf kapital tulisan tangan.

Ada lebih dari 50 pertanyaan dalam formulir itu dan harus diajukan ke masing-masing anggota keluarga. Setelahnya, petugas merekapitulasi data yang masuk dan semuanya dikerjakan selama 30 hari.

Nah, bayangkan, jika kerepotan yang hampir sama harus dilakukan dalam 1 hari seperti yang terjadi pada Pemilu Serentak 2019.

144 Orang Meninggal akibat 'Pemilu Paling Kompleks Sedunia'

Media-media menyebut Pemilu 2019 adalah pemilihan paling kompleks sedunia yang dituntut beres dalam sehari. Buntutnya ternyata gagal diantisipasi KPU.

Hingga Rabu, 24 April pukul 3 sore kemarin, KPU menyebut ada 144 petugas KPPS yang meninggal dan 883 orang sakit akibat kelelahan menjalani tugas di TPS.

Paling banyak di Jawa Barat, 38 petugas KPPS meninggal. Sementara ada 191 petugas pemilu yang sakit hanya di Sulawesi Selatan setelah mereka menjalani tugasnya.

Sampai pekan ini, seminggu setelah Pemilu serentak, masih ada kabar petugas KPPS meninggal dunia.

Selasa pekan ini, Sudirdjo, 66 tahun, meninggal setelah mengalami sesak napas. Seorang rekannya meyakini Sudirdjo mengalami sesak napas akibat kelelahan usai menjalankan tugas di TPS 126 di Kelurahan Arenjaya, Kota Bekasi. Malam sebelum pencoblosan, Sudirdjo harus bekerja hingga pukul 1 dini hari dan berlanjut pada hari pencoblosan. Pekerjaan menghitung suara baru rampung pada pukul 9 malam.

KPU menilai banyak korban meninggal dan sakit karena pekerjaan petugas KPPS tak hanya saat hari pencoblosan melainkan akumulatif sejak pembagian C6.

“Memang ini pekerjaan yang cukup menyita energi dan waktu sehingga mungkin saking berdedikasinya .... kesehatannya tidak diperhatikan,” ujar Komisioner KPU Eva Novida Ginting.

Ribuan warga yang terlibat dalam pemilu hanya dibebankan tugas, kewajiban, dan wewenang, tanpa diberikan hak seperti asuransi kesehatan, sebagaimana disebut dalam peraturan KPU, karena mungkin dianggap sebagai "relawan". Mereka juga hanya diberi honorarium dipotong pajak: Rp550 ribu bagi ketua dan Rp500 ribu bagi anggota KPPS.

Lantaran itu, KPU dan Kementerian Keuangan akhirnya berjanji bakal memberikan "santunan", besarannya antara Rp16 juta hingga Rp36 juta per orang, diambil dari anggaran kedua lembaga tersebut.

“Mudah-mudahan 10 hari ke depan sudah bisa kami eksekusi,” janji Sekjen KPU, Arief Rahman Hakim pada Selasa pekan ini.

Infografik HL Indepth Evaluasi Pemilu 2019

Infografik Petugas KPPS meninggal dan sakit. tirto.id/Lugas

Tak Cukup Berhenti sebagai 'Pahlawan Demokrasi'

Pemerintah dan kepolisian mengglorifikasi para petugas KPPS yang meninggal sebagai "pahlawan demokrasi". Kendati sematan macam ini bisa dianggap ungkapan yang tulus, tetapi ratusan nyawa melayang akibat pemilu menggambarkan sebuah sistem yang belum matang.

Teuku Parvinanda, petugas KPPS di Kecamatan Gambir, berkata bahwa ia mafhum bagaimana rekan-rekannya "mewakafkan diri untuk tugas negara", tapi di sisi lain kematian ratusan petugas itu menunjukkan ada sistem yang harus dievaluasi.

Petugas KPPS tak cuma dituntut sehat fisik, tapi juga harus kuat mental. Sebagaimana yang dialami Teuku yang mengaku gugup, ia ingin TPS tempatnya bertugas berjalan lancar, bisa menghindari ricuh, tak ingin dituduh curang.

“Misal karena kelelahan dan skip, terjadi selisih suara. Jika sudah begitu, bakal ada tuduhan kecurangan. Padahal sangat mungkin itu karena human errorr. Sewaktu menyetor surat suara yang sudah dihitung ke PPS, di sana pemandangannya bikin sedih. Banyak yang ketiduran dan wajah-wajah putus asa,” terang Teuku.

Menurut Titi Anggraini dari Perludem, evaluasi Pemilu harus dilakukan secara komprehensif, "jangan prematur dan tergesa-gesa". Ia mengusulkan evaluasi itu bisa diukur dari sistem, manajemen, aktor dan penegakan hukum.

Titi berkata Perludem sejak awal menolak pemilu serentak lima surat suara. Pada 12 Januari 2017, Perludem mengusulkan pemilu bisa dipisah untuk nasional dan daerah. Pertimbangan pentingnya adalah distribusi beban kerja penyelenggara.

“Ini pemilu paling besar, paling kompleks, paling rumit, paling kompetitif dan paling melelahkan. Semua kelelahan. Media kelelahan. Peserta, pemilih apalagi penyelenggara juga kelelahan," ujar Titi.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Politik
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam