tirto.id - Perbedaan paling kentara antara kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno setelah 17 April lalu adalah cara mereka menyikapi hasil pemilu. Kubu 01 (nomor urut Jokowi-Ma'ruf) tampak adem ayem, sementara kubu 02 (Prabowo-Sandi) sebaliknya.
Kubu Prabowo merasa begitu banyak kecurangan pada pemilu kali ini, dan itu merugikan mereka.
Adalah Prabowo Subianto sendiri yang mengatakan itu, bahkan masih saat hari pencoblosan. 17 April sore pukul 17.40, lewat Twitter, bekas Danjen Kopassus ini bilang: "Pada proses pemilu kali ini banyak kejadian yang merugikan pihak 02. Banyak kertas suara yang tidak sampai. Banyak surat suara yang tidak sampai. Banyak TPS yang buka terlambat. Banyak yang tidak dapat undangan. #kawalkotaksuara," tulis Prabowo.
Menurut analisis Drone Emprit, hingga pukul 20.00, tren percakapan tentang Prabowo-Sandiaga makin tinggi. Ini, kata mereka, "memperlihatkan besarnya perlawanan atau kontra narasi atas quick count yang secara live ditampilkan di media." (hitung cepat memprediksi Jokowi-Ma'ruf menang).
Kubu Prabowo tampak berhasil memainkan opini di media sosial. Masih menurut Drone Emprit, beberapa isu yang diangkat dalam percakapan sehari setelah pencoblosan masih seputar keraguan terhadap kredibilitas lembaga survei.
Saat itu muncul pula tagar #KPUJanganCurang, #SaveOurDemocracy, hingga #INAelectionOnserverSOS. Untuk yang terakhir bahkan telah muncul sebelum hari pencoblosan.
Bentuk kecurangan lain yang disebutkan kubu Prabowo adalah surat suara yang sudah tercoblos untuk lawannya dan adanya perbedaan data yang ada di formulir C1 dengan data di situs real count milik KPU.
Mantan Danjen Koppassus ini lalu mengklaim kemenangan, dengan bekal hitung cepat internal timnya sendiri, bahkan berkali-kali melakukan deklarasi kemenangan.
"Saya minta saudara-saudara sekalian jangan terpancing, jangan bertindak berlebihan, terus awasi TPS amankan C1 dan jaga di kecamatan jangan lengah. #kawalkotaksuara," ucap Prabowo, lagi.
Pernyataan-pernyataan terkait kecurangan ini pun terus disuarakan anak buahnya dengan berbagai variasi, termasuk oleh sang adik yang menjabat Direktur Media dan Komunikasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Hashim Djojohadikusumo.
Hashim menilai bahwa Pemilu 2019 jauh dari nilai jujur, adil, dan transparan.
Salah satu bentuk kecurangan yang ditunjukkan Hashim adalah kejanggalan 17,5 juta daftar pemilih tetap (DPT).
"Sampai tiga hari sebelum hari pencoblosan 17 April, masalah itu belum tuntas, belum selesai. Jadi, masalah tetap masalah," kata Hashim, saat menggelar konferensi pers di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Senin (22/4/2019) kemarin.
Tak hanya itu, kecurangan--yang menurutnya terjadi secara masif--terlihat jelas pada saat perhitungan cepat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei. Lembaga ini menyimpulkan pemenang Pilpres 2019 adalah Jokowi-Ma'ruf.
Kubu Prabowo-Sandi tak percaya hasil hitung cepat bahkan mencurigainya sebagai bagian dari kecurangan.
"Kami khawatir dan kami mencurigai, kami cemas bahwa angka selisih yang quick count-quick count itu diambil dari 17,5 juta nama itu," tambah Hashim.
Tudingan kecurangan lainnya yang menonjol yang ditunjukkan BPN dan para simpatisannya adalah perbedaan penulisan jumlah suara pada formulir C1 yang di-input di dalam Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) dengan jumlah suara yang di-input petugas lapangan.
Tudingan terkait hal ini langsung direspons KPU. Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan mengakui memang ada kesalahan, tapi tidak banyak. Itu terjadi hanya di sembilan TPS dari 810 ribuan TPS yang tersebar di seluruh Indonesia
"Nah, sembilan itu tidak banyak dibandingkan 810 ribu TPS. Kalau kita cermati kekeliruan itu 100 persen human error, jadi tidak ada kekeliruan itu diarahkan untuk menguntungkan atau merugikan pihak tertentu," jelas Wahyu di Jakarta, Ahad (21/4/2019).
Wahyu menegaskan kembali bahwa tak ada unsur kesengajaan sama sekali dari kesalahan itu.
"Jadi tidak benar kalau kekeliruan itu seluruhnya menyangkut pihak tertentu. Kekeliruan itu [karena] human error, sehingga bisa saja fakta menujukan entri untuk 01 juga ada yang keliru, entri ke 02 juga ada yang keliru," katanya.
Mesti Dibuktikan
Berbagai opini kecurangan yang dibangun kubu 02 ini dinilai Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta sebagai sesuatu hal yang wajar untuk meraih simpati pendukungnya. Hanya saja, opini itu harus bisa dibuktikan kebenarannya, jika tak mau berujung antipati.
"Pada dasarnya setiap pelaku politik melakukan advokasi, misalnya melakukan pembangunan opini publik. Bagaimana membuktikan tudingan kecurangan tadi," kata Kaka kepada reporter Tirto, Selasa (23/4/2019) siang.
Dihujani banyak tudingan kecurangan, KPU, kata Kaka, tetap harus menjalankan tugasnya dengan maksimal. Tak lupa, KPU juga diingatkan untuk transparan dalam menyampaikan berbagai informasi ke publik.
"Yang harus dilakukan KPU adalah fokus pada tugasnya, dengan terus membuka diri atas informasi yang harus bisa diakses oleh publik," pungkas Kaka.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino