tirto.id - Koalisi Aktivis Masyarakat Anti Korupsi & Hoaks (KAMAKH) melaporkan enam lembaga survei yang merilis quick count (hitung cepat) hasil Pilpres 2019 ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Mereka mendesak tayangan quick count harus dievaluasi dan dihentikan agar tidak meresahkan.
“Semua lembaga survei harus dihentikan, bukan hanya [yang diduga mendukung] paslon 01. Harus dihentikan agar tidak menimbulkan hoaks,” kata kuasa hukum KAMAKH, Pitra Romadoni saat dihubungi reporter Tirto, Kamis, 18 April 2019.
Lembaga survei yang dilaporkan KAMAKH ialah Indo Barometer, CSIS, Charta Politika, Poltracking, SMRC, dan LSI Denny JA. KAMAKH melaporkan mereka atas dugaan melakukan tindak pidana kebohongan publik dan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Namun, Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Pol Rickynaldo Chairul mengatakan lembaganya belum menerima pelaporan tersebut. “Belum ada laporan, kalau mereka sudah melaporkan, maka ada tanda terima pelaporan,” kata dia saat dikonfirmasi reporter Tirto, Senin (22/4/2019).
Secara umum, kata Rickynaldo, penyidik tidak bisa menindaklanjuti laporan itu lantaran belum ada bukti resmi berupa nomor surat pelaporan. “Coba tunjukkan tanda terima, belum teregistrasi. Nanti saya cek apa dan siapa yang melaporkan,” kata Rickynaldo.
Kisruh soal lembaga survei yang dilaporkan ke Bareskrim Polri juga terjadi pada Pilpres 2014.
“Bukan yang pertama kalinya saya dan lembaga saya dilaporkan. Lima tahun lalu kami dilaporkan oleh Fadli Zon,” kata pendiri lembaga survei Denny JA, Denny Januar Ali ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (22/4/2019).
Saat itu, Denny JA melalui lembaganya dituding sebagai salah satu pihak yang berpotensi mengganggu ketertiban umum dan mengarah kepada tindakan makar. Hal itu karena LSI Denny JA mengumumkan lebih awal kemenangan paslon Jokowi-Jusuf Kalla. Namun, hasil hitung manual yang dilakukan KPU, ternyata tidak jauh beda dengan apa yang telah dirilis lembaganya.
Karena itu, kata Denny, dirinya 'dengan senang hati’ menyambut baik laporan KAMAKH itu. Sebab, ia yakin hasil penghitungan suara oleh KPU tidak akan berbeda jauh dengan hitung cepat yang dirilis LSI Denny JA dan lembaga lainnya yang juga dilaporkan ke Bareskrim.
“Polisi nanti akan menilai. Kami dianggap membohongi publik jika hasil quick count kami berbeda [jauh] dengan hasil KPU. Jika hasilnya mirip, di mana letak kebohongan kami?” kata Denny mempertanyakan.
Sebaliknya, Denny optimistis, lembaganya justru dianggap bisa memberikan layanan kepada masyarakat mengenai pemenang Pemilu yang jauh lebih cepat dan nantinya dibuktikan oleh hasil penghitungan KPU.
Sebab, kata Denny, tanpa quick count bakal timbul saling klaim antar-paslon. Menurut dia, hasil hitung cepat ini berfungsi sebagai pegangan bagi siapa pun yang rasional.
“Buktinya kubu Prabowo pun percaya pada quick count saat Pilkada DKI 2017 yang memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno,” kata Denny.
Sementara itu, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir mengatakan polisi harus memiliki metode untuk mengusut perkara ini. Salah satunya dengan menetapkan batas toleransi selisih penghitungan suara antara hitung cepat lembaga survei dengan hitung manual yang dilakukan KPU.
“Secara metodologi harus ada parameter yang jelas antara real count dengan quick count, semua harus objektif. Misalnya batas 0,5 persen batas toleransi dalam hitungan sosial,” ucap Mudzakir ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (22/4/2019).
Berdasarkan batas itu, kata Mudzakir, polisi dapat menindaklanjuti laporan yang dibuat KAMAKH. Jika hitungan lembaga survei terbukti tidak terpaut jauh, alias mendekati hitungan resmi KPU, maka tidak dapat dipermasalahkan lantaran ‘wajar’ ada bias dalam metode yang digunakan.
Sebaliknya, kata Mudzakir, jika angka penghitungan dimanipulasi, maka dapat dianggap melakukan kecurangan dan dijerat dengan tindak pidana. “Apalagi jika itu disebarluaskan sehingga menimbulkan hoaks di masyarakat dan memengaruhi opini publik,” kata Mudzakir.
Sebab, jika publikasi yang memengaruhi rakyat sama dengan menyebarkan hoaks serta menimbulkan kegaduhan, maka dapat dijerat Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
“Sehingga bisa dipidana jika polisi dapat membuktikan ada unsur penyebaran berita bohong dan menimbulkan keonaran,” kata Mudzakir.
Penjelasan Sejumlah Lembaga Survei
Sejumlah pejabat lembaga survei juga berkumpul bersama dan bicara soal tuduhan-tuduhan tersebut. Mereka menggelar konferensi pers bertajuk 'Expose Data Hasil Quick Count Pemilu 2019', di Morissey, Sabtu lalu.
Salah satu yang datang dalam acara itu adalah Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi. Ia menampik bila hitung cepat adalah alat berbuat curang.
Sebaliknya, kata Burhan, hitung cepat justru untuk mencegah potensi kecurangan itu.
Burhan mengatakan dengan sistem perhitungan bertingkat seperti di Indonesia (dari tingkat TPS, desa, kecamatan, dan seterusnya), kecurangan sangat rentan terjadi. Dengan demikian, hasil hitung cepat dapat dijadikan pembanding.
“Di Filipina quick count dipakai untuk membuka kecurangan. Ini sebagai alat kontrol terkait potensi kecurangan terutama di pemilu kita yang perhitungannya bertingkat,” kata Burhan.
Sementara itu, anggota Dewan Etik Persepi, Hamdi Muluk, dalam kesempatan yang sama bicara soal sampel yang dipakai. Ia bilang jumlah sampel ada di kisaran 2.000-6.000. Meski memang jauh dari jumlah TPS yang jumlahnya mencapai 800 ribu, namun Hamdi meyakinkan kalau itu telah sesuai dengan metode random sampling.
(Menurut Kerlinger (2006) simple random sampling adalah metode penarikan dari sebuah populasi atau semesta dengan cara tertentu sehingga setiap anggota populasi atau semesta tadi memiliki peluang yang sama untuk terpilih atau terambil).
“Ada yang bilang mengumpulkan lebih banyak sampel. Bukan itu masalahnya, tapi ini random atau enggak,” ucap Hamdi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz