tirto.id - Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019 baru saja usai. Di samping menanti penghitungan suara di tiap TPS dan hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), masyarakat juga sudah bisa melihat hasil pilpres lewat metode penghitungan cepat atau quick count. Sistem prediksi perolehan suara ini boleh dibilang hal baru di Indonesia. Quick count pertama di Indonesia baru dilaksanakan pada Pemilu 2004.
Pemilu 2004 tak hanya menjadi pesta demokrasi pertama yang memungkinkan rakyat memilih langsung presiden dan wakil presiden, tetapi juga menjadi titik awal diperkenalkannya sistem prediksi perolehan suara dengan metode penghitungan cepat.
Saat pertama kali diperkenalkan, metode penghitungan cepat belum menjadi instrumen yang populer. Bahkan kapabilitasnya masih dianggap tertinggal dibandingkan penghitungan suara elektronik yang digagas Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak pemilu legislatif pada April 2004.
Dalam janjinya kepada publik, KPU menjamin masyarakat dapat mengetahui perolehan suara lengkap melalui jaringan teknologi informasi pemilu sembilan jam setelah TPS ditutup. Akan tetapi, menurut pengamatan peneliti LP3ES, Andy Agung Prihatna, sistem penghitungan suara KPU gagal melaksanakan misinya.
“Sistem penghitungan suara elektronik gagal menjadi acuan publik yang menunggu. Bahkan, sampai menjelang penghitungan suara secara manual diumumkan, instrumen ini belum dapat menyelesaikan tugasnya dengan tuntas,” kata Prihatna seperti dikutip Kompas (6/7/2004).
Pada Pemilu Legislatif tanggal 5 April 2004, menurut Prihatna, LP3ES sudah melangkahi KPU dengan merilis hasil quick count untuk pertama kalinya selang satu hari setelah pemungutan suara ditutup. Bekerja sama dengan The National Democratic Institute for International Affairs (NDI), lembaga swadaya terbesar di Indonesia itu berhasil merilis prediksi kemenangan Golkar dengan angka 22,7%. Angka kemenangan Golkar ini selisih 0,9% lebih tinggi dari angka resmi KPU.
“Belakangan, setelah KPU mengumumkan hasil resmi, terbukti metode ini mampu memprediksi hasil pemilihan umum (pemilu) secara tepat,” kata Prihatna.
Pada Pemilu Presiden putaran I tanggal 5 Juli 2004, hasil quick count LP3ES-NDI kembali mendekati hasil penghitungan suara yang dilangsungkan di Pusat Tabulasi Nasional Pemilu 2004. Berdasarkan data resmi Pemilu 2004, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla unggul dengan 33,83%. Sedangkan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi berada di tempat kedua dengan 26,06%. Hasil quick count LP3ES-NDI berhasil menipiskan selisih suara menjadi hanya 0,5%.
PDIP Tuding Intervensi Asing
Keakuratan quick count versi LP3ES-NDI lantas menimbulkan masalah di tingkat pemerintahan. Isu keterlibatan asing pun mencuat ke permukaan dalam sidang kabinet yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri.
Menurut pewartaan Kompas (10/7/2004), Kwik Kian Gie, yang kala itu menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap fungsionaris PDIP, mengatakan terdapat campur tangan pengamat asing dalam pembentukan opini publik berkaitan Pemilu 2004.
Prihatna dalam pernyataannya di Kompas (6/7/2004) pun tak menampik perihal kerja sama asing. Menurutnya, metode quick count memang bukanlah hal baru di negara-negara maju. “Metode ini telah teruji dalam beberapa dekade terakhir dan telah dibuktikan keampuhannya di banyak pemilu di berbagai negara,” ujar Prihatna.
Prihatna juga menambahkan metode quick count penting posisinya untuk mengantisipasi kecurangan. Kuat dugaan kecurangan pada Pemilu 2004 tidak terjadi di TPS, melainkan paling tinggi terjadi di Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Dalam kondisi demikian, metode quick count seolah-olah menjadi penyelamat berkat kemampuannya memberikan informasi kemenangan peserta Pemilu 2004. Pada Pilpres 2004 putaran II yang berlangsung pada 20 September semakin banyak organisasi dan stasiun televisi yang terlibat meramaikan penghitungan cepat pemilu.
Kasus Filipina: Quick Count untuk Cegah Kecurangan
Di Filipina, pada 1980-an, hitung cepat membuktikan adanya kecurangan dalam Pemilu. Hitung cepat ini pula yang mengantarkan petahana Presiden Filipina Ferdinand Marcos lengser secara dramatis.
Pada 1983 beberapa aktivis Filipina membentuk National Citizens' Movement for Free Elections (NAMFREL) untuk mengawasi pemilu dan mencegah kecurangan rezim Marcos.
Pada pemilihan presiden 7 Februari 1986, dua kandidat, Marcos dan Corazon Aquino, saling berebut suara sembari diawasi 500 ribu relawan NAMFREL yang tersebar di seluruh Filipina.
Corazon Aquino mengklaim sebagai pemenang pemilu sehari setelah hari pemilihan. Pada hari yang sama, Marcos, sebagaimana dilaporkan New York Times, mengatakan, "Saya mungkin menang."
Sebanyak 7,7 juta suara atau sekitar sepertiga dari total suara yang berhasil dihimpun quick count NAMFREL menyatakan Aquino unggul 1 juta suara dari Marcos. Tetapi data 2,1 juta suara yang dihimpun komisi pemilu Filipina menyebutkan Marcos dan Aquino imbang. Lalu, pada 14 Februari 1986, lembaga tersebut menyatakan Marcos mendapat 10,8 juta suara, sementara Aquino mendapat 9,3 juta suara. Marcos pun dinyatakan menang.
Namun, NAMFREL berhasil menghimpun data dari 85.000 TPS (70 persen dari total TPS) dan menunjukkan bahwa Aquino mendapatkan 7,9 juta suara, unggul dari Marcos yang memperoleh 7,4 juta suara.
NAMFREL memang tidak mencuplik TPS-TPS yang diambil datanya secara statistik, tapi hasil quick count-nya menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Aquino merupakan pemenang.
Sementara Marcos bertahan dengan klaim kemenangannya, ribuan demonstran tumpah ruah mendukung Aquino di jalan Epifano de los Santos Avenue (EDSA). Pada 25 Februari 1986 Marcos pun jatuh dan melarikan diri ke luar negeri.
Editor: Ivan Aulia Ahsan