tirto.id - Sejarah mencatat Pemilu dan Pilpres 2004 merupakan tonggak demokratisasi Indonesia pasca-Reformasi. Kala itu untuk pertama kalinya masyarakat Indonesia dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden, di samping memilih calon anggota lesgislatif.
Sebelum 2004, pemilihan umum di Indonesia hanya untuk memilih wakil rakyat di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Tradisi politik ini sudah berlangsung sejak pemilu yang pertama di tahun 1955. Sepanjang pemilu Orde Baru hingga 1999 pun rakyat tidak pernah mendapat kesempatan memilih langsung calon kepala negara mereka.
Dengan berpedoman kepada Undang-Undang No.23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berhasil menyelenggarakan pilpres langsung pada pertengahan 2004. Pilpres pada Pemilu 2004 diselenggarakan sebanyak dua putaran dan menjadi bagian dari rangkaian sembilan tahap Pemilihan Umum Legislatif 2004.
Tahun 2004 menjadi periode tersibuk bagi KPU. Menurut Ketua KPU 2004-2007, Ramlan Surbakti, Pemilu 2004 luar biasa. Kompas (15/10/2004) menuliskan bahwa dalam satu tahun KPU harus menyelenggarakan tiga kali pemilu: pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, pemilu presiden-wakil presiden putaran pertama, dan pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua.
Lima Paslon
Serentak pada 5 April 2004, rakyat Indonesia melakukan pencoblosan untuk memilih 550 anggota DPR, 128 anggota DPD, serta anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota periode 2004-2009. Kontestan yang berpartisipasi pada pemilihan kala itu ada 24 partai politik. Beberapa di antaranya, seperti Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan pemain baru. PKS sebenarnya sudah mengikuti Pemilu 1999 dengan nama Partai Keadilan (PK), tapi partai ini harus berganti nama untuk mengikuti Pemilu 2004 karena jumlah suara di pemilu sebelumnya tak memenuhi ambang batas.
Meskipun masih baru, Demokrat dan PKS berhasil meraup popularitas dengan berurutan menduduki peringkat 5 dan 6. Demokrat berhasil mendapatkan 8.455.225 suara atau sebesar 7,45% dari total 113.462.414 jumlah suara yang sah. Sementara PKS menempatkan diri di peringkat 6 dengan 8.325.020 suara atau 7,34%. Sedangkan posisi 1 sampai dengan 4 ditempati pemain lama: Golongan Karya, PDIP, PKB, dan PPP.
Selepas pemilu legislatif, pilpres putaran I dilaksanakan pada 5 Juli 2004, tepat hari ini 16 tahun lalu. Pilpres 2004 menjadi kontes pemilihan kepala negara dengan jumlah peserta terbanyak sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Pasangan capres dan cawapres yang mendaftar ke KPU kala itu ada 6 pasang. Tapi pasangan Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim yang dicalonkan PKB gugur karena Gus Dur dianggap tidak memenuhi prasyarat kesehatan.
Pilpres putaran I berlangsung dengan menyisakan 5 paslon. Nomor urut 1 diduduki pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid yang diusung Partai Golkar. Di belakangnya ada Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi yang dicalonkan PDIP. Kemudian, nomor urut 3 ditempati pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo yang dicalonkan PAN. Sementara itu nomor urut 4 ditempati pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang diangkat oleh 3 parpol sekaligus: Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Terakhir, pasangan Hamzah Haz dan Agum Gumelar yang dicalonkan PPP menempati nomor urut ke-5.
Menurut laporan Kompas (15/10/2004), seluruh kegiatan Pemilu 2004 menghabiskan dana sebesar Rp 4,45 triliun. Dana yang diambil dari APBN dan APBD tersebut dipakai untuk membiayai program mulai dari nol. Dari pendataan penduduk sampai pembuatan bilik suara yang berbeda dari pemilu sebelumnya. Di samping itu, ada dana tambahan sebesar 32,367 juta dollar AS yang berasal dari bantuan negara-negara donor melalui United Nations Development Programme (UNDP).
Kemenangan “Mengejutkan” SBY
Pilpres 2004 putaran I ternyata menjadi awal yang manis bagi SBY dan Jusuf Kalla. Paslon nomor urut 4 itu memperoleh 39.838.184 suara dari total 119.656.868 suara sah atau 33,57%. Di belakangnya ada pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi yang meraih 31.569.104 suara atau 26,61%.
Kemenangan SBY pada Pilpres 2004 putaran I sangat tampak di basis-basis TNI Angkatan Darat. Di TPS asrama Cijantung, nama jenderal itu berkibar-kibar seraya dikumandangkan para keluarga tentara setiap kali kertas suara dibuka petugas TPS dan nama SBY muncul.
Meskipun tidak punya mesin politik, kampanye SBY dinilai berhasil menuai dukungan spontan dari masyarakat. Menurut peneliti senior LSI Saiful Mujani, SBY merupakan calon presiden yang paling konsisten dalam menggunakan media kampanye televisi. Iklan layanan masyarakat yang melambungkan popularitas SBY salah satunya mengenai pemilu damai.
“Popularitas SBY terdongkrak karena para pemilih menimbang kualitas kepribadian calon presiden. Banyak pemilih melihat SBY cukup kompeten, lebih tegas dan efektif, serta lebih punya empati dan integritas dibandingkan dengan calon lain,” ujar Mujani seperti yang dikutip Tempo (5/7/2004).
Menurut pantauan Tempo, selain di asrama Cijantung, "demam SBY" juga dirasakan di kawasan lain. Bahkan kawasan basis parpol lain berhasil disusupi euforia SBY. Hal ini sangat tampak di kawasan Rawa Bebek, sebuah perkampungan kumuh di utara Jakarta, yang dikenal sebagai basis PDIP yang setia. Menurut penghitungan TPS setempat Megawati hanya berhasil menang tipis dari SBY.
Kemenangan SBY pada putaran I ternyata bukan kabar yang mengejutkan lagi. Tempo (8/3/2004) mewartakan SBY bahkan sempat dikucilkan saat menjabat Menteri Koodinator Politik dan Keamanan di kabinet Megawati. Di balik pengucilan salah satu menterinya itu ternyata Megawati beserta kalangan PDIP sudah sejak lama menganggap SBY sebagai kandidat presiden potensial yang dapat menyangi Megawati pada Pilpres 2004.
Survei mengenai kapabilitas SBY dalam mengikuti Pilpres 2004 pun sudah pernah dilakukan sejak 2003. Menurut Garda Maeswara dalam Biografi Politik Susilo Bambang Yudhoyono (2009), pada pertengahan 2003 International Foundation Election System (IFES) pernah menempatkan SBY sebagai kandidat presiden pilihan publik nomer dua setelah Megawati. Data yang dihimpun IFES merujuk pada survei terhadap 3.000 responden yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia. (hlm. 67-68)
Masih di tahun 2003, menurut Maeswara, selain IFES, Cesda-LP3ES juga pernah mengadakan polling calon presiden pilihan publik. Polling tersebut melibatkan responden dari 13 provinsi yang terdiri dari petani, nelayan, buruh, dan kuli angkut. Hasilnya cukup mengejutkan. Kalangan yang umumnya setia mendukung PDIP tersebut justru memilih SBY sebagai presiden pilihan. Megawati harus puas duduk di posisi kelima (hlm. 68).
Pilpres 2004 putaran I ditutup dengan kemenangan perolehan suara SBY-Jusuf Kalla. Karena tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara di atas 50%, maka harus diadakan pemilihan putaran II yang diadakan selang tiga bulan setelah putaran I. Putaran II ini diikuti paslon Megawati-Hasyim Muzadi dan SBY-Jusuf Kalla.
Menjelang Pilpres 2004 putaran II, KPU melarang dua paslon yang tersisa mengerahkan massa dalam kampanye. Tapi pada praktiknya tetap terjadi penggalangan massa yang mengatasnamakan pendukung salah satu paslon. Di samping aksi-aksi semacam itu, turut muncul acara musik di TVRI yang menyiratkan motif kampanye. Akibat aturan kampanye KPU yang terlalu singkat, Panitia Pengawas Pemilihan Umum tidak mampu melarang aksi-aksi yang disebut Tempo (20/9/2004) sebagai “acara pesanan” tersebut.
Di luar segala pelanggaran yang mungkin dilakukan kedua kubu, SBY-Jusuf Kalla menang telak pada pemilihan presiden putaran II tanggal 20 September 2004. Menurut hasil yang diumumkan pada 4 Oktober 2004, pasangan nomer urut 4 itu menang dengan perolehan 69.266.350 suara dari total 114.257.054 suara yang dinyatakan sah atau dengan presentase 60,62%.
SBY dan Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih periode 2004-2009. Pelantikan keduanya dilangsungkan pada 20 Oktober 2004 dalam sidang Paripurna MPR yang dihadiri pemimpin dan perwakilan negara-negara sahabat.
Sayangnya, Megawati menolak menghadiri pelantikan Presiden Indonesia ke-6 tersebut. Menurut Tempo, Mega meragukan kredibilitas SBY sebagai perwira lantaran tidak jujur menanggapi isu pencalonan dirinya sebagai presiden.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 April 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan