tirto.id - Salah satu isu yang mengemuka pasca pemilihan umum 17 April lalu adalah keandalan hitung cepat (quick count) yang dilakukan sejumlah lembaga survei. Ini terutama diutarakan oleh Prabowo Subianto, tim kampanye, serta simpatisannya.
Prabowo sendiri kalah dalam pemilu 2019 versi quick count. Selisihnya dengan petahana, Joko Widodo, berkisar di angka 9-10 persen.
19 April lalu, bekas Danjen Kopassus ini bahkan mengatakan lembaga survei sebagai "tukang bohong." Pernyataan yang disampaikan di rumahnya di Jakarta Selatan ini lantas disambut pendukungnya dengan bertempik.
"Hei tukang bohong, rakyat tidak percaya sama kalian. Mungkin kalian [lembaga survei] harus pindah ke negara lain. Mungkin bisa pindah Antartika. Hei, lembaga survei bohong, kalian bisa bohongi penguin di Antartika," kata Prabowo.
Tuduhan juga muncul dari anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Pipin Sofyan. Pipin menduga lembaga survei dibiaya kelompok tertentu dan dengan timbal balik membikin hitung cepat sesuai pesanan.
“Kami dari awal ingin quick count dilaksanakan oleh kampus. Pendanaannya harus mandiri, jadi tidak disetir. Konsekuensinya [kalau tidak mandiri] ada upaya menggiring pilpres ini selesai dengan quick count,” ucap Pipin, Sabtu lalu.
Bersamaan dengan pernyataan-pernyataan tersebut, di media sosial juga muncul beraga tagar yang intinya serupa: meragukan hasil hitung cepat dan bahkan penyelenggara pemilu secara umum.
Salah satu yang cukup ramai dipakai adalah tagar #INAelectionObserverSOS.
Disanggah
Beberapa pejabat lembaga survei lantas berkumpul bersama dan bicara soal tuduhan-tuduhan ini. Konferensi pers bertajuk 'Expose Data Hasil Quick Count Pemilu 2019' ini diselenggarakan di Morissey, Sabtu lalu.
Salah satu yang datang dalam acara itu adalah Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi. Ia menampik bila hitung cepat adalah alat berbuat curang. Sebaliknya, hitung cepat justru untuk mencegah itu.
Burhan mengatakan dengan sistem perhitungan bertingkat seperti di Indonesia (dari tingkat TPS, desa, kecamatan, dan seterusnya), kecurangan sangat rentan terjadi. Dengan demikian, hasil hitung cepat dapat dijadikan pembanding.
“Di Filipina quick count dipakai untuk membuka kecurangan. Ini sebagai alat kontrol terkait potensi kecurangan terutama di pemilu kita yang perhitungannya bertingkat,” kata Burhan.
Anggota Dewan Etik Persepi, Hamdi Muluk, dalam kesempatan yang sama bicara soal sampel yang dipakai. Ia bilang jumlah sampel ada di kisaran 2.000-6.000. Meski memang jauh dari jumlah TPS yang jumlahnya mencapai 800 ribu, namun Hamdi meyakinkan kalau itu telah sesuai dengan metode random sampling.
(Menurut Kerlinger (2006) simple random sampling adalah metode penarikan dari sebuah populasi atau semesta dengan cara tertentu sehingga setiap anggota populasi atau semesta tadi memiliki peluang yang sama untuk terpilih atau terambil).
“Ada yang bilang mengumpulkan lebih banyak sampel. Bukan itu masalahnya, tapi Ini random atau enggak,” ucap Hamdi.
Sementara Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Philips J. Vermonte, bicara soal keterbukaan data. Ia bilang lembaga survei yang berada di bawah naungan Persepi selalu terbuka, dalam arti baik data mentah atau metodologi yang dipakai bisa dilihat siapa pun.
Ia lantas menantang lembaga survei internal BPN--yang berdasarkan quick count pula memenangkan Prabowo-Sandiaga--berani melakukan hal serupa.
“Kalau kami diminta buka, ya kami buka. Yang minta kami buka, data dia sendiri mau juga enggak [dibuka]?” kata Philips.
Mengenai tantangan membuka sumber dana, Philips mengatakan asosiasinya akan melakukannya, dengan syarat bila Prabowo-Sandi dan tim juga berani.
“Tolong sampaikan, kami buka kalau dia juga buka dananya,” pungkas Philips.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino