tirto.id - Pemilu serentak 17 April 2019 sudah lewat, sebagian masyarakat Indonesia telah menggunakan hak suaranya. Sehari setelah penyelenggaraan pemilu, mulai bermunculan informasi tentang banyaknya jumlah petugas KPPS yang jatuh sakit dan meninggal dunia.
Hingga 23 April 2019, KPU mencatat ada 119 petugas KPPS meninggal. Karena angka kematian yang begitu besar, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Azis berpendapat pemilu serentak Pemilihan Legislatif (Pileg) dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) cukup sekali ini saja digelar.
Selain ada yang meninggal karena faktor kelelahan, pembuluh darah pecah, riwayat penyakit jantung, bahkan tertabrak truk, ada pula yang meninggal karena bunuh diri. Dilansir Tempo, seorang Ketua KPPS di Malang mencoba bunuh diri. Ia diduga stres akibat adanya selisih suara saat proses penghitungan.
Kita semua tahu, usai penyelenggaraan pemilu, para petugas KPPS bekerja ekstra untuk proses penghitungan suara. Budi Sulistiyo, petugas KPPS di TPS 07, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, menceritakan pengalamannya melakukan kerja pasca-pencoblosan hingga Kamis, 18 April 2019, pukul 01.00.
“Kalau enggak capek, ya juara. [Ada di TPS] dari pukul 06.00 [Rabu, 17 April 2019] sampai pukul 01.00 [Kamis, 18 April 2019]. Belum lagi waktu penghitungan dari pukul 13.00 sampai 19.00 itu berdiri,” kata pria berusia 28 tahun ini.
Budi hanya bisa beristirahat pada jam makan malam, sekitar pukul 19.00. “Aku baru sempat nyoblos saja sekitar jam setengah satu kok,” tuturnya.
Dari kelima jenis surat suara yang digunakan saat pemilu kemarin, Budi menilai proses penghitungan DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten-lah yang memakan waktu paling lama.
“Jumlah DPT di tempatku cuma 232, tapi kalau dikalikan lima ya tetap bikin pusing, enggak bisa disambi,” ungkapnya.
Waktu Kerja Panjang dan Kesehatan Fisik
Jika menilik pengalaman Budi, saat hari pencoblosan, ia bekerja tanpa henti sekitar 19 jam. Anda yang bertugas saat pemilu barangkali memiliki pengalaman serupa atau bahkan mungkin selesai lebih larut dari Budi. Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan hal-ihwal terkait TPS sebelum hari-H.
Bekerja dalam durasi waktu berlebihan tentu tak baik untuk kesehatan fisik dan mental. A. E. Dembe dan tiga rekannya, dalam laporan penelitian berjudul “The Impact of Overtime and Long Work Hours on Occuptional Injuries and Illnesses: New Evidence from the United States” (PDF) (2005), mengulas tentang dampak buruk dari jam kerja yang panjang bagi kesehatan pekerja.
Dembe, dkk. memaparkan beragam studi yang menghubungkan antara lembur dan jam kerja yang diperpanjang dengan peningkatan risiko beberapa penyakit, seperti hipertensi, kardiovaskular, kelelahan, stres, depresi, gangguan muskuloskeletal, infeksi kronis, diabetes, dan keluhan kesehatan umum.
Para peneliti tersebut kemudian mengumpulkan tanggapan dari 10.793 orang Amerika melalui National Longitudinal Survey of Youth (NLSY) untuk mengevaluasi riwayat pekerjaan, jadwal kerja, dan terjadinya cedera dan penyakit akibat kerja dalam rentang waktu antara 1987 hingga 2000.
Hasil dari studi itu menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara durasi kerja yang diperpanjang dengan tingkat kejadian cedera. Kesimpulan dari penelitian ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Koji Wada bersama delapan koleganya yang berjudul “Effects of Overtime Work on Blood Pressure and Body Mass Index in Japanese Male Workers” (PDF) (2006). Dalam studi yang dilakukan terhadap 323 partisipan laki-laki tersebut, Wada, dkk. menemukan bahwa kerja lembur bisa berdampak terhadap peningkatan tekanan darah para respondennya.
Riset berjudul “Effect of Working Hours on Biological Function Related to Cardiovascular System among Salesmen in a Machinery Manufacturing Company” (PDF) (1998) yang dilakukan Kenji Iwasaki dan tiga orang temannya menemukan bahwa lembur bisa berdampak bagi sistem kardiovaskular.
Dalam studi yang dilakukan terhadap 81 orang salesman pada sebuah perusahaan manufaktur mesin itu, mereka mengeluhkan kelelahan serta peningkatan tekanan darah dan kadar kolesterol total yang terkait dengan penurunan fungsi jantung.
Beban dan Dampak Psikis
John Trougakos, seorang profesor dalam bidang perilaku organisasi dan manajemen SDM, mengungkapkan kepada Fast Company bahwa otak memiliki kemampuan energi psikologis yang terbatas. Otak kita, katanya, memerlukan waktu istirahat selama 17 menit setelah 52 menit bekerja. Jika sumber energi psikologis kita telah habis, kerja yang kita lakukan tidak efektif.
Psikolog klinis Andi Ardilah mengatakan bahwa pekerjaan akan efektif jika pikiran, badan, dan jiwa saling terintegrasi. Tak heran ketika badan dalam kondisi sangat lelah, pikiran akan tidak terarah atau hilang fokus. Hal itu bisa mengganggu kondisi psikologis, membuat tertekan atau stres.
Dalam kejadian yang menimpa anggota KPPS selama pemilu kemarin, Andi melihat bukan hanya jam kerja saja yang menjadi faktor penyebab stres. "Sepertinya ada beban psikologis juga di pekerjaan mereka. Mungkin mereka merasa ada beban negara yang mereka pegang,” kata Andi.
Jika petugas KPPS tak kuat menghadapi tekanan tersebut, bukan tak mungkin mereka akan melakukan tindakan yang membahayakan dirinya. Setiap orang memiliki kekuatan mental yang berbeda-beda, termasuk dalam menghadapi beban pekerjaan.
Menurut Andi, pemerintah seharusnya menyiapkan sarana konseling untuk para petugas KPPS yang mengalami stres seperti yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar. Sarana konseling penting, sebab ia melihat bahwa sistem kerja KPPS sulit diubah karena ia berhubungan dengan pelayanan terhadap masyarakat.
“[Sarana konseling] disebut Employee Assistant Programme, di mana perusahaan biasanya kerjasama dengan perusahaan lain yang menyediakan layanan konseling. Nanti pekerja bisa telepon ke nomor yang disediakan untuk konseling atau bahkan bisa lakukan konseling tatap muka,” tutur Andi.
Andi juga menyarankan agar pada pemilu kelak, setiap KPPS memiliki perencanaan kerja yang lebih matang serta menambah jumlah personel, sehingga pembagian kerja bisa lebih ringan.
Editor: Maulida Sri Handayani