Menuju konten utama

Mencegah Insiden Berulang Kematian Massal Ratusan Petugas KPPS

Potensi kerawanan kondisi kesehatan petugas KPPS di Pemilu 2024 dinilai masih ada dan jangan sampai mengulang kondisi Pemilu 2019.

Mencegah Insiden Berulang Kematian Massal Ratusan Petugas KPPS
Sejumlah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mengucapkan sumpah dan janji anggota saat mengikuti pelantikan di Balai Desa Gulang, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (25/1/2024). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.

tirto.id - Muhammad Yusuf (26) gembira ketika mendengar kabar dirinya lolos, menjadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Yusuf resmi ambil bagian sebagai salah satu petugas garda terdepan dalam proses pemilihan umum (Pemilu) 2024 serentak.

Pemuda yang bekerja sebagai penjaga warung itu mengaku, rajin menjaga keadaan tubuh agar mendapatkan hasil surat kesehatan yang baik. Surat itu menjadi salah satu syarat pendaftaran menjadi anggota KPPS.

“Awalnya ditawari [oleh] Ketua RT, suruh kumpulin syarat kayak KTP dan macem-macem. Nah, sekarang wajib surat sehat, saya bikin di klinik hasilnya bagus,” kata Yusuf kepada reporter Tirto saat ditemui di rumahnya, di Tonjong, Kabupaten Bogor, Kamis (1/2/2024).

Yusuf paham betul tugas yang diembannya bukan perkara sepele. Dia menyatakan, sudah mendapatkan gambaran soal pekerjaan yang disebutkan akan menguras fisik dan mental tersebut. Ini merupakan pengalaman pertama Muhammad Yusuf menjadi anggota KPPS.

“Waktu bimtek (bimbingan teknis) sudah dijelaskan sih gimana gambaran tugasnya. Memang capek kelihatannya apalagi pas pencoblosan seharian kerjanya,” ujar Yusuf.

Di sisi lain, Yusuf mengetahui bahwa Pemilu 2019 menyimpan memori kelam. Dia tahu saat itu ribuan petugas KPPS jatuh sakit, diiringi meninggalnya ratusan petugas saat dan setelah bertugas. Kala itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat, ada 894 petugas KPPS yang meninggal dan 5.175 petugas lainnya sakit akibat beratnya beban tugas pemungutan dan penghitungan suara.

“Pasti tahu soal itu karena itu sudah jadi wanti-wanti. Semoga tahun ini enggak [terulang], karena setahu saya syaratnya diperketat oleh KPU dan saya sendiri mempersiapkan diri,” beber Yusuf.

Pemeriksaan kesehatan pendaftar petugas KPPS Pemilu 2024

Petugas memeriksa kesehatan pendaftar petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) saat pemeriksaan kesehatan awal di aula Kecamatan Sananwetan Kota Blitar, Jawa Timur, Senin (18/12/2023). ANTARA FOTO/Irfan Anshori/rwa.

Pemilu 2019 yang dilakukan serentak memang membekaskan coreng. Ratusan petugas KPPS gugur akibat kelelahan, ditambah banyaknya anggota memiliki penyakit penyerta (komorbid) yang memperparah kondisi. Tugas kerja yang diforsir ugal-ugalan terbukti harus dibayar mahal.

Beban para petugas KPPS bukan hanya datang dari tugas dan fungsi yang harus mereka lakoni. Keadaan seperti pemilih yang menumpuk, protes, bahkan perdebatan perhitungan suara, akan menjadi penyebab stres tersendiri. Belum ditambah saksi dan petugas partai yang hadir, akan menambah tekanan petugas KPPS.

Maka mencegah potensi kerawanan kondisi kesehatan petugas KPPS wajib dilakukan. Mewajarkan beban kerja mereka yang melebihi kelaziman adalah bentuk kezaliman. Jangan sampai Pemilu 2024 menggores luka yang sama seperti sebelumnya.

Sebagaimana kisah Nurhalifah, warga Gundih, Bubutan, Surabaya, Jawa Timur, yang harus kehilangan ayah tercinta saat Pemilu 2019. Syaiful Arief, sang ayah, meninggal ketika bertugas menjadi anggota KPPS. Syaiful adalah satu dari 894 korban meninggal saat maupun pascapemilu serentak 2019.

Pemilu serentak 2024 diikuti 5,7 juta petugas KPPS yang akan bertugas di seluruh daerah di Indonesia. Kali ini, seluruh anggota KPPS wajib mengikuti bimtek yang diselenggarakan oleh KPU. Melalui bimtek, semua anggota KPPS diharapkan mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang sama terhadap tugas masing-masing.

Evaluasi KPU

Koordinator bidang hukum dan advokasi di Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Romi Maulana, menilai pada prinsipnya KPU sudah melakukan upaya mitigasi agar insiden Pemilu 2019 tidak terulang tahun ini.

Beberapa kebijakan yang sudah diupayakan misalnya, pembatasan usia maksimal dan penurunan usia minimal untuk menjadi anggota KPPS serta melakukan kerja sama dengan lembaga kesehatan.

Namun, kata dia, potensi yang membahayakan kondisi petugas KPPS pada dasarnya ada di beban kerja serta potensi hambatan teknis saat bertugas. Romi menilai dalam beban kerja, belum ada perbedaan dari Pemilu serentak 2019.

“Meskipun KPU mengklaim adanya upaya digitalisasi dalam mengefektifkan beban kerja. Namun alih-alih ingin mengefektifkan, proses digitalisasi jika belum siap akan berdampak pada hambatan teknis yang dihadapi petugas KPPS di lapangan nanti,” ujar Romi kepada reporter Tirto, Kamis (1/2/2024).

Menurut Romi, hambatan teknis yang dapat muncul antara lain terhadap pemberian salinan hasil perhitungan. Berdasarkan Pasal 60 PKPU 25/23 penggandaan salinan hasil perhitungan dapat dilakukan KPPS dalam bentuk hardcopy atau dapat menggunakan dokumen elektronik.

Ini akan menjadi masalah teknis di lapangan apabila saksi peserta pemilu menginginkan salinan hasil penghitungan dalam bentuk hardcopy. Namun, KPPS hanya menyanggupi memberikan salinan hasil penghitungan dalam bentuk dokumen elektronik.

Di sisi lain, untuk pemilihan di TPS, anggota KPPS juga wajib melakukan validasi pemilih lewat cekdptonline.kpu.go.id. Hal ini dinilai Romi sebagai pekerjaan yang tidak perlu dan menambah beban.

Ketentuan tersebut membuat hambatan bagi pemilih dan petugas KPPS jika dalam salinan DPT pemilih tercantum, tetapi saat di dptonline tidak ada karena gangguan sistem dan lainnya. Ditambah, menurut Romi, upaya sosialisasi KPU kepada anggota KPPS soal menjaga kesehatan kurang terlihat.

“Kalau dilihat dari potensi yang saya uraikan diatas, saya kira KPU kurang optimal dalam berbenah untuk mencegah agar tidak ada korban KPPS yang meninggal atau jatuh sakit lagi,” ujar Romi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, menyampaikan yang tidak kalah penting adalah memastikan petugas KPPS ini bekerja dengan akurat dan benar. Penyebabnya, kata dia, biasanya karena bimtek yang dilakukan tidak maksimal sehingga ditemukan masalah-masalah teknis di TPS.

“Kalau soal antisipasi terkait kesehatan petugas, sebetulnya KPU sudah membuat beberapa alternatifnya, misalnya dengan menurunkan usia petugas dari 25 jadi 17, dan ada usia maksimalnya yaitu 50 tahun. Harapannya banyak anak muda yang berpartisipasi menjadi petugas,” kata Annisa kepada reporter Tirto, Kamis (1/2/2024).

Simulasi pemungutan suara Pemilu 2024 di lereng Gunung Merbabu

Sejumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) menyiapkan surat suara saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilihan Umum 2024 di lereng Gunung Merbabu, TPS 1, Jeruk, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (27/12/2023). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/tom.

Kerawanan Masih Ada

Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Mahesa Paranadipa, menilai potensi kerawanan kondisi kesehatan petugas KPPS di Pemilu 2024 masih ada. Sebabnya, kata dia, status penyakit komorbid dan berisiko para peserta sebatas dilaporkan dalam bentuk surat pernyataan tidak mengidap penyakit komorbid pada saat calon KPPS mendaftar.

“Bukan berdasarkan [kewajiban] pemeriksaan klinis di fasyankes. Memang ada fasilitas skrining menggunakan kartu BPJS Kesehatan outputnya ada 3 kategori ringan-sedang-berat, tapi sampai saat ini belum ada informasi apakah seluruh [anggota] KPPS memiliki kartu BPJS dan sudah melakukan skrining,” ujar Mahesa kepada reporter Tirto, Kamis (1/2/2024).

Mahesa menilai skrining kesehatan seharusnya tetap dilakukan sebagai langkah preventif. Selain itu, pemantauan periodik kondisi kesehatan petugas yang berisiko sedang dan berat wajib dilakukan.

Dia juga meminta KPU melakukan sosialisasi mekanisme kerja dan beban kerja yang tidak menimbulkan permasalahan kesehatan serius. Perlu juga memperhatikan asupan makan, minum, jeda istirahat, serta penanganan kejiwaan seperti potensi stres akibat kerja.

“Perlu koordinasi untuk memberikan penanganan kesehatan segera bagi petugas yang mengalami masalah kesehatan. Keterlambatan penanganan juga berisiko kematian atau kecacatan,” kata Mahesa.

Penelusuran IDI dan Kemenkes pada 2019, menyimpulkan penyakit kronis menjadi penyebab utama kematian sebagian besar petugas KPPS. Penyakit kronis yang diderita memburuk karena petugas KPPS diduga mengalami kelelahan akibat beban kerja yang berat.

Kemenkes juga mengakumulasi 13 jenis penyakit dan satu kecelakaan sebagai penyebab meninggalnya anggota KPPS. Jenis penyakit tersebut antara lain serangan jantung, gagal jantung, koma hepatikum, stroke, gagal napas akut (respiratory failure), hipertensi, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, tuberkulosis, dan kegagalan multi organ.

Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, menyatakan KPU harus mewanti-wanti petugas KPPS dari potensi tekanan psikis. Dia menilai tahun politik kali ini membawa tekanan psikis yang cukup tinggi.

“Saya khawatir justru di sini di Pemilu 2024 ini tekanan psikis politiknya cukup tinggi karena sudah ada semacam dugaan tekanan politik di berbagai daerah, saya khawatir ini masuk ke penyelenggara pemilu,” kata Kaka kepada reporter Tirto, Kamis (1/2/2024).

Belum lagi, kata dia, muncul dugaan tertuju kepada aparatur negara termasuk aparatur keamanan dalam tekanan tersebut. Hal ini, menurut Kaka, perlu dipertegas dengan kenetralan aparat keamanan dalam menjaga jalannya Pemilu 2024. Dia juga menyoroti tugas anggota KPPS yang seharusnya sederhana dan tidak diperumit.

“Selanjutnya jangan ada perubahan aturan di tengah jalan. [Tahun] 2019 itu ada surat edaran yang sekitar H-1, bahkan di beberapa daerah terlambat disampaikan [petugas],” ujar dia.

Antisipasi KPU

Ketua KPU RI, Hasyim Asyari, juga buka suara soal bagaimana pihaknya mencegah terulangnya insiden kematian ratusan petugas KPPS. Menurutnya, salah satu strategi tersebut adalah merekrut petugas KPPS dengan rentang usia muda, sehingga lebih produktif, dan mengantisipasi terjadinya penyakit bawaan.

“Sebenarnya sudah kami evaluasi. Sudah lakukan perbaikan di Pilkada 2020. [Hasil] temuannya yang meninggal itu umurnya rata-rata di atas 50 tahun dan kemudian penyakit bawaan atau komorbid,” kata Hasyim Asyari di Kantor KPU RI, Rabu (31/1/2024).

Hasyim menyampaikan bahwa setiap petugas KPPS wajib mendapatkan hak jaminan kesehatan berupa BPJS. Dirinya meminta kerja sama kepada kementerian dan kepala daerah untuk menyediakan jaminan ketenagakerjaan kepada penyelenggara pemilu sebagaimana instruksi presiden nomor 2 tahun 2021 tentang BPJS Ketenagakerjaan.

“Itu instruksi kepada menteri dan kepada semua kepala daerah, gubernur, wali kota, untuk menyediakan jaminan sosial ketenagakerjaan. Salah satu item atau jenis ketenagakerjaan yang harus mendapatkan jaminan sosial itu adalah penyelenggara pemilu,” ungkapnya.

Sebelum direkrut menjadi petugas KPPS, KPU bekerja sama dengan instansi pemerintah di level daerah dalam proses pemeriksaan kesehatan. Di sisi lain, dia mengaku terbantu dengan keberadaan para saksi yang dihadirkan oleh tim pasangan capres-cawapres dan partai politik.

“Karena yang menjaga semakin banyak, saksi, tim hukum, kemudian kuasa hukum, dalam rangka untuk sama-sama menjaga integritas proses dan integritas hasil Pemilu,” tutur Hasyim.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri