tirto.id - Pemilu 2019 sudah selesai digelar. Meski diklaim berjalan lancar, pemilu yang digelar serentak pertama kali ini tak bisa disebut tanpa masalah. Setidaknya, demikian yang diutarakan Komisioner Bawaslu, Mochammad Afifuddin.
Sejauh ini, Bawaslu sudah memproses 7.132 kasus dugaan pelanggaran pemilu yang terjadi selama masa kampanye hingga pencoblosan. Dari jumlah tersebut, pelanggaran paling banyak terjadi di Jawa Timur dengan 3.002 temuan, disusul Sulawesi Selatan (772 kasus), Jawa Barat (514 temuan), Sulawesi Tengah (475 temuan), dan Jawa Tengah (399 temuan).
Kasus pelanggaran pemilu ini melibatkan banyak kalangan mulai dari ASN, TNI, Polri, hingga para calon yang berkompetisi. 100 kasus di antaranya bahkan sudah divonis pengadilan.
“77 putusan inkrah, dan 23 putusan banding atau sedang proses,” kata Afifuddin dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/4/2019).
Di luar kasus tersebut, banyak pula kasus lain yang mencuat setelah pencoblosan mulai dari dugaan penggelembungan suara hingga pembakaran kotak dan surat suara seperti yang terjadi di Distrik Tingginambut, Papua.
Muncul Ide Pembentukan TPF dan Pansus
Beragam kasus yang muncul ini membuat pegiat demokrasi sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar mencetuskan ide pembentukan tim independen untuk menginvestigasi segala macam keganjilan dalam perhelatan pesta demokrasi 5 tahunan ini.
Haris mengusulkan segera dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menyelidiki dugaan-dugaan kecurangan selama pemilu diselenggarakan.
"Karena petunjuk kecurangan ada di mana-mana, lewat sosial media dan dilakukan juga oleh 02 [Kubu Prabowo-Sandi]. Ini bisa mengarah pada segregasi sosial," ujar Haris kepada reporter Tirto.
Haris menyebut TPF harus diisi kalangan profesional yang mampu bersikap netral dan punya kompas moral yang baik. Komposisi tersebut menjadi penting dipertimbangkan lantaran dugaan kecurangan dalam pemilu ini sudah membikin masyarakat terbelah.
Ia juga menyebut TPF tetap penting meski sudah ada Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sebab, Bawaslu dan DKPP hanya fokus menangani kasus per kasus.
"Harus ada yang bisa melihat lebih jauh di belakang berbagai kesalahan dan kecurangan. Kalau komisi-komisi negara tidak mau membentuk TPF, ya masyarakat bisa lakukan hal tersebut," tuturnya.
Ide serupa tapi beda wujud muncul di DPR. Adalah Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang mewacanakan pembentukan panitia khusus DPR buat mengusut dugaan kecurangan pemilu. Fadli bahkan menuding kecurangan pada Pemilu 2019 ini tampak terstruktur, sistematis, masif, dan brutal dari mulai prapelaksanaan, pelaksanaan dan pascapelaksanaan pemilu.
"[Pansus] bisa menjadi sebuah alat investigasi dan bisa menelusuri kelemahan dari sistem, prosedur dan sebagainya. Sehingga kita bisa mengevaluasi agar tidak ada lagi pemilu seperti sekarang ini," kata Fadli, Selasa kemarin.
Meskipun DPR periode 2014-2019 sudah memasuki masa akhir, Fadli mengatakan, dirinya tetap akan mengusulkan dibentukan pansus DPR kepada fraksi lainnya pada saat pertemuan nanti setelah masa reses.
"Kalau misalnya teman-teman [DPR] itu menyetujui, akan bagus untuk evaluasi ke depan. Sebuah pansus [DPR] tentang kecurangan pemilu," tuturnya.
Makan Banyak Waktu?
Munculnya ide tentang TPF atau pansus kecurangan pemilu dinilai pengajar politik dari UGM Arya Budi sebagai hal yang wajar. Pansus atau TPF, kata dia, bisa membantu tugas penyelenggara pemilu maupun MK yang bakal fokus memproses dan menyidangkan sengketa.
Namun, Arya lebih setuju dengan ide pembentukan TPF. Ia beralasan Pansus DPR berpotensi mengintervensi perkara sebab ada kepentingan partai yang malah membuat proses pengusutan jadi berlarut-larut.
"Tapi TPF itu harus ada dari komisioner, elemen dari penyelenggara, elemen dari pengawas, sehingga mereka tidak memulai dari nol," kata Arya kepada reporter Tirto.
Meski begitu, Arya menilai pembentukan TPF ini bukanlah hal mudah. Selain akan memakan waktu dalam pembentukannya, kerja-kerja TPF pun diprediksi berjalan lama. Ia malah menyarankan penanganan beragam kasus ini diserahkan kepada institusi yang memang sudah menangani hal itu seperti Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
"Itu satu-satunya cara yang harus ditempuh, kalau tidak, durasi terminnya tidak akan terkejar. Sedangkan pejabat memiliki waktu tenor yang disegerakan. Sehingga konflik tidak berkepanjangan dan diberikan solusi," ucap Arya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan & Mufti Sholih