Menuju konten utama

Ramai Wamen Rangkap Jabatan Komisaris BUMN, Apa Kata Regulasi?

Praktik rangkap jabatan oleh wakil menteri sebagai komisaris di perusahaan BUMN menjadi perhatian publik. Apa kata aturan soal ini?

Ramai Wamen Rangkap Jabatan Komisaris BUMN, Apa Kata Regulasi?
Kantor Kementerian BUMN. (FOTO/Yohanes Hasiholan)

tirto.id - Praktik rangkap jabatan oleh sejumlah wakil menteri sebagai komisaris di perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) kembali menjadi perhatian publik. Isu ini mengemuka seiring dengan pengangkatan beberapa wakil menteri ke dalam jajaran komisaris perusahaan pelat merah dalam kurun waktu yang berdekatan.

Salah satu kasus terbaru terjadi dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk yang berlangsung pada Selasa (27/52025). Dalam rapat tersebut, Telkom resmi mengangkat Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo, sebagai Komisaris Utama.

Selain itu, berdasarkan informasi dari situs resmi perusahaan, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Ossy Dermawan, juga tercatat menjabat sebagai komisaris di Telkom.

Hanya sehari berselang, pada Rabu (28/5/2025) dalam RUPST anak usaha Telkom, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), kembali diumumkan pengangkatan dua wakil menteri sebagai komisaris. Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, ditunjuk sebagai Komisaris Utama Telkomsel, sementara Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Ahmad Riza Patria, turut ditetapkan sebagai komisaris perusahaan tersebut.

Dua wakil menteri dari Kementerian BUMN juga diketahui merangkap jabatan serupa. Kartika Wirjoatmodjo telah ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dalam RUPST yang digelar pada Maret 2025, sedangkan Aminuddin Ma’ruf menjabat sebagai komisaris di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Prabowo panggil sejumlah tokoh ke Kertanegara

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyapa wartawan setibanya di kediaman Presiden Terpilih Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Selasa (15/10/2024). Presiden Terpilih Prabowo Subianto memanggil sejumlah tokoh yang diyakini bakal menjadi wakil menteri untuk pemerintahan baru ke depan. ANTARA FOTO/Fauzan/YU

Selain nama-nama yang telah disebutkan sebelumnya, Tirto juga mencatat sejumlah wakil menteri lain yang merangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai perusahaan BUMN. Beberapa di antaranya diangkat menjadi komisaris sebelum dilantik sebagai wakil menteri, sementara sebagian lainnya justru mendapat penunjukan setelah menduduki jabatan tersebut.

Di antara mereka adalah Dony Oskaria, Wakil Menteri BUMN yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama PT Pertamina (Persero). Diana Kusumastuti, yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pekerjaan Umum, tercatat sebagai Komisaris Utama PT Brantas Abipraya. Suntana, Wakil Menteri Perhubungan, merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo).

Ada lagi Didit Herdiawan, Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan, menjabat sebagai Komisaris Utama PT Perikanan Indonesia. Sementara itu, Silmy Karim, yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, tercatat sebagai Komisaris di PT Telkom Indonesia (Persero).

Nama lainnya termasuk Yuliot, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang juga menjabat sebagai Komisaris Bank Mandiri. Helvi Yuni Moraza, Wakil Menteri Koperasi dan UMKM, menduduki posisi Komisaris di Bank Rakyat Indonesia (BRI). Fahri Hamzah, Wakil Menteri Perumahan Rakyat, merangkap sebagai Komisaris di Bank Tabungan Negara (BTN). Dante Saksono Harbuwono, Wakil Menteri Kesehatan, menjabat sebagai Komisaris di PT Pertamina Bina Medika Indonesia Healthcare Corporation (IHC). Sudaryono, Wakil Menteri Pertanian, menjabat sebagai Kepala Dewan Pengawas Perum Bulog.

Lalu, bagaimana regulasi yang mengatur soal rangkap jabatan wakil menteri di posisi komisaris BUMN?

Regulasi yang Mengatur

Peneliti bidang hukum dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Saleh, menilai praktik rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris di perusahaan BUMN memiliki persoalan mendasar secara hukum dan tata kelola.

Ia menekankan, meskipun larangan secara eksplisit belum tertuang dalam Undang-Undang Kementerian Negara, namun rujukan yuridis yang relevan tetap tersedia dan bersifat mengikat. Sebagai konteks, Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sebenarnya telah secara tegas melarang menteri untuk merangkap jabatan.

Larangan itu mencakup menjadi pejabat negara lain, komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun perusahaan swasta, serta pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN atau APBD. Namun, aturan tersebut tidak secara eksplisit menyebut larangan serupa bagi wakil menteri, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktiknya.

“Kalau dilihat dari sisi hukum, kita perlu merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019,” ujar Saleh saat dihubungi Tirto, Rabu (4/6/2025).

Saleh menjelaskan, dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, khususnya pada halaman 96, Mahkamah secara tegas menyatakan bahwa larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008, juga seharusnya berlaku bagi wakil menteri.

“Putusan MK itu mengikat tidak hanya pada amar putusan. Karena dia Pejabat Negara, diangkat oleh Presiden, bertanggung jawab kepada Presiden dan Menteri, maka larangan yang diatur dalam pasal 23 Undang-Undang No 39 Tahun 2008, itu harus dimaknai juga menjadi larangan bagi wakil menteri,” ujarnya.

MK sidangkan total 297 PHPU Pileg 2024

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic (kiri) dan Guntur Hamzah (kanan) memimpin jalannya sidang perdana perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di Ruang Sidang Panel 1, Gedung MK, Jakarta, Selasa (30/4/2024). Dalam Pileg 2024 ini MK menangani 297 perkara PHPU atau lebih banyak dibandingkan dalam Pileg 2019 yang mencapai 260 perkara sengketa PHPU. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.

Tak hanya itu, Saleh juga menyoroti aspek etika dan prinsip tata kelola yang diatur dalam regulasi lainnya. Misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa setiap pejabat pemerintahan wajib menaati asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Prinsip-prinsip tersebut antara lain mencakup kapasitas yang memadai, bebas dari konflik kepentingan, dan larangan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). “Nah ini kan norma yang memang tidak eksplisit, tetapi bisa menjadi prinsip panduan penyelenggaran pemerintahan,” ujarnya.

Ia juga mengacu pada Tap MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang menekankan pentingnya integritas dalam penyelenggaraan jabatan publik, termasuk dalam pengambilan keputusan dan keterlibatan dalam aktivitas ekonomi. Menurutnya, kaburnya batas antara peran pengambil kebijakan dan pelaku bisnis merupakan ancaman serius bagi prinsip good governance.

Lebih jauh, Saleh mempertanyakan apa sebenarnya yang membedakan secara prinsipil antara menteri dan wakil menteri dalam hal tanggung jawab dan wewenang. “Keduanya adalah pejabat negara yang sama-sama bisa merumuskan dan mengambil kebijakan. Maka, larangan yang berlaku untuk menteri mestinya juga berlaku bagi wakil menteri,” pungkasnya.

Perlu Ada Aturan Tegas

Menukil situs resmi MK, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES), Juhaidy Rizaldy Roringkon, menilai kekosongan norma dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, khususnya terkait larangan bagi wakil menteri untuk merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN, telah menciptakan ketidakpastian hukum dan berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.

Atas dasar itu, Juhaidy mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 23 UU Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi.

“Pertimbangan hukum MK Nomor 80 Tahun 2019 yang telah secara tegas melarang rangkap jabatan wakil menteri tetapi hal ini tidak dilaksanakan oleh Pemerintah dan semua pihak yang berkepentingan. Bahwa ketidakpastian hukum dan ketidakadilan ini terjadi karena tidak diamarkannya larangan rangkap jabatan wakil menteri tetapi hal ini tidak dilaksanakan oleh pemerintah dan seluruh pihak yang berkepentingan," ujar Juhaidy, Selasa (5/5/2025) dilansir dari situs resmi MK.

Ia menambahkan, tidak adanya norma eksplisit yang melarang wakil menteri untuk menduduki jabatan komisaris telah menyebabkan praktik rangkap jabatan semakin dianggap lumrah dalam struktur penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini berpotensi menciptakan konflik kepentingan, terutama ketika wakil menteri sebagai pejabat publik juga menerima penghasilan dari perusahaan yang diawasi negara.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, ia meminta MK menyatakan frasa “Menteri” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 Kementerian Negara bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Menteri dan Wakil Menteri”.

Sehingga Pasal 23 UU Kementerian Negara menjadi berbunyi:

“Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah,” seperti yang dikutip dari situs resmi MK.

Rawan Konflik Kepentingan

Kritik tajam terhadap praktik rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN turut disampaikan oleh Direktur Next Policy, Herry Gunawan. Menurutnya, praktik ini seolah didorong oleh euforia pasca-berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang mengubah status hukum BUMN menjadi badan hukum privat.

“Mungkin pemerintah beralasan, karena BUMN saat ini berstatus sebagai badan privat -dalam arti tidak ada kepemilikan pemerintah secara langsung- lantaran sudah ke Danantara, maka wakil menteri ramai-ramai jadi komisaris,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (4/6/2025).

Ia memaparkan tiga alasan utama mengapa rangkap jabatan wakil menteri ini tidak bisa dibenarkan. Pertama, terdapat benturan kepentingan yang jelas karena wakil menteri, sebagai regulator, merangkap sebagai komisaris yang merupakan bagian dari operator. Hal ini dapat membuka celah bagi disfungsi pengawasan dan penyembunyian pelanggaran di perusahaan.

“Kedua, UU Kementerian Negara No. 39 Tahun 2008 sudah jelas melarang Menteri menjadi komosaris atau direksi di perusahaan negara atau perusahaan swasta (privat) (Pasal 23),” katanya.

Ketiga, praktik ini berpotensi menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat karena kedekatan antara pejabat publik dan kepentingan korporasi. Lebih jauh, Herry menyebut praktik ini bukan sekadar gratifikasi atau pelanggaran etik biasa. Ia menilai, dalam konteks tertentu, rangkap jabatan oleh pejabat negara di perusahaan yang diawasi atau berhubungan langsung dengan kementeriannya dapat dikategorikan sebagai bentuk suap terselubung.

“Dengan alasan itu, menurut saya, rangkap jabatan para menteri itu merupakan bentuk suap perusahaan/swasta kepada pejabat negara. Lebih dari sekadar gratifikasi,” ujarnya.

Hasan Nasbi
Hasan Nasbi

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, mengatakan tidak ada ketentuan pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80 Tahun 2019 yang secara eksplisit melarang wakil menteri rangkap jabatan. Kata Hasan, memang dalam pertimbangan putusan terdapat frasa yang mengarah ke sana, namun bunyi putusan tidak melarang hal tersebut.

"Yang jelas sampai hari ini, di putusan MK nomor 80 tahun 2019, tidak ada bunyi putusan yang melarang itu. Itu clear. Di pertimbangan ada kata-kata yang seperti itu, tapi dalam putusan tidak ada," kata Hasan Nasbi dalam konferensi pers di Kantor PCO, Jakarta, Selasa (3/6/2025).

Hasan menambahkan bahwa, anggota kabinet seperti menteri maupun dirinya memang tidak diperbolehkan untuk merangkap jabatan. Namun, untuk wakil menteri secara aturan masih diperbolehkan. Terkait dengan masyarakat yang menggugat putusan itu, Hasan Nasbi pun mempersilakan. Baginya, hal itu adalah hak konstitusi warga negara.

"Tapi hari ini perkeputusan itu dibuat, minggu kemarin ya, perkeputusan itu dibuat itu tidak melanggar aturan apapun. Jadi kalau anggota kabinet, kepala PCO, enggak boleh memang," tutur Hasan Nasbi.

Baca juga artikel terkait KASUS RANGKAP JABATAN atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang