tirto.id - Fenomena calon tunggal di Pilkada 2024 tetap marak setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/2024 melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Hingga hari terakhir masa pendaftaran bakal calon kepala daerah, Kamis (29/8/2024), Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat sekitar 48 daerah di Indonesia memiliki calon tunggal. Artinya, masih terdapat puluhan paslon yang kemungkinan bertarung melawan kotak kosong di pilkada.
"Dari 37 provinsi hanya ada satu yang hanya memiliki satu pasangan calon yaitu di Papua Barat," kata Komisioner KPU, Idham Holik, di Sorong, Papua Barat Daya, Jumat (30/8/2024), dikutip dari Antara.
Idham menerangkan, ada sebanyak 1.518 bakal paslon kepala daerah mendaftarkan diri mengikuti Pilkada serentak 2024, sejak dibuka 27 Agustus 2024 hingga ditutup 29 Agustus 2024. Ia merinci, provinsi yang menggelar Pilkada serentak 2024 berjumlah 37 provinsi dengan jumlah pendaftar sebanyak 101 paslon.
Sementara itu, pada tingkat kabupaten, ada 415 daerah penyelenggara pilkada dengan total 1.133 paslon. Adapun pada tingkat kota terdapat 93 dengan jumlah 277 paslon.
Dengan demikian, hingga hari terakhir pendaftaran cakada, ada sebanyak 48 daerah yang hanya memiliki satu paslon alias calon tunggal. Dengan rincian sebanyak 42 di kabupaten, 5 di tingkat kota dan 1 pilkada provinsi.
Idham memastikan, proses pendaftaran paslon kepala daerah yang dilangsungkan selama tiga hari, berjalan lancar dan tanpa ada gesekan yang berarti.
"Semua dapat tertangani walaupun memang di beberapa daerah sempat ada kendala. Terutama persoalan administrasi misalnya formulir model B parpol datangnya terlambat," kata Idham.
Putusan MK 60/2024 yang diadopsi dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8/204 sejatinya diharapkan membuat fenomena calon tunggal berkurang. Lewat putusan tersebut, MK menyatakan partai politik (parpol) yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah.
Penghitungan syarat ambang batas pencalonan pasangan kepala daerah didasarkan hasil perolehan suara sah parpol atau gabungan parpol dalam pemilu, dengan persentase mulai dari 6,5 hingga 10 persen tergantung dari jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap. Kelonggaran syarat ini tentu memberikan harapan lebih banyak bagi parpol atau gabungan parpol untuk dapat mengusung bakal paslon kepala daerah.
Kendati demikian, jumlah calon tunggal dalam Pilkada 2024 masih tinggi dan cenderung ada peningkatan jika dibandingkan pilkada sebelumnya. Pada tahun 2015, hanya ada 3 daerah yang memiliki calon tunggal melawan kotak kosong. Angka ini tergolong rendah karena saat itu ada 269 daerah yang melakukan pilkada.
Setelah itu, calon tunggal di Pilkada 2017 tercatat terjadi di 9 daerah dari 101 daerah yang melaksanakan pilkada. Setahun berikutnya meningkat menjadi sebanyak 16 daerah dengan calon tunggal dari 171 daerah yang melaksanakan pilkada.
Adapun di Pilkada 2020, ada 25 daerah yang diikuti oleh calon tunggal dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada. Jika melihat angka tersebut, sejak 2015-2022 total ada 53 calon tunggal yang mengikuti kontestasi pilkada melawan kotak kosong.
Sepanjang itu, hanya ada satu kali kemenangan kotak kosong melawan calon tunggal, yakni di Makassar pada Pilkada 2018. Kemenangan kotak kosong tidak terulang di Pilkada 2020, yang mengindikasikan calon tunggal di pilkada memang dipastikan dapat menang mudah.
Pragmatisme Parpol
Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, memandang peningkatan jumlah calon tunggal di Pilkada 2024 sudah diprediksi sebelumnya. Meski sudah ada putusan MK, kata dia, fenomena peningkatan calon tunggal ini tidak mengejutkan meski amat disayangkan.
Menurutnya, meningkatnya jumlah calon tunggal tahun ini disebabkan akutnya pragmatisme dari parpol yang cuma mengejar benefit politik dan ekonomi di pilkada. Parpol masih begitu takut menghadapi risiko kekalahan jika mengajukan kader mereka sendiri.
“Kali ini semakin mengkonfirmasi banyak parpol yang tidak memiliki kader yang berkualitas. Ini merupakan kegagalan terbesar parpol yang mengklaim dirinya sebagai rumah produksi calon pemimpin,” kata Kholil kepada reporter Tirto, Jumat (30/8/2024).
Selain itu, fenomena ini bakal berimbas pada penurunan kepercayaan masyarakat kepada parpol sebagai akibat dari perilaku politisi yang tidak berhasil mereformasi diri ke arah yang lebih baik dan demokratis.
“Dari semakin meningkatnya jumlah calon tunggal juga karena masih begitu tingginya biaya politik dari setiap kontestasi,” terang Kholil.
Ia berharap agar skema calon tunggal jangan menjadi pilihan strategi favorit parpol-parpol meraup keuntungan politik dan ekonomi lewat pilkada. Harus dilakukan pembenahan agar hadir edukasi politik yang baik di masyarakat sebagai konstituen.
Kholil berpendapat, harus ada pengaturan batas maksimal persentase jumlah suara parpol atau gabungan parpol yang mencalonkan paslon. Putusan MK 60/2024 hanya mengatur ambang batas minimal persentase suara parpol atau gabungan parpol sebagai syarat agar dapat melakukan pendaftaran paslon.
“Dengan adanya pengaturan ambang batas maksimal tersebut, membatasi menumpuknya banyak partai dalam satu koalisi pencalonan,” ujar Kholil.
Lebih lanjut, kata dia, perlu diatur sanksi bagi parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat mengajukan paslon tetapi enggan mendaftarkan paslon. Aturan itu bakal mirip seperti syarat pengajuan pasangan calon dalam pemilihan presiden (pilpres).
“Perlu ditata ulang soal keuangan politik sehingga biaya politik yang harus ditanggung oleh calon atau partai/gabungan partai lebih rasional dan bisa dipertanggungjawabkan,” lanjut dia.
Sentralisasi Lobi
Di sisi lain, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Rendy NS Umboh, memandang putusan MK 60/2024 sebetulnya sudah berhasil dalam menekan lahirnya skema calon tunggal melawan kotak kosong terjadi lebih masif. Dalam pandangan Rendy, jika tak ada putusan MK, calon tunggal yang muncul karena kehadiran koalisi gemuk di tingkat lokal justru bakal bejibun.
“Jadi, kalau ada yang bertanya, ‘oh mengapa masih ada?’ Masih ada karena memang ada ketersediaan ruang untuk calon tunggal. Nah, norma itu kan dibuat karena fenomena itu, ada kemungkinan memang terjadi,” ucap Rendy kepada reporter Tirto, Jumat.
Rendy mengingatkan bahwa calon tunggal masih diakomodir dalam pasal 54c UU Pilkada. Norma itu memang dimasukkan untuk menghadapi kondisi-kondisi di mana hanya ada satu bakal paslon yang berlaga di daerah tersebut.
Kondisi itu misalnya, setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat satu paslon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian paslon tersebut dinyatakan memenuhi syarat.
Sebagai informasi, KPU tetap akan memberikan kesempatan masa perpanjangan pendaftaran di daerah yang sampai hari terakhir masa pendaftaran cuma terdapat satu paslon.
Kondisi itu diatur dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pilkada, masa perpanjangan pendaftaran calon kepala daerah dilakukan tiga hari pada 2-4 September mendatang. Masa pendaftaran akan didahului dengan sosialisasi selama tiga hari.
“Harus kita akui dan harus kita lihat secara jelas bahwa terjadi penurunan fenomena kotak kosong dari keseluruhan total pilkada daerah dari 2015 sampai 2020 itu. Dari total 53 jadi 48 di tahun ini setelah putusan MK,” ungkap Rendy.
Rendy memandang, bila putusan MK 60/2024 tidak diadopsi, koalisi gemuk parpol-parpol bisa mengatur skema calon tunggal di ratusan daerah. Pasalnya, lobi-lobi bakal paslon di daerah masih sangat tersentralisasi di tingkat pusat kepengurusan parpol.
Ia berharap, ke depan ada ius constituendum atau hukum yang dicita-citakan untuk merevisi UU Pilkada lebih tegas melarang skema calon tunggal atau melawan kotak kosong. Rendy menilai, fenomena melawan kotak kosong merusak prinsip demokrasi di mana masyarakat berhak memilih dan membandingkan calon kepada daerah terbaik.
“Regulasi ambang batas saja bisa diubah, maka sebetulnya regulasi lain juga bisa,” kata dia.
Kartelisasi Politik
Ahli hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai fenomena calon tunggal melawan kotak kosong adalah bukti kartelisasi politik belum hilang. Putusan MK 60/2024, memang dinilai Castro – sapaan akrabnya – tidak benar-benar membuat calon tunggal di pilkada lenyap.
“Putusan MK tidak ex-officio menghilangkan kotak kosong, karena hanya mengurangi syarat threshold untuk pencalonan. Bagi saya, kartel politik tetap mengendalikan partai-partai,” kata Castro kepada reporter Tirto, Jumat.
Menang atau kalah, kata Castro, kartel politik tetap diuntungkan dalam pilkada. Jika mereka kalah, penjabat daerah masih dapat diangkat sesuai selera dan kepentingan kartel politik.
“Itu intensi kenapa calon tunggal ini didorong. Di lain sisi, partai-partai tidak punya ideologi yang kuat sehingga tidak mampu bertarung dengan para kartel politik,” ucap Castro.
Ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menyatakan bahwa calon tunggal di pilkada membuat masyarakat apatis dan tidak percaya pada institusi parpol. Parpol gagal dalam kaderisasi dan rekrutmen politik yang seharusnya memberi keragaman pilihan politik bagi warga.
Selain itu, masyarakat menjadi skeptis dengan proses pilkada karena dianggap jauh dari esensi kompetisi dan tidak memenuhi ekspektasi munculnya adu gagasan antarkandidat karena hanya diikuti satu paslon atau calon tunggal.
“Sehingga, partisipasi dan keterlibatan masyarakat menjadi tantangan besar. Namun di saat yang sama, dengan sosialisasi masif dan tepat sasaran, bisa saja masyarakat membangun gerakan politik aktif untuk mendukung kotak kosong sebagai ekspresi politik,” ujar Titi kepada reporter Tirto, Jumat.
Titi menilai, KPU punya tantangan besar mengelola pilkada dengan calon tunggal. Bagaimana mereka mampu menghadirkan geliat pilkada yang dinamis dan kompetitif di tengah hadirnya satu pasangan calon saja.
Oleh karena itu, kata dia, KPU perlu melakukan sosialisasi masif soal cara kerja pilkada dengan calon tunggal. Bahwa pemilih tetap punya dua pilihan, yakni memilih calon tunggal atau memilih kotak kosong.
“Perlu didorong kehadiran pemantau pilkada terakreditasi sebab pemantau terakreditasi bisa melakukan pengawasan aktif pilkada calon tunggal. Bahkan bisa punya legal standing di MK apabila ada perselisihan hasil yang sampai bermuara ke MK,” pungkas Titi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky