tirto.id - Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Pemerintah telah menyetujui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Persetujuan itu diambil dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Minggu (25/8/2024) dengan agenda tunggal pembahasan Rancangan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 yang mengakomodasi Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
PKPU Nomor 10/2024 memuat Putusan MK Nomor 60/PUU/XXII/2024 tentang syarat partai atau gabungan partai yang dapat mengusung calon pada Pilkada 2024, serta Putusan MK Nomor 70/PUU/XXII/2024 terkait syarat batas usia Calon Gubernur dan Calon Bupati/Wali Kota dan Calon Wakil Bupati/Wakil Wali Kota.
“Sekarang, kita sudah punya peraturan yang lengkap dari peraturan prinsip UU, di mana yang terakhir itu berdasarkan Putusan MK Nomor 60 dan 70, dan juga sudah diikuti oleh peraturan uji teknis PKPU tentang pencalonan kepala daerah,” ujar Ketua Komisi II, Ahmad Doli Kurnia, di Kompleks DPR RI, Jakarta, Minggu (25/8/2024).
Doli menyebut bahwa proses penyusunan PKPU yang baru tersebut menjadi sejarah dalam penegakan konstitusi di Indonesia.
“Saya kira inilah proses sejarah yang luar biasa. Kita menegakkan konstitusi kita. Kita menjaga serta merawat demokrasi di Republik Indonesia yang kita cintai,” ujar dia.
Namun, pernyataan Doli tersebut dinilai hanya sebagai pemanis untuk meredam tekanan masyarakat. Alih-alih menegakkan konstitusi, DPR sendirilah yang sebenarnya justru mencoreng konstitusi RI lewat revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Masyarakat Indonesia tak akan lupa bahwa DPR-lah yang secara ugal-ugalan hendak merevisi UU Pilkada usai terbitnya Putusan MK Nomor 60/2024 dan Nomor 70/2024. Untunglah, berkat protes dan tekanan kuat dari rakyat, revisi UU Pilkada tersebut urung disahkan dan Putusan MK tetap diakomodasi dalam PKPU Nomor 10/2024.
“Karena dari awal, DPR-lah yang kemudian membahas ini sebagai respons panik. Kita lihat dari pembacaan Putusan MK Nomor 60 dan Nomor 70. Respon paniknya itu terlihat tiba-tiba membahas revisi UU Pilkada yang mana bertentangan jauh dengan yang ditentukan dalam Putusan MK,” ujar peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz, kepada Tirto, Senin (26/8/2024).
DPR Bukan Pahlawan
Menurut Kahfi, DPR—juga parpol-parpol di dalamnya—tidak pantas merasa jadi pahlawan setelah menyetujui PKPU Nomor 10/2024. Padahal, pahlawan sebenarnya adalah mereka yang turun ke jalan memprotes upaya lancung Badan Legislasi (Baleg) DPR membahas revisi UU Pilkada.
“Yang ingin saya katakan adalah DPR jangan sok patenlah. Artinya, jangan sok merasa kemudian menjadi pahlawan kesiangan,” tegas dia.
Kahfi menjelaskan bahwa usai terbitnya Putusan MK, KPU memang wajib berkonsultasi dengan DPR untuk membuat draf PKPU. Namun, KPU tidak wajib menunggu keputusan DPR. DPR pun tidak punya kewenangan untuk menyetujuinya.
“Di dalam surat dan kemudian ditandatangani, ada Kemendagri, ada DPR, dan sebagiannya. Mereka tidak bisa menyetujui itu. KPU bisa langsung jalan tanpa persetujuan DPR. Maka DPR tidak bisa merasa heroik,” jelanya.
Menurut Kahfi, masyarakat juga pasti tidak memercayai klaim DPR. Pasalnya, pihak yang dari awal tidak mengindahkan Putusan MK adalah DPR danPemerintah.
“Yang jadi inti poinnya adalah bagaimana Putusan MK itu menjaga independensi KPU. Apa pun yang KPU lakukan harus melalui konsultasi, tapi tidak usah persetujuan dari DPR ataupun Kemendagri sebagai perwakilan dari Pemerintah,” jelas dia.
Peneliti Perludem lainnya, Annisa Alfath, menambahkan bahwa dalam hal pembuatan PKPU, keliru apabila menunggupersetujuan DPR dan beberapa kementerian. PKPU seharusnya dibuat berdasarkanPutusan MK. Apabila ada forum bersama DPR, bukan berarti KPU harus tunduk pada DPR.
“Diksi ‘menyetujui’ di sini seolah-olah KPU keputusannya diintervensi kemandiriannya oleh DPR. Jadi, sebenarnya bukan DPR yang seharusnya diapresiasi ya, tapi MK yang dengan Putusan Nomor 60 dan Putusan Nomor 70 yang sifatnya final dan mengikat itu memberikan landasan hukum untuk menciptakan pilkada yang adil dan demokratis,” tegas Annisa kepada Tirto, Senin (26/8/2024).
DPR Hanya Cuci Tangan
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai DPR—lembaga yang semua anggotanya adalah politisi—sedang “cuci tangan” untuk menebus kesalahan yang ia lakukan. Pasalnya, ketika rakyat Indonesia bersorak girang menyambut Putusan MK, DPR justru malah sibuk bersiasat untuk menolak atau mengakalinya.
“[Persetujuan atas PKPU Nomor 10/2024] itu aksi ‘cuci tangan’ untuk kesalahan yang dilakukan agar menjadi sesuatu yang biasa,” jelas Lucius kepada Tirto, Senin (26/8/2024).
Menurut Lucius, pernyataan sok pahlawan itu adalah tingkah memalukan dari anggota DPR usai momentum aksi menyelamatkan konstitusi beberapa hari kemarin. Pernyataan itu pun sesungguhnya secara etik meruntuhkan maruah DPR sebagai lembaga perwakilan.
DPR bernarasi seolah-olah mereka peduli dengan apa yang diperjuangkan masyarakat, tapi tak sampai memahami bahwa merekalah sumber masalah sebenarnya.
“Tanpa rasa bersalah sedikit pun, mereka menyetujui PKPU sekaligus mengandung sikap konstitusional. [Padahal], massa demonstran dua hari sebelumnya menyampaikan sikap penolakan terhadap upaya DPR merevisi UU Pilkada,” jelas Lucius.
Menurut Lucius, publik tak perlu menghiraukan pernyataan Ketua Komisi II DPR sebelumnya. Sekuat apa pun DPR dan anggota-anggotanya mencitrakan diri sebagai pahlawan konstitusi, publik sesungguhnya sudah terlebih dahulu mendakwa mereka sebagai biang upaya perusakan konstitusi.
“Kalau mereka ingin tampil sebagai pahlawan, publik sudah paham kalau mereka cuma pahlawan kesiangan saja. Mereka adalah pemimpi dan penghayal konstitusi karena tanpa rakyat mereka sesungguhnya telah bersekongkol mengangkangi konstitusi,” tegas Lucius.
Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, mengatakan bahwa DPR seharusnya sedari awal mengikuti Putusan MK, bukan malahmelakukannya setelah terjadi protes massa.
“Seharusnya, DPR memang sedari awal mendengarkan aspirasi publik gitu ya,” ujar dia kepada Tirto, Senin (26/8/2024).
Tapi setidaknya, kata Arfianto, gelombang aksi yang besar selamabeberapa hari lalu dapat memaksa DPR kembali ke peran dan fungsinya yang benar. Gelombang aksi rakyat tersebut sekaligus juga mengawalIndonesia sebagai negara konstitusi, bukan negara despotik yang hanya mengikuti kemauan dari oligark-oligark politik.
“Oleh karena itu, sebenarnya dengan belajar dari pengalaman kemarin setidaknya masyarakat harus memiliki awareness cukup tinggi untuk mengawal segala bentuk proses pembuatan aturan perundang-undangan yang dibahas maupun yang akan disahkan oleh DPR,” pungkas Arfianto.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi