tirto.id - Puluhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengritik kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait arah kebijakan kesehatan dan pendidikan dokter yang dinilai berisiko menurunkan mutu pendidikan kedokteran dan berdampak pada kualitas layanan kesehatan. Total lebih dari 70 Guru Besar FKUI ini menilai, kebijakan nasional kesehatan Indonesia sudah menjauh dari semangat kolaboratif.
Setidaknya ada 6 keprihatinan yang diungkapkan Guru Besar FKUI. Pertama, mereka menyoroti sikap pemerintah yang ingin menyederhanakan pendidikan dokter dan dokter spesialis.
"Pendidikan dokter bukan lah proses sederhana, melainkan perjalanan akademik panjang yang hanya dapat terwujud melalui rumah sakit pendidikan yang hanya dapat terwujud melalui rumah sakit pendidikan yang mengintegrasikan pelayanan, pengajaran, dan penelitian sesuai standar global," ujar Ketua Dewan Guru Besar FKUI, Siti Setiati, saat membacakan pernyataan dengan nama Salemba Berseru di Gedung FKUI, Jakarta Jumat (16/5/2025).
Kedua, pendidikan dokter di luar sistem universitas memerlukan kerja sama erat dengan fakultas kedokteran. Tanpa sinergi yang baik, para guru besar khawatir muncul ketimpangan kualitas dokter.
Ketiga, pemisahan fungsi akademik dan rumah sakit pendidikan dapat mengancam proses pendidikan kedokteran. Siti beralasan, dosen selama ini berpraktik di rumah sakit pendidikan menjalankan peran pelayanan, pengajaran dan riset. Pemisahan peran dikhawatirkan menurunkan kualitas pembelajaran mahasiswa kedokteran dan dokter muda.
Keempat, para guru besar meyakini pelayanan kesehatan baik hanya dapat diberikan oleh tenaga medis yang dididik dengan standar tinggi. Jika mutu pendidikan dokter dan spesialis diturunkan, kualitas pelayanan kesehatan akan ikut menurun.
Kelima, para guru besar ini menyoroti kebijakan pembentukan dan mutasi staf sebagai masalah serius. “Ketika RS Vertikal sudah ditetapkan sebagai RS Pendidikan Utama oleh Kemenkes, maka perubahan struktur termasuk pembentukan Departemen dan mutasi staf medis yang ada harus dikoordinasikan dengan pimpinan institusi pendidikan,” lanjut Siti.
Keenam, mereka mendesak agar Kolegium Kedokteran tetap independen. Para guru besar mengingatkan Kolegium Kedokteran berperan menjaga standar dan kompetensi pendidikan dokter dan dokter spesialis sehingga harus independen.
"Kolegium harus tetap mandiri dan bebas dari intervensi kebijakan yang tidak berbasis akademik maupun kepentingan jangka pendek. Jika peran kolegium dilemahkan, maka akan terjadi degradasi kualitas tenaga medis dan hilangnya kepercayaan publik terhadap profesi kedokteran di negeri sendiri,” kata Siti.
Setidaknya ada 5 seruan yang dituntut total lebih dari 70 Guru Besar FKUI itu:
1. Menjamin bahwa pendidikan dokter tetap berada dalam sistem akademik yang bermutu dan terstandar;
2. Melibatkan institusi pendidikan kedokteran secara aktif dan bermakna dalam setiap perumusan kebijakan, dengan pendekatan yang transparan dan berbasis bukti;
3. Tidak mengorbankan keselamatan pasien dan masa depan layanan kesehatan demi pencapaian target politik jangka pendek atau kepentingan populisme sesaat;
4. Menghentikan framing buruk terhadap profesi dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia yang akan menyebabkan penurunan kepercayaan pada dokter atau tenaga kesehatan bangsa sendiri dan ini dapat dimanfaatkan oleh pelayanan kesehatan negara lain;
5. Menegaskan pentingnya peran kolegium profesi kedokteran dan kedokteran spesialis sebagai lembaga independen yang berwenang dalam menjaga standar mutu pendidikan, kompetensi lulusan, serta sistem sertifikasi dan resertifikasi dokter dan dokter spesialis, agar tetap sejalan dengan kebutuhan pelayanan dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran secara global.
Menanggapi pernyataan para Guru Besar FKUI, Kemenkes menegaskan bahwa mereka sudah melibatkan banyak pihak, termasuk para dokter FKUI, dalam menyusun kebijakan reformasi layanan kesehatan. Kemenkes pun bersedia untuk berdialog apabila ada kritik.
“Kemenkes menyadari bahwa reformasi sistem kesehatan yang tengah berlangsung sejak diterbitkannya Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dapat menimbulkan perdebatan maupun kesalahpahaman. Karena itu, Kemenkes terus membuka rang dialog dan memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak demi mewujudkan sistem kesehatan yang lebih baik,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman dalam keterangan resminya pada Jumat (16/5/2025).
Aji mengatakan bahwa reformasi sistem Kemenkes bertujuan untuk memperluas akses masyarakat terhadap layanan kesehatan di seluruh pelosok Indonesia. Adapun terkait kebijakan Kemenkes, dia meyakini bahwa hal tersebut semata-mata untuk kepentingan masyarakat luas.
Aji juga menyinggung posisi kolegium yang didesak untuk kembali independen. Menurut dia, saat ini justru kolegium lebih independen dibandingkan sebelumnya dan tak berada di bawah Kemenkes.
“Sebelum UU 17/2023 tentang Kesehatan, kolegium berada di bawah organisasi profesi. Kini, kolegium menjadi alat kelengkapan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian kolegium tidak di bawah Kemenkes,” ujarnya.
“Proses pemilihan anggota kolegium yang ditetapkan pada Oktober 2024 dilakukan secara transparan melalui pemilihan langsung oleh tenaga medis/tenaga kesehatan,” sambungnya.
Lebih lanjut, Aji mengatakan bahwa Kemenkes tidak pernah bermaksud menimbulkan kesan negatif terhadap profesi dokter maupun tenaga kesehatan lainnya. Penjelasan yang disampaikan selama ini bertujuan untuk mengungkapkan fakta di lapangan, khususnya terkait proses pendidikan dokter spesialis, demi melindungi peserta didik dari praktik perundungan/kekerasan yang tidak sejalan dengan semangat profesionalisme.
“Seluruh langkah yang diambil Kemenkes merupakan bagian dari upaya mengatasi tantangan mendasar dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia-mulai dari akses, kualitas layanan, hingga pemerataan sumber daya manusia kesehatan yang masih perlu ditingkatkan,” tutup Aji.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Andrian Pratama Taher
Masuk tirto.id


































