Menuju konten utama

Menakar Risiko Dokter Umum Boleh Operasi Caesar

Tindakan seperti operasi caesar disebut sebagai intervensi bedah yang kompleks dan berisiko, sehingga harus dilakukan dokter spesialis obstetri terlatih.

Menakar Risiko Dokter Umum Boleh Operasi Caesar
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan paparan saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/4/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.

tirto.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum lama ini melontarkan usulan yang membolehkan dokter umum menangani lahiran dengan metode caesar. Bukan tanpa sebab, rencana ini disebut berangkat dari terbatasnya jumlah dokter spesialis di daerah dan dalam rangka menekan Angka Kematian Ibu (AKI) di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, mengatakan akan membuat pelatihan tindakan medis darurat terkait hal itu. Di sisi lain, dia pun menyatakan pihaknya bakal menyiapkan regulasi untuk memberi dokter umum kewenangan melakukan tindakan medis darurat.

“Yang saya minta adalah untuk daerah-daerah yang memang tidak ada spesialisnya, ratusan yang enggak ada spesialisnya, tolong dokter umumnya dilengkapi dengan kompetensi-kompetensi yang sifatnya menyelamatkan nyawa. Agar, kita tidak perlu lagi melihat masyarakat-masyarakat kita meninggal,” ujar Budi kepada wartawan usai Rapat Kerja dengan Komisi IX di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (14/5/2025).

Raker Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/4/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.

Budi bilang, wacana dokter umum bisa menangani persalinan muncul lantaran Presiden Prabowo Subianto meminta Kemenkes membuka 66 rumah sakit baru di daerah terpencil. Dia mencontohkan, kondisi darurat yang sering terjadi di wilayah-wilayah terpencil, seperti Pulau Taliabu, Anambas, Kolaka, pedalaman Sumba atau Flores, dan juga pedalaman Lampung, di mana ibu hamil kerap tak tertolong.

“Saya terakhir baru dari Lampung. Bupatinya, gubernurnya nunjukin video di mana dia mesti menggotong ibu-ibu hamil, naik perahu. Akhirnya tidak terlayani karena tidak ada dokternya. And see, some of them die dalam proses,” tutur Budi.

Persebaran Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi (SpOG) atau obgyn di Tanah Air memang diketahui masih terpusat di kota-kota besar. Data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per Kamis (15/5/2025) menunjukkan, dari total 5.626 dokter obgyn yang teregistrasi aktif, mayoritas berada di Jakarta (18,29 persen).

Beberapa provinsi tercatat tak memiliki SpOG, seperti Papua Barat, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Kendati tidak merata, jumlah dokter di bidang kesehatan reproduksi wanita, termasuk kehamilan dan persalinan, ini termasuk dokter spesialis terbanyak kedua, menyusul jumlah Dokter SpPD (spesialis penyakit dalam).

Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Yudi Mulyana Hidayat, mengonfirmasi soal banyaknya dokter obgyn di kota-kota besar dan minimnya dokter yang menyandang gelar ini di wilayah 3T.

Akan tetapi, alih-alih memberi kewenangan lewat pelatihan kepada dokter umum untuk menangani lahiran, menurut dr. Yudi, Kemenkes seharusnya mempunyai program inovasi bagaimana supaya dokter-dokter itu mau bekerja di daerah. Memperhatikan distribusi dokter obgyn semestinya jadi fokus utamanya.

Ilustrasi dokter

Ilustrasi dokter. FOTO/iStockphoto

“Artinya supaya teman-teman SpOG ini betah di daerah, semuanya Kementerian Kesehatan yang ada di pusat dengan pemerintah daerah itu harus bekerja sama,” ujar Yudi ketika dihubungi jurnalis Tirto, Kamis (15/5/2025).

Dukungan itu disebut bisa berbentuk insentif yang mumpuni dari pusat maupun daerah. Sebab, katanya, insentif yang ada sekarang terlalu kecil, sementara di pelosok tugas dokter sangatlah berat. Yudi menyampaikan kalau secara jumlah, dokter obgyn saat ini sebetulnya cukup untuk menempati fasilitas kesehatan di daerah.

“Untuk dokter spesialis 6.000 sudah cukup lah, walaupun masih kurang dari rasio dan penduduk, tapi untuk menempati fasilitas kesehatan di daerah itu cukup. Karena satu kabupaten minimal 2 saja, 1 atau 2 itu bisa gitu. Daripada kita harus mendidik dokter umum melakukan sectio itu kan aneh,” tuturnya.

Dengan jumlah daerah yang seharusnya tidak ada dokter obgyn tak sampai ratusan, menurut Yudi, upaya yang dilakukan cukup mendistribusikan dokter spesialis dan dokter residen. Yudi menyatakan kalau dokter residen justru sudah mahir, ketimbang harus melakukan pelatihan kepada dokter umum yang memakan biaya.

Tidak Sesuai Standar Global

POGI menggarisbawahi soal panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) yang menekankan pentingnya pelatihan dan kompetensi dalam melakukan tindakan medis invasif, termasuk operasi caesar.

Kata Yudi, operasi caesar tak semestinya dianggap sederhana. Mengkondisikan dokter umum untuk menangani hal ini disebut seperti kembali ke puluhan tahun lalu, di mana dokter umum terpaksa melakukan operasi caesar untuk kasus-kasus gawat darurat dan nihilnya dokter spesialis di rumah sakit.

“Artinya kualitas pelayanan tentu akan turun. Beda kan kalau [operasi caesar] dilakukan oleh dokter SpOG dengan dokter umum. Kualitas tergantung juga dengan SDM, kalau SDM yang menurun berarti kualitasnya tidak sesuai dengan standar global maupun namanya World Federation Medical Education Lab, itu tidak sesuai karena operasi caesar itu level kompetisinya juga SpOG,” kata Yudi.

Fakta bahwa operasi caesar itu standar kompetensinya di level SpOG, disebut Yudi sesuai dengan kurikulum pendidikan profesi obgyn, tak seperti kurikulum dokter umum yang tak memuat pendidikan caesar.

Ilustrasi dokter

Ilustrasi dokter. FOTO/iStockphoto

Merujuk salah satu program kedokteran di Indonesia, yakni di Universitas Gadjah Mada (UGM), kurikulum pendidikan dokter meliputi sistem pencernaan, hingga masalah reproduksi, tapi tak ada spesifik perihal persalinan caesar.

Oleh karenanya, POGI menegaskan, dalam upaya menurunkan angka kematian maternal dan perinatal, perlu ada kebijakan yang tidak hanya mempertimbangkan aksesibilitas layanan kesehatan, tetapi juga kualitas dan keselamatan tindakan medis yang dilakukan.

Tindakan seperti seksio sesarea atau operasi caesar disebut sebagai intervensi bedah yang kompleks dan berisiko, sehingga harus dilakukan oleh dokter spesialis obstetri terlatih. Pemberian wewenang kepada dokter umum untuk melakukan tindakan bedah tanpa pelatihan khusus dapat membahayakan keselamatan pasien dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan.

Pun, menurut dokumen Panduan Etik dan Profesionalisme Obstetri dan Ginekologi di Indonesia, tindakan seksio bukanlah tindakan yang tanpa bahaya untuk ibu dan bayinya. Bahaya yang diakibatkan oleh tindakan seksio Cesarea masih terus mengancam pada kehamilan berikutnya.

“Berdasarkan data dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN) yang dikeluarkan oleh POGI, mayoritas kematian ibu terjadi akibat komplikasi yang dapat dihindari dengan penanganan yang tepat oleh tenaga medis yang terlatih. Kami juga mencatat bahwa peningkatan angka seksio sesarea tidak berkorelasi positif dengan penurunan morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal,” tulis POGI dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (15/5/2025).

Penurunan AKI Tidak Bisa dengan Solusi Instan

AKI memang mencerminkan keberhasilan suatu negara dan menunjukkan kualitas kesehatan negara tersebut. Menukil Kemenkes, AKI Indonesia masih di kisaran 305 per 100.000 kelahiran hidup, belum mencapai target yang ditentukan yaitu 183 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2024. Rasio kematian ibu ini juga disebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara.

Meski negara kita masih berjibaku dalam menurunkan AKI dan punya pekerjaan rumah yang cukup besar, mengatasi persoalan ini tak bisa serampangan dan membutuhkan kajian yang mendalam.

Dicky Budiman, selaku Pakar Kesehatan Global Yarsi dan Griffith University, mengungkap, ketika masalah tingginya AKI direspon dengan strategi yang sifatnya instan dan mengambil jalan pintas, hal ini bisa menimbulkan isu baru.

“Ya dengan katakanlah wacana pelatihan dokter umum, tentu harus disikapi hati-hati, harus maksudnya didasari dengan kajian ilmiah ataupun diskusi dengan stakeholders yang juga akhirnya memberikan rekomendasi yang tepat. Karena ide ini terkesan baik, tapi belum tentu untuk konteks Indonesia saat ini, dapat diterapkan. Karena apa? Karena kita seperti kembali ke masa sebelum era reformasi ataupun di era kemerdekaanlah perjuangannya di mana dokter umum bisa melakukan banyak hal,” tutur Dicky kepada Tirto, Kamis (15/5/2025). Argumen itu senada dengan pernyataan Yudi dari POGI.

Apalagi, sudah ada peraturan undang-undang kedokteran dan peraturan menteri yang memberikan kewenangan terhadap beberapa jenis spesialisasi dan tenaga kesehatan dalam melakukan satu tindakan, khususnya dalam konteks caesar.

“Jadi hal ini yang harus dikaji betul, matang, komprehensif jangan sampai regulasi yang ada itu dilanggar sendiri oleh pemerintah. Nah, ini yang tentu harus jadi pemahaman bersama. Di sisi lain, kita ini sudah era komunikasi informasi terbuka termasuk kesadaran hukum itu juga meningkat. Jadi kalau misalnya ini diberlakukan tanpa adanya pelatihan yang bersertifikasi, yang juga didukung dengan sistem dan lain sebagainya, ini yang akan mendatangkan problem lain,” ujar Dicky.

Pada akhirnya, akibat kurangnya pengalaman, hal ini bisa menyebabkan kematian. Belum lagi, menurut Dicky, tak semua ibu hamil harus melakukan operasi caesar. Ada banyak keahlian ataupun prosedur yang mesti dimiliki oleh seorang dokter dalam tindakan tersebut.

“Dia ada selain indikasi klinis yang sangat tepat tadi, ini juga harus ada bagaimana kalau ada perdarahan, ada infeksi, bagaimana anestesinya. Belum lagi bagaimana untuk anaknya dan lain sebagainya,” tutur Dicky.

Dress Ibu Hamil

Dress Ibu Hamil. FOTO/iStockphoto

Menurutnya, caesar juga bukanlah akar masalah. Tindakan itu disebut Dicky tak berarti akan menyelesaikan kematian ibu, karena persoalan AKI di Indonesia adalah 3T: terlambat dideteksi, terlambat dirujuk, dan terlambat diterapi.

“Jadi bukan terlambat dalam konteks terlambat disesar. Bahkan yang paling diperkuat itu sebenarnya di aspek deteksinya. Oh, ini ibu hamil yang berisiko tinggi, mengalami komplikasi. Kalau begitu, dia sudah harus disiapkan menjelang kelahirannya, berarti memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang memadai,” ujarnya.

Telemedisin atau layanan konsultasi online dan dukungan jarak jauh dikatakan Dicky harus dikembangkan untuk konsultasi darurat dan pengawasan. Penguatan sistem rujukan juga mesti lebih efisien dan responsif. Yang tidak kalah penting juga memperkuat bidan dan perawat untuk mendeteksi dini komplikasi atau risiko kehamilan atau persalinan.

Baca juga artikel terkait DOKTER atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty