tirto.id - Program magang fresh graduate yang diinisiasi pemerintah Indonesia pada tahun 2025 hadir sebagai bagian dari kebijakan stimulus ekonomi. Dalam pernyataannya, Menteri Koordinator Perekonomian menegaskan bahwa program ini dirancang untuk menyiapkan lulusan perguruan tinggi agar “siap kerja” dan mampu beradaptasi dengan kebutuhan industri.
Kebijakan tersebut dilembagakan melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Program Pemagangan Lulusan Perguruan Tinggi, yang mengatur pemberian upah setara UMP dan hak jaminan sosial bagi peserta magang selama enam bulan. Program ini ditargetkan memberikan kesempatan bagi sekitar 20.000 lulusan baru untuk mengikuti magang bersubsidi negara.
Model keterlibatan negara dalam mendukung kegiatan magang sebenarnya bukan hal baru. Pada rezim kebijakan sebelumnya, pemerintah telah menjalankan program magang akademik (internship) melalui Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dengan subprogram Magang dan Magang Studi Independen Bersertifikat (MSIB).
Selanjutnya, program magang akademik tersebut dikemas ulang dengan nama Magang Berdampak, namun tetap beroperasi dengan logika dan tujuan yang sama. Program tersebut diikuti secara masif oleh mahasiswa, tercatat 130.000 orang peserta sepanjang program MSIB. Namun, berbeda dari magang akademik yang berorientasi pada pembelajaran dan pengalaman praktis selama studi, program magang fresh graduate ditujukan bagi lulusan yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi dan kini mencari posisi di pasar kerja.
Negara sebagai Sponsor dalam Rezim Fleksibilitas Kerja
Yang menarik, program ini untuk pertama kalinya menempatkan negara sebagai sponsor bagi magang non-akademik, dengan membiayai upah peserta yang semestinya menjadi tanggung jawab pemberi kerja dalam sistem training magang atau pencantrikan (apprenticeship).
Sebelumnya, magang di luar konteks akademik, seperti Magang Bina BNI atau Management Trainee–di beragam sektor perusahaan, pada dasarnya tetap termasuk dalam kategori apprenticeship karena mencerminkan hubungan kerja pelatihan pra-kerja antara perusahaan dan calon pekerja, meskipun hanya diberi label penamaan “magang” atau training. Bedanya, model-model ini berlangsung tanpa intervensi negara dan tanpa dukungan pembiayaan publik.
Padahal, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara eksplisit mengatur bahwa bentuk magang dalam kategori training merupakan bagian dari proses kerja yang dilindungi hak dan kewajibannya, serta berpotensi mengantarkan peserta menuju pekerjaan tetap.
Magang yang kini dikemas sebagai peluang kerja sesungguhnya mewarisi persoalan lama, baik dari sisi kebijakan maupun praktik. Konsep internship pertama kali muncul di dunia kedokteran sebagai masa pelatihan profesional sebelum memperoleh lisensi kerja, sebuah proses belajar yang diakui secara formal.
Namun, seiring berkembangnya ekonomi pasar dan industri jasa, praktik magang meluas ke berbagai sektor tanpa kepastian imbalan atau hubungan kerja yang jelas. Magang yang awalnya bertujuan pendidikan berubah menjadi mekanisme ekstraksi tenaga kerja murah, dibungkus dengan narasi “pengalaman” dan “kesempatan belajar”.
Klaim pemerintah bahwa magang dapat menyiapkan lulusan agar lebih siap kerja menutupi persoalan sesungguhnya: pengangguran dan kerentanan kerja tidak lahir dari kurangnya keterampilan, melainkan dari struktur ekonomi yang tidak mampu menyerap tenaga kerja secara layak.
Pemerintah menyebut telah menyerap 303 ribu tenaga kerja pada 2025 melalui berbagai program pelatihan dan magang, tetapi data BPJSTK justru menunjukkan penurunan jumlah peserta jaminan sosial. Ini menandakan bahwa banyak tenaga kerja baru tetap berada di sektor informal tanpa perlindungan.
Dalam situasi surplus populasi seperti ini, magang bukanlah jalan keluar, melainkan cara halus negara mengelola kelebihan tenaga kerja melalui logika kompetisi individu dan ilusi peluang kerja.
Produksi Harapan dan Rasionalisasi Fleksibilitas: Magang sebagai Ideologi Kerja Muda
Program magang fresh graduate menunjukkan bagaimana negara tetap menjadi sponsor utama dalam rezim fleksibilitas kerja. Jika sebelumnya negara hanya terlibat dalam magang akademik seperti MSIB yang ditujukan bagi mahasiswa, kini negara juga menjadi sponsor bagi praktik magang pencantrikan bagi lulusan baru.
Kebaruan ini tampak progresif karena adanya dukungan upah dan jaminan sosial, namun pada dasarnya tetap melanjutkan praktik lama yang mengaburkan relasi antara majikan dan pekerja relasi yang seharusnya memuat unsur kewajiban, tanggung jawab, dan pengakuan atas nilai kerja.
Lebih jauh, praktik ini mereproduksi bentuk baru division of labour sebagaimana dikemukakan oleh Burawoy, di mana pembagian kerja tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menjadi mekanisme kekuasaan dan disipliner yang membentuk kepatuhan (consent) pekerja dalam struktur produksi.
Pekerja magang akademik maupun pencantrikan ditempatkan dalam posisi abu-abu antara pekerja tetap dan calon pekerja, menciptakan ilusi mobilitas dan kesempatan, namun sesungguhnya memperkuat hierarki internal tenaga kerja. Melalui pembagian kerja semacam ini, fleksibilitas kerja memperoleh legitimasi moral dan ideologis pekerja muda terdorong untuk berpartisipasi secara sukarela dalam logika produktivitas dan pelatihan yang justru merentankan mereka.
Dengan membiayai sebagian nilai kerja yang seharusnya ditanggung pemberi kerja, negara memperluas mekanisme produksi consent tersebut: hubungan kerja dibuat cair tanpa kepastian dan tanpa tanggung jawab jangka panjang terhadap pekerja muda.
Lebih jauh, program magang ini beroperasi sebagai mesin produksi harapan di tengah ketidakpastian struktural. Narasi “kesempatan” dan “pengalaman” diproduksi terus-menerus untuk mendorong individu bersaing dalam pasar kerja yang stagnan, menciptakan ilusi bahwa masa depan cerah dapat diraih melalui upaya personal. Padahal, dalam konteks ekonomi yang gagal menyediakan kerja layak dan jaminan sosial, magang hanya memperpanjang masa transisi menuju pekerjaan tetap yang semakin sulit dicapai.
Dengan demikian, program ini tidak sekadar mengelola pengangguran, tetapi juga mengatur cara generasi muda membayangkan masa depan mereka melalui harapan yang rapuh dan optimisme yang morbid.
Program magang seharusnya berlandaskan pada prinsip kerja layak dan keadilan sosial, bukan semata logika fleksibilitas pasar. Dalam kerangka kebijakan publik, pemerintah perlu mengambil sikap tegas untuk memastikan bahwa setiap inisiatif magang tidak berhenti pada ilusi peluang, tetapi membuka jalan menuju kepastian kerja di masa depan.
Memberi subsidi upah bagi tenaga magang hanya memperkuat dominasi industri dan melemahkan posisi pekerja muda yang seharusnya dilindungi.
*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIPOL Universitas Tidar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id





































