tirto.id - Setelah lebih dari 30 tahun beroperasi, PT Sepatu Bata Tbk, resmi menghentikan aktivitas produksi pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat. Penghentian ini sejalan dengan keputusan direksi yang sebelumnya telah disetujui berdasarkan keputusan dewan direksi pada 29 April 2024.
Corporate Secretary BATA, Hatta Tutuko, mengatakan terhitung sejak 30 April 2024, perseroan sudah tidak dapat melanjutkan produksi di pabrik Purwakarta. Hal ini karena permintaan pelanggan terhadap jenis produk dibuat di pabrik Purwakarta terus menurun.
"Kapasitas produksi pabrik jauh melebihi kebutuhan yang bisa diperoleh secara berkelanjutan dari pemasok lokal di Indonesia," ujar Hatta mengutip keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI).
Hatta mengatakan, perusahaan telah berupaya selama empat tahun terakhir namun tetap mengalami kerugian. Kerugian itu diiringi tantangan industri akibat pandemi dan perubahan perilaku konsumen yang begitu cepat, sementara sektor bisnis tetap tidak dapat pulih.
Perusahaan mencatat penurunan penjualan sebesar 49 persen, dari Rp931,27 miliar pada 2019 menjadi Rp459,58 miliar pada 2020. Imbasnya, kerugian perusahaan pada 2019 sebesar Rp23,44 miliar jadi melonjak Rp177,76 miliar sepanjang 2020.
Hingga 2023, perusahaan sepatu itu masih mencatat minus pada rapor keuangan mereka. Berdasarkan laporan keuangan yang diunggah perusahaan pada Keterbukaan Informasi BEI, mereka menoreh kerugian sebesar Rp188,41 miliar di 2023. Kerugian ini naik hingga 75,83 persen atau sekitar Rp81,12 miliar dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp107,15 miliar.
Di sisi lain, penjualan total selama 2023 juga mengalami penurunan 5,2 persen menjadi Rp609,61 miliar. “Keputusan ini membuat perusahaan tidak bisa lagi menjalankan kegiatan produksi di pabrik yang terletak di Purwakarta,” jelas Hatta.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan keputusan Bata menutup operasional secara permanen karena ada indikasi pelambatan di sektor industri alas kaki lokal. Banyak industri alas kaki, kata dia, yang sebelumnya bangkrut karena kalah saing.
"Memang Bata ini sudah lama kehilangan pasar. Tapi bukan sekedar karena kalah tren model alas kaki yang digemari masyarakat," ujar Bhima kepada Tirto, Senin (6/5/2024).
Di melihat ada kontribusi dari impor alas kaki yang masif selama 10 tahun terakhir dari Vietnam, dan Cina. Total impor alas kaki dari Cina tembus 559 juta dolar AS pada 2022. Sementara impor dari Vietnam 269 juta dolar AS di periode yang sama.
"Pabrik kalah saing karena barang dari Vietnam lebih murah, banyak barang impor ilegal juga tanpa dikenai bea masuk," ujar Bhima.
Belum lagi, kata Bhima, regulasi dalam negeri juga kurang ramah bagi pabrikan alas kaki karena adanya lartas untuk impor bahan baku. Kebijakan ini tentu saja serba repot. Karena baku dibatasi, sementara impor barang jadinya lewat jalur tol tanpa pengaturan ketat.
"Tidak heran pengusaha alas kaki memilih jadi importir daripada harus meneruskan operasional pabrik mereka," ujar dia.
Industri Alas Kaki Belum Sepenuhnya Pulih
Penutupan pabrik Bata di Purwakarta, tentu saja memperlihatkan bahwa industri ini masih belum sepenuhnya pulih dan tumbuh pasca pandemi COVID-19. Lihat saja pada 2023, kinerja ekspor industri kulit dan alas kaki Indonesia terkoreksi pada tahun lalu.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2023 volume ekspor industri kulit dan alas kaki nasional mencapai sekitar 376,2 ribu ton, turun 14,24 persen dibanding 2022 (year on year/yoy). Seiring dengan itu, nilai ekspornya turun 15,29 persen (yoy) menjadi sekitar 7,6 miliar dolar AS.
"Untuk industri dalam negeri sejak pandemi, kondisinya belum pernah pulih normal," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Firman Bakri, kepada Tirto, Senin (6/5/2024).
"Misalnya, terkait dengan UMK tinggi dan harga jual yang tidak seimbang," kata dia.
Meski begitu, pihaknya akan melihat secara utuh dan mendalami apa terjadi di balik penutupan pabrik Bata tersebut. Rencananya, Firman dan perwakilan dari asosiasi juga akan melakukan pertemuan dengan manajemen Bata.
"Kami belum dapat penjelasan secara lebih detail. Kami masih menunggu bisa ketemu dengan Bata," ujar dia.
Tapi secara umum, kata Firman, Bata sendiri adalah brand sepatu yang keberadaannya sudah cukup lama, termasuk di pasar Indonesia. Selain memiliki pasar untuk dalam negeri Indonesia, Bata juga punya produk untuk pasar ekspor.
Bahkan, kata dia, bisnis Bata di Indonesia juga masih jalan khususnya untuk yang bidang ritail-nya. Selain produksi di Purwakarta, Bata juga masih memiliki skema bisnis berupa order maklun ke pabrik lokal Indonesia untuk brand mereka.
Industri Alas Kaki Masih Dibayangi Tantangan
Terlepas dari itu, Bhima Yudhistira melihat ke depan industri alas kaki akan banyak hadapi tantangan. Bahkan, ia memperkirakan gelombang penutupan pabrik diperkirakan masif terjadi.
"Ke depan industri alas kaki akan banyak hadapi tantangan," ujar Bhima.
Hal ini diamini oleh Aprisindo. Firman mengatakan, sejumlah tantangan di tahun ini sudah membayangi seperti halnya inflasi pangan. Beberapa brand pada Lebaran kemarin untuk segmen menengah dan menengah ke bawah bahkan mengalami penurunan dibanding periode yang sama di 2023 lalu.
"Yang pasti ini juga berpengaruh pada produsen alas kaki," ujar Firman.
"Kita ini sejak pandemi kan kena safe guard bahan baku ya. Terus safe guard abis ada lagi Permendag 36 buat bahan baku. Buat industri pasti berat," lanjut Firman menambahkan.
Oleh karena itu, Firman meminta kepada agar tidak mempersulit bahan baku industri ini. Sebab jika bahan baku industri dipersulit secara otomatis banyak industri nasional terutama yang untuk pasar domestik tetap kesulitan.
"Kita minta bahan baku untuk industri nasional kita dipermudah dan syukur kita bisa dapat bahan baku yang kompetitif," ujar dia.
Bagaimana Nasib Pegawai Bata?
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, mengakui, sampai saat ini pihaknya belum (tidak menerima) laporan resmi berapa jumlah karyawan terdampak akibat penutupan pabrik Bata.
Namun pada prinsipnya, kata Indah, jika memang bisnis atau usaha sudah tidak bisa dipertahankan alias bangkrut, maka semua hak pekerja harus diberikan sesuai peraturan berlaku.
"Dan semua itu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) harus dibicarakan secara Bipartit dan disepakati langkah langkahnya," jelas dia kepada Tirto, Senin (6/5/2024).
Terpisah, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat melaporkan lebih dari 200 orang terkena PHK akibat ditutupnya pabrik sepatu Bata di Purwakarta.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Purwakarta, Didi Garnadi, mengatakan sebelum resmi ditutup, sekitar akhir Maret lalu, pihak perusahaan Bata melaporkan rencana penghentian produksi di pabrik yang berlokasi di Jalan Raya Cibening, Kecamatan Bungursari, Purwakarta.
Di antara alasannya, karena selama empat tahun terakhir, pabrik sepatu Bata ini mengalami kerugian akibat sepi order.
"Pada awal Mei 2024, kami menerima laporan terjadinya PHK, karena perusahaannya tutup," kata dia.
Menurut dia, akibat sepi order, PT Sepatu Bata melakukan PHK para karyawannya secara bertahap. Jumlah karyawannya yang terkena PHK sebanyak 233 orang.
"Pihak perusahaan telah melaporkan akan menyelesaikan seluruh hak-hak karyawannya yang di PHK, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata dia.
Di sisi lain, Bhima Yudhistira menekankan, jika gelombang PHK benar-benar terjadi, pemerintah harus tanggung jawab. Paling tidak, pemerintah bisa mengalihkan ke pasar tenaga kerja lain, meski tidak mudah juga karena industri alas kaki sepi.
"Mungkin BUMN bisa serap korban PHK Bata," ujar Bhima seraya memberikan solusi.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang