tirto.id - Sejarah mencatat bahwa Maluku merupakan jalur perdagangan rempah paling ramai di Nusantara. Hal ini karena Maluku dikenal sebagai penghasil rempah-rempah terbaik pada abad 15 - 17 Masehi.
Rempah-rempah sendiri merupakan salah satu komoditas paling berharga dan dicari di dunia kala itu.
Bahkan menurut para ahli, perdagangan rempah-rempah sangat berpengaruh dalam perekonomian global.
Hal inilah yang menyebabkan banyak bangsa Eropa ingin menguasai rempah-rempah di Indonesia, khususnya yang ada di wilayah Maluku.
Kondisi semacam kemudian menyebabkan banyak peristiwa sejarah di Indonesia, termasuk kedatangan bangsa Barat, peperangan, dan konflik antar penguasa.
Bagaimana Posisi Maluku di Perdagangan Abad 15-17?
Posisi Maluku di perdagangan dunia pada abad 15-17 Masehi adalah sebagai penghasil komoditas penting berupa rempah-rempah.
Maluku merupakan salah satu wilayah penghasil rempah-rempah terbesar di Asia bahkan dunia antara tahun 1401 M hingga 1500 M.
Saat itu Maluku dijuluki bangsa Barat dengan sebutan "The Spicy Island." Julukan Maluku sebagai 'Pulau Rempah-Rempah' disematkan bukannya tanpa alasan.
Menurut John A. Pattikayhatu dalam Kapata Arkeologi Vol. 8 Nomor 1 (2012) julukan "The Spicy Island" disematkan untuk Maluku karena wilayah tersebut adalah penghasil rempah terbaik di dunia.
Rempah-rempah yang banyak diincar oleh bangsa Barat saat itu berupa cengkeh, pala, dan kulit cendana. Selain itu, wilayah Maluku yang beriklim tropis dan tanahnya subur membuatnya dapat memproduksi cengkeh, pala, dan cendana dalam jumlah besar.
Cengkeh dan pala di Maluku mayoritas berasal dari Ternate, Tidore, Bacan, Makian, Ambon, dan lainnya. Sebagai penghasil rempah-rempah terbanyak di Nusantara, wilayah-wilayah tersebut banyak diincar oleh bangsa-bangsa Barat dalam pertarungan politik.
Selain menjadi wilayah penghasil komoditas, posisi Maluku di perdagangan abad 15 - 17 M juga sebagai jalur dan pusat perdagangan rempah-rempah di Asia.
Berdasarkan catatan Jalur Rempah Kemendikbud, Maluku turut menjadi jalur rempah karena letaknya yang dekat dengan jalur perdagangan Malaka.
Jalur perdagangan Malaka berlokasi di ujung Pulau Sumatra dan merupakan pusat perdagangan internasional yang menghubungkan Timur Tengah, India, Asia Timur, bahkan Eropa.
Oleh karena itu, pada abad 15 - 17 M banyak berdiri pelabuhan-pelabuhan besar di Maluku. Dulunya, pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi pusat perdagangan internasional.
Salah satu pembeli komoditas terbesar rempah-rempah di Maluku adalah Tiongkok. Menurut Masinambouw dalam Diskusi Ilmiah Ternate sebagai Bandar Jalur Sutra (1996) hal ini menyebabkan transaksi rempah-rempah di Maluku menggunakan mata uang Cina kuno bernama 'Fang'.
Meskipun transaksinya menggunakan mata uang asing, namun proses transaksi tetap menggunakan bahasa Melayu. Adapun bahasa Melayu yang digunakan pada transaksi rempah-rempah Maluku mirip seperti bahasa Melayu yang berkembang di Kalimantan Utara.
Pengaruh Jalur Rempah bagi Indonesia
Status Maluku sebagai jalur rempah di Indonesia berdampak pada kehidupan ekonomi, sosial, dan politik masyarakat setempat.
Tak hanya itu, pengaruh jalur rempah juga membuka gerbang kolonialisme bangsa Barat di wilayah Indonesia yang berlangsung selama berabad-abad. Berikut ini beberapa pengaruh jalur rempah bagi Indonesia:
1. Munculnya bandar dagang rempah dalam negeri
Bandar dagang rempah di Maluku banyak bermunculan seiring dengan tingginya aktivitas perdagangan di wilayah tersebut. Salah satu bandar dagang utama yang berdiri antara abad ke-16 sampai 17 adalah Bandar Dagang Hitu.
Bandar Dagang Hitu muncul di Maluku Tengah seiring dengan masifnya penanaman cengkeh di wilayah tersebut. Sayangnya, posisi Hitu sebagai bandar utama rempah-rempah Maluku tidak bertahan lama.
Posisinya tergeser usai kedatangan Portugis dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yaitu perusahaan dagang asal Belanda.
2. Menumpuknya hasil cengkeh dan kejatuhan harga
Tingginya peminat rempah-rempah berupa cengkeh membuat masyarakat setempat memproduksi komoditas tersebut dalam jumlah besar. Akibatnya, saat musim panen hasil produksi cengkeh melimpah sehingga harganya jatuh.
Kondisi ini menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami kerugian dan ekonomi Maluku sempat tidak stabil. Ketidakstabilan ekonomi terjadi karena mayoritas masyarakat menanam cengkeh, bukan tanaman makanan.
3. Semakin banyak komunitas asing datang ke Nusantara
Julukan Maluku sebagai "The Spicy Island" menyebar ke berbagai belahan dunia. Hal ini menyebabkan banyak negara yang mengincar rempah-rempah tersebut ke Maluku.
Imbasnya, kunjungan internasional ke wilayah tersebut meningkat. Beberapa negara yang mengincar rempah-rempah di Maluku termasuk Portugis, Belanda, Inggris, Cina, Arab, dan Spanyol.
Komunitas asing yang datang ke Maluku melewati jalur rempah Nusantara dan transit di pelabuhan-pelabuhan dalam negeri. Sebagian dari mereka memutuskan untuk menetap dan membangun komunitasnya sendiri.
4. Terjadi konflik dan perang perebutan rempah-rempah
Besarnya nilai ekspor rempah-rempah di Maluku membuat banyak pihak tergiur untuk menguasai komoditas perdagangan di wilayah tersebut. Hal ini tidak hanya terjadi di kalangan pendatang, tetapi juga kerajaan.
Akibatnya terjadilah perang dan konlfik di sepanjang jalur rempah Nusantara. Salah satu yang paling terkenal adalah Spices War yang terjadi pada tahun 1600-an.
Dikutip dari World History Commons, perang ini melibatkan Inggris dan Portugis yang berusaha menguasai perdagangan cengkeh di jalur rempah. Para pedagang internasional bahkan membangun aliansi dengan Kesultanan Ternate di Maluku untuk bisa memenangkan perang.
5. Terjadi monopoli rempah-rempah di Maluku oleh VOC
Pengaruh lainnya keberadaan jalur rempah Nusantara membuka jalan bagi monopoli rempah-rempah di Maluku oleh VOC.
Masih menurut Kemendikbud, hal ini terjadi setelah bandar utama Hitu meminta bantuan VOC dalam menghalau tekanan Portugis.
Namun yang terjadi VOC tidak hanya menekan Portugis, tetapi juga menghancurkan bandar-bandar niaga lain di seluruh Maluku. Usai bandar-bandar niaga di Maluku berhasil dikuasai, pengaruh Hitu semakin melemah sehingga VOC berhasil menguasai rempah-rempah setempat.
Editor: Dhita Koesno